Celah Kebocoran dari Kemitraan

Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam SK Menteri Perdagangan Nomor 111 tahun 2010 yang membolehkan gula rafinasi dijual kepada industri mikro dan kecil, ditengarai menjadi pemicu terjadinya perembesan gula rafinasi ke pasar umum.

“Peraturan tersebut harus dicabut karena memberikan peluang bagi terjadinya perembesan gula rafinasi ke pasar umum,” ujar Ketua DPP APTRI, Soemitro Samadikun.

Menurutnya, penjualan gula rafinasi ke industri kecil, terlebih industri rumah tangga,  sangat sulit untuk diawasi. Apalagi, jumlah industri kecil dan mikro yang bergerak di sektor makanan dan minuman sangat banyak jumlahnya dan tersebar di tengah-tengah pemukiman masyarakat.

Selain itu, Soemutro juga meminta pemerintah untuk memangkas keterlibatan distributor dalam penyaluran gula rafinasi. Alasannya, gula rafinasi itu hanya dijual kepada industri, sehingga industri pengguna bisa membeli langsung kepada produsen. “Paling yang diperlukan adalah alat transportasinya. Nah, dalam hal ini boleh dilibatkan perusahaan angkutan. Kalau distributor tidak perlu,” katanya.

AGRI juga secara tidak langsung mengakui kalau perembesan gula rafinasi kemungkinan terjadi dalam penyaluran gula jenis tersebut kepada industri kecil, mikro dan menengah. “Perembesan mungkin terjadi melalui penyaluran gula rafinasi ke industri kecil,” papar Suryo Alam.

Selain melalui distributor, produsen gula rafinasi di dalam negeri juga melakukan penjualan langsung kepada industri kecil dan menengah melalui koperasi dan asosiasi industri makanan dan minuman setempat.

Program penjualan langsung dari produsen gula rafinasi ke IKM tanpa melalui distributor, telah dilakukan AGRI dengan kemasan program kemitraan dengan IKM dan digulirkan sejak tahun 2012 di sejumlah provinsi, seperti Lampung, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Program kemitraan itu sebenarnya bertujuan baik, yakni memberikan dukungan kepada IKM untuk bisa memiliki daya saing yang lebih tinggi dari sisi biaya produksi. Karena dengan pembelian langsung itu, harga pembelian gula rafinasi oleh koperasi atau asosiasi IKM menjadi lebih murah ketimbang membeli melalui distributor.

Selain itu, program kemitraan itu juga digulirkan AGRI untuk mendorong produsen makanan dan minuman di dalam negeri untuk kelas IKM dapat memproduksi makanan dan minuman yang berkualitas baik. Pasalnya, dengan menggunakan bahan baku berupa gula rafinasi, produk makanan dan minuman yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang lebih baik, seperti makanan tidak mudah benyek atau basi. Sedangkan untuk minuman, produk yang menggunakan raw sugar airnya tidak akan keruh atau adanya ampas gula pada dasar minuman tersebut

Sayangnya, kemitraan itu telah membuka peluang bagi perembesan gula ke pasar umum. Bukan tidak mungkin koperasi-koperasi IKM atau asosiasi IKM yang bermitra dengan AGRI lantas menjual gula rafinasi yang dibelinya dari AGRI tidak hanya kepada IKM anggotanya saja, tetapi juga ke masyarakat umum. Apalagi, ada selisih yang cukup menarik antara harga pembelian dan penjualan.

Untuk itu, guna mencegah terjadinya rembesan, ada baiknya AGRI juga memperketat pengawasan terhadap koperasi atau asosiasi IKM yang menjadi mitranya tersebut.

Terkait hal ini, Suryo Alam telah berjanji pihaknya akan melakukan perbaikan-perbaikan sehingga ke depan tidak lagi terjadi rembesan gula rafinasi ke pasar umum di Indonesia.   B Wibowo

Stok Gula Konsumsi Aman

Di tengah kisruh peredaran gula rafinasi, target produksi gula nasional tahun 2013 ternyata juga jeblok, tidak tercapai. Dari target yang ditetapkan 2,8 juta ton, volume yang dicapai hanya 2,54 juta ton. Meskipun demikian, kebutuhan gula 5 bulan kedepan (Januari-Mei) sekitar 1 juta ton dapat dipenuhi dari produski gula luar Jawa.

Direktur Tanaman Semusim, Ditjen Perkebunan, Nurnowo Paridjo mengatakan, kebutuhan gula tiap bulan sekitar 200.000 ton, kebutuhan ini dapati dipenuhi dari PG (Pabrik Gula) luar Jawa dan sisa raw sugar yang digiling menjadi gula kristal putih (GKP). “Saya kira kita tidak akan kekurangan gula. PG luar Jawa bulan Januari-April sudah ada yang giling,” katanya.

Menurut dia, stok gula konsumsi mencapai sekitar 1,1 juta ton dengan asumsi kebutuhan 220.000 ton/bulan. Dengan stok tersebut, Indonesia tidak perlu khawatir karena pada bulan Februari, PG di luar Jawa seperti Lampung dan Sumsel sudah masuk musim giling. “Meskipun jumlah produksinya sedikit, namun dapat untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu tertentu,” ungkapnya.

Dia mengatakan, jika pemerintah melakukan impor gula, hal itu bukan berarti produksi nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. “Impor gula tahun depan lebih bersifat politis, tahun 2014 adalah tahun politik. Jadi, impor itu dianggap perlu untuk pengamanan stok nasional,” tegasnya.

Nurnowo mengatakan, banyak masalah yang mempengaruhi produksi gula dan produktivitas tanaman tebu di antaranya sulitnya pengembangan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada. Selain itu, pembebasan lahan dan proses ganti rugi sangat rumit.

Areal pengembangan di luar Jawa mengalami keterbatasan infrastruktur. Di samping itu, sarana irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di lahan kering. “Keterbatasan   modal membuat petani tidak maksimal menerapkan teknologi dalam usaha,” ungkapnya.

Faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya produksi adalah anomali iklim, dan masalah tender, sehingga program bongkar ratoon yang tidak berjalan optimal. “Banyak peserta tender yang melakukan sanggah banding. Hal ini salah satu penyebab, kerjaan bongkar ratoon menjadi tidak maksimal,” katanya.

Selain itu rendemen tebu tahun 2013 turun dari 8,1% tahun 2012 menjadi 7,2%. Penurunan ini akibat curah hujan terlalu banyak dan efisiensi PG masih rendah. Sementara luas areal tanaman tebu tahun lalu mencapai 464.644 ha.

Sedangkan produksi tebu dan produktivitas tebu tahun 2013 mengalami peningkatan. Jika tahun  2012, produksi tebu sebesar 31,8 juta ton, maka tahun 2013 naik menjadi 35,3 juta ton. Begitu juga produktivitas tebu naik dari 72,1 ton tahun lalu menjadi 76,3 ton.

Dia mengatakan stok gula kristal putih per 15 Desember 2013, berjumlah 1,29 juta ton. Stok fisik itu merupakan gabungan gula  milik PTPN/PG sebesar 528.226 (40,7%), milik petani 83.607 (6,45%) dan pedagang sebesar 685.038 (52,8%).

Nurnowo mengatakan, untuk mengisi kekurangan gula nasional, prioritas pemberian izin impor raw sugar diberikan kepada PG berbasis tebu dan PG berbasi tebu yang sudah dapat menghasilkan gula dengan kualitas untukn industry makanan dan minuman secara bertahap. “Sebagian produksinya kita arahkan untuk mengisi pasar industri makanan dan minuman setelah pasar konsumsi rumah tangga terpenuhi,” katanya.

Dia juga mengatakan, hasil pleno Dewan Gula Indonesia (DGI) menyebutkan, kebijakan gula nasional antara GKP dan GKR saat ini terpisah, untuk kedepannya kebijakan harus satu paket. “PG berbasis tebu di dorong untuk meningkatkan kualitas produk melalui revitalisasi PG dan perbaikan system pengolahan yang ada,” tegasnya. Andy Nugroho