Pemerintah mengakui gula rafinasi kembali bocor dan membanjiri pasar umum. Pihak produsen pun, Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), mengakui rembesan tersebut. Namun, seperti sudah diduga, pemerintah tidak mau bertindak tegas dan terbuka siapa saja pelakunya. Tidak heran jika muncul gagasan agar pelaku pelanggaran dikenai sanksi pidana.
Tuduhan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) terjadinya rembesan gula rafinasi ke pasar umum terbukti. Hanya saja, tidak seperti dugaan mereka, gula yang bocor itu tak sampai 900.000 ton. Menurut hasil audit Kementerian Perdagangan, rembesan tersebut “hanya” sekitar 110.000 ton.
Bahkan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Srie Agustina pun sampai menyebut rembesan tahun 2013 itu, yang jelas merupakan pelanggaran, sudah menurun dibandingkan volume rembesan 2011 yang mencapai 398.044 ton. “Volumenya mengalami penurunan dibandingkan rembesan tahun 2011 lalu,” ujar Srie.
Ketidaktegasan pemerintah jelas jadi preseden buruk, karena rembesan bisa terus terulang. Apalagi, saat ini jumlah pabrik gula rafinasi bertambah menjadi 11 dari semula 8 pabrik dan kapasitas pun melonjak lebih dari 5 juta ton/tahun.
Potensi rembesan itu makin terbuka karena adanya SK Menperdag Nomor 111 Tahun 2010 yang membolehkan gula rafinasi dijual kepada industri mikro dan kecil. Aturan ini yang digunakan Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) untuk memasok gula rafinasi ke industri kecil menengah (IKM) melalui program kemitraan. “Perembesan mungkin terjadi melalui penyaluran gula rafinasi ke industri kecil,” papar Ketua Umum AGRI, Suryo Alam.
Meski sudah diakui, namun tetap saja pemerintah tak berani bertindak tegas. Kartu lama tetap saja dipakai: pengurangan kuota impor raw sugar bagi pelanggarnya. Tapi itupun masih harus menunggu hasil verifikasi kontrak penjualan produsen rafinasi ke industri pengguna yang sedang dilakukan pihak Kementerian Perindustrian.
Itu sebabnya, APTRI mendesak pemerintah mencabut SK No.111/2010 dan menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku perembesan. “Saya setuju pelaku dikenakan sanksi pidana karena mereka telah melakukan pelanggaran terhadap aturan pemerintah di bidang ekonomi,” ujar Ketua DPP APTRI, Soemitro Samadikun. Namun, AGRI bersikap anteng. “Itu kan baru sebatas wacana,” kata Suryo. AI