Tuduhan adanya rembesan gula rafinasi dan menyerbu pasar umum akhirnya terbukti dan pemerintah pun membenarkan. Kebenaran itu terungkap setelah dilakukan audit gula rafinasi oleh Kementerian Perdagangan akhir tahun 2013.
Hasilnya, memang ditemukan adanya rembesan gula rafinasi ke pasar umum. Adapun volume gula rafinasi yang merembes ke pasar umum sepanjang tahun 2013 mencapai 110.779 ton.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Srie Agustina menyatakan, volume rembesan gula rafinasi yang terjadi pada tahun 2013 itu sudah jauh menurun dibandingkan dengan volume rembesan yang terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 398.044 ton.
“Volumenya mengalami penurunan jika dibandingkan dengan volume rembesan yang terjadi tahun 2011 lalu,” ujarnya.
Selain volume yang menurun, jumlah perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan menjual gula rafinasi ke pasar non industri juga mengalami penurunan. Menurut Srie, pada tahun 2013, pelanggaran perembesan gula rafinasi hanya melibatkan lima produsen gula jenis tersebut. Sedangkan pada tahun 2011, hampir semua produsen gula rafinasi terlibat dalam pelanggaran perembesan tersebut.
Penurunan juga terjadi pada tingkat pelanggaran. Jika tahun 2011 ada produsen yang melakukan perembesan hingga mencapai 60% dari total kuota impor yang diperolehnya, maka pada tahun 2013 tingkat pelanggaran tertinggi hanya mencapai 29%.
Walaupun mengalami penurunan, namun perembesan gula rafinasi tersebut tetap saja menganggu peredaran gula kristal putih, karena pangsa pasarnya dimasuki gula rafinasi.
Karena melanggar ketentuan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan, maka pelaku perembesan gula rafinasi tersebut juga harus dikenakan sanksi atau hukuman.
Pidana
Terkait sanksi atau hukuman ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar pelaku pelanggaran tersebut harus dikenakan sanksi pidana agar mereka jera dan tidak lagi melakukan pelanggaran tersebut.
Salah satu pengusul penerapan sanksi pidana adalah Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur. “Kami meminta pemerintah untuk mendorong penegak hukum menjatuhkan sanksi pidana kepada perusahaan yang terbukti merembeskan gula rafinasi untuk kebutuhan konsumsi. Merembesnya gula rafinasi itu tidak hanya melanggar sejumlah peraturan, tetapi berdampak pada produksi gula kristal putih nasional,” ujar Natsir.
Menurutnya, sanksi pidana penyalahgunaan gula rafinasi itu antara lain disebut dalam Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 Tahun 2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang telah beberapa kali diperbaharui. Izin perusahaan yang sudah terbukti melakukan pelanggaran pidana ekonomi dalam tataniaga gula rafinasi bisa dicabut.
Usulan Natsir juga didukung oleh Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikun. Menurutnya, sanksi pidana terhadap pelaku perembesan gula rafinasi memang sudah seharusnya diterapkan pemerintah.
“Saya setuju kalau pelaku perembesan dikenakan sanksi pidana karena mereka telah melakukan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah di bidang ekonomi,” ujarnya kepada Agro Indonesia.
Dia menjelaskan, dalam Permendag sudah jelas-jelas disebutkan bahwa gula kristal rafinasi (GKR) hanya boleh dipasarkan untuk kalangan industri saja. Gula jenis ini tidak boleh dijual kepada pasar rumah tangga.
Menurut Soemitro, untuk menerapkan sanksi pidana tersebut, pihak aparat yang berwenang, dalam hal ini kepolisian, bisa langsung bertindak, tanpa menunggu adanya pengaduan dari pihak lain.
AGRI tak khawatir
Di pihak lain, Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) tidak begitu khawatir dengan usulan tentang penerapan sanksi pidana terhadap pelaku perembesan gula rafinasi. “Penerapan sanksi pidana itu kan baru sebatas wacana yang muncul di lapangan,” kata Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), Suryo Alam kepada Agro Indonesia.
Menurut Suryo, produsen gula rafinasi siap menerima keputusan yang diambil pemerintah. “Kita serahkan saja kepada pihak pemerintah yang memiliki aturan dan wewenang mengenai hal tersebut,” ujarnya.
Produsen gula rafinasi tampaknya boleh bernafas lega. Pasalnya, sejauh ini Kementerian Perdagangan belum mau menerapkan sanksi lebih keras kepada pelaku pelanggaran, seperti pencabutan izin usaha atau penghentian pemberian kuota impor raw sugar sebagai bahan baku produksi gula rafinasi.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Srie Agustina menyatakan, pihaknya tidak mau gegabah dengan mencabut izin usaha atau menghentikan secara total kuota impor raw sugar kepada pelaku perembesan.
“Kita harus melihat bahwa kebutuhan industri di dalam negeri terhadap gula rafinasi terus mengalami peningkatan dan tentunya harus ada sumber pasokannya,” katanya.
Tindakan yang akan diambil Kemendag terhadap produsen yang melakukan perembesan gula rafinasi itu, ungkapnya, adalah dengan mengurangi kuota impor raw sugar untuk tahun 2014 ini.
Mengenai besarnya kuota yang dikurangi dan produsen gula rafinasi mana saja yang akan mengalami pengurangan kuota impor raw sugar tersebut, Srie menegaskan saat ini pihak Kemendag masih menunggu hasil verifikasi kontrak penjualan oleh produsen gula rafinasi kepada industri pengguna yang saat ini tengah dilakukan pihak Kementerian Perindustrian.
“Kami masih menunggu hasil verifikasi kontrak antara produsen gula rafinasi dengan industri pengguna. Saat ini verifikasi masih dilakukan oleh Kementerian Perindustrian,” ujarnya.
Yang pasti, kata Srie, bila pada tahun 2011 lalu pemerintah langsung mengurangi alokasi impor gula mentah terhadap perusahaan rafinasi sesuai dengan persentase pelanggarannya, untuk tahun ini pengurangannya hanya sekitar 50% dari persentase pelanggaran hasil audit.
Pelonggaran sanksi tersebut disebabkan tidak lain karena kebutuhan industri makanan minuman yang terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. “Kami akan mengurangi alokasi sebagai bentuk sanksi. Namun, jika dikurangi terlalu jauh industri makanan dan minuman kan meningkat, maka untuk yang pelanggarannya jauh menurun akan dikasih reward,” ujar Srie.
Sementara itu, Suryo Alam menjelaskan kalau AGRI mengusulkan kuota impor raw sugar pada tahun 2014 ini sekitar 3,1 juta ton hingga 3,2 juta ton. “Jumlah itu tidak jauh berbeda dengan kuota impor raw sugar yang dikucurkan pemerintah sebesar 3,01 juta ton.
“Untuk awal tahun kita mengusulkan volume sebesar itu, namun nanti bisa berubah di semester kedua,” ucapnya.
Kuota raw sugar tersebut nantinya akan diberikan kepada 11 pabrik gula rafinasi yang terdiri atas delapan pabrik lama, yakni PT Angel Products, PT Jawamanis Rafinasi, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Dharmapala Usaha Sukses, PT Sugar Labinta, PT Duta Sugar International, dan PT Makassar Tene serta tiga pabrik gula rafinasi baru, yakni PT Berkah Manis Makmur, PT Andalan Furnindo, dan PT Medan Sugar Industri. B Wibowo