Angka Ramalan II (ARAM II) Tahun 2015 untuk komoditas padi telah diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan lalu. Berdasarkan perhitungan BPS, produksi padi pada tahun 2015 ini diperkirakan mencapai 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG).
ARAM II ini merupakan suatu penurunan jika dibandingkan dengan angka yang dirilis BPS pada ARAM I, di mana produksi padi tahun ini diperkirakan mencapai 75,55 juta ton GKG. Penurunan ini antara lain disebabkan meningkatnya dampak fenomena alam El Nino, di mana musim kemarau berjalan lebih lama dari biasanya.
Terkait dampak El Nino, Direktur Eksekutif Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim-Institut Pertanian Bogor (CCROM SEAP IPB), Rizaldi Boer menyatakan, pihaknya sebenarnya sudah memberikan informasi mengenai dampak yang bisa ditimbulkan dari El Nino.
“Kami sudah memberikan peringatan mengenai kondisi iklim yang akan terjadi. Sayangnya, hal ini tidak direspon cepat, terutama oleh daerah,” ujar Rizaldi kepada Agro Indonesia, pekan lalu.
Informasi mengenai munculnya iklim ekstrem serta dampaknya bagi kegiatan pertanian dan perkebunan antara lain diluncurkan CCROM SEAP IPB melalui jaringan online.
Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan pemerintah daerah lambat dalam merespon informasi mengenai perkiraan iklim dan dampaknya bagi kegiatan pencegahan terhadap kebakaran hutan dan gagal panen dalam budidaya padi.
“Mungkin saja anggaran yang dimiliki pemerintah daerah untuk penanganan dampak negatif dari iklim ekstrim sangat minim. Bahkan ada daerah yang tidak memiliki anggaran untuk sektor ini. Mereka lebih mengandalkan tindakan dari pemerintah pusat,” paparnya.
Rizaldi Boer menegaskan, seharusnya anggaran untuk penanganan iklim ekstrem ada di setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sehingga dampak negatif dari iklim ekstrem seperti El Nino dapat diminimalisir.
Dia mengakui perubahan iklim yang terjadi saat ini akan memberikan dampak negatif bagi kegiatan sektor pertanian di Indonesia. Dampak perubahan iklim yang bersifat kontinyu antara lain berupa munculnya kenaikan suhu, perubahan hujan dan kenaikan salinitas air tanah untuk wilayah pertanian dekat pantai akan menurunkan produktivitas tanaman.
“Selain itu, perubahan panjang musim juga akan merubah pola tanam dan indeks penanaman,” ucapnya.
Selain dampak yang bersifat kontinyu, perubahan iklim juga memunculkan dampak yang bersifat diskontinyu berupa meningkatnya gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim (banjir, kekeringan, angin kencang dan sebagainya).
“Ada juga dampak negatif bersifat diskontinyu yang berupa meningkatnya gagal panen akibat munculnya serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman,” jelas Rizaldi.
Namun, yang lebih parah lagi, perubahan iklim seperti munculnya fenomena El Nino juga menimbulkan dampak permanen berupa berkurangnya luas kawasan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut. “Dampak kontinyu, diskontinyu dan permanen diperkirakan akan berpengaruh besar terhadap sektor pertanian di Indonesia, khususnya pangan,” cetusnya.
Asuransi
Guna mengatasi dampak negatif dari perubahan iklim itu, Rizaldi meminta agar upaya adaptasi dan mitigasi perlu dilakukan secara sinegi dalam menangani masalah perubahan iklim. “Sistem informasi iklim perlu ditingkatkan dan dikembangkan untuk mendukung pengelolaan risiko iklim,” tuturnya
Selain itu, peningkatan kemampuan petani dalam mengelola risiko iklim disertai sistem perlindungan seperti asuransi indeks iklim perlu dikembangkan karena dapat mendorong pertani mengadopsi teknologi budidaya cerdas iklim.
Untuk mencegah munculnya dampak negatif perubahan iklim terhadap hasil pertanian, Rizaldi menyarankan perlunya penerapan asuransi indeks iklim yang dapat melindungi petani dari risiko pada tahun buruk, dan mendorong petani menggunakan teknologi lebih baik pada tahun baik
“Asuransi indeks iklim akan melindungi petani pada tahun buruk, di mana mereka dapat klaim asuransi kalau indeks iklim terpenuhi walaupun tanaman berhasil diselamatkan,” ucapnya.
Selain itu, keberadaan asuransi ini juga dapat mendorong petani meningkatkan produktivitas dengan teknologi lebih baik atau teknologi lebih tahan cekaman iklim sehingga lebih menguntungkan dan dapat membayar premi.
Menurut Rizaldi, asuransi indeks iklim sudah diterapkan di mancanegara dan memberikan hasil positif bagi produksi hasil pertanian. Misalnya saja di Ethiopea, dimana ratusan ribu petani di negara tersebut mengikuti asuransi indeks iklim.
Harmonisasi
Selain menerapkan upaya perlindungan terhadap petani, upaya meningkatkan produksi hasil pertanian melalui penggunaan bibit unggul juga memegang peranan penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Untuk mendapatkan bibit-bibit unggul di bidang pertanian, tentunya diperlukan kegiatan riset yang terus menerus oleh para peneliti dan kemudian hasil dari kegiatan riset tersebut diaplikasikan di lapangan.
Terkait kegiatan riset ini, Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Riset dan Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) Jumain Appe mengatakan masih adanya kendala dalam kegiatan riset.
“Kegiatan riset atau penelitian masih terbatas dan kurang berdamopak karena kegiatan penelitian tak dilakukan sesuai kebutuhan,” ujarnya di sela Simposium Pangan Nasional 2015, yang digelar kelompok usaha Indofood.
Untuk itu, pihaknya akan mendorong agar kegiatan riset oleh para peneliti dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. “Kami juga akan menerapkan hilirisasi dari kegiatan riset itu agar hasil riset dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat,” kata Jumain Appe.
Untuk mencapai tujuan itu, Kemenristekdikti akan melakukan harmonisasi kegiatan riset dengan instansi-instansi pemerintah lainnya sehingga kegiatan yang dilakukan bisa terfokus dan tidak terhambat oleh anggaran.
Dia mengakui banyak kementerian, seperti Kementerian Pertanian yang memiliki lembaga litbang. Jika saja litbang-litbang kementerian itu bisa diharmonisasikan, dipastikan akan mudah memunculkan hasil riset yang bisa diaplikasikan di lapangan.
Jumain sendiri mengungkapkan memang tidak semua hasil penelitian bisa diaplikasikan di lapangan. “Jika saja 1% dari jumlah penelitian yang bisa diaplikasikan di lapangan, itu sudah sangat bagus,” katanya.
Sementara itu Direktur PT Indofood Franky Wellirang menyatakan, pihaknya terus berusha memberikan bantuan kepada para peneliti untuk melakukan riset guna menghasilkan temuan-temuan baru di bidang pangan. Kepedulian terhadap kegiatan riset itu dilakukan Indofood melalui program Indofood Riset Nugraha (IRN) yang didirikan tahun 1996.
Melalui program itu, ungkap Franky, sudah ada 585 judul penelitian yang menerima bantuan dana dari IRN. Penelitian yang mendapatkan bantuan dana itu mayoritas terfokus pada bidang pangan. B Wibowo
Produksi Gabah Turun 500.000 Ton
Meski fenomena El Nino terjadi tahun ini, namun produksi pertanian seperti padi, jagung dan kedelai berhasil meningkat signifikan, terutama padi naik sekitar 5 juta ton gabah kering giling (GKG) dibandingkan tahun 2014. Peningkatan ini, terutama produksi gabah, menuai kritikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang meminta agar dilakukan evaluasi data proyeksi atau angka ramalan (ARAM) produksi padi 2015 yang dirilis BPS. Pada ARAM I, BPS mencatat produksi beras mencapai 75,55 juta ton GKG.
“Saya minta dievaluasi kembali angka-angka karena angka produksi (padi) 75 juta ton itu. Kalau 75 juta ton, berarti rata-rata orang Indonesia makan 175 kg/tahun. Itu tidak mungkin. Di mana surplusnya? Kenapa kita impor?” tanya JK. Wapres mengatakan hal itu dalam acara briefing soal sektor pertanian bersama Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan jajarannya di Kantor Kementan, Rabu (16/9/2015).
Menurut JK, data produksi padi harus dievaluasi lagi agar mendapatkan data yang lebih akurat. Alasannya, hal ini akan berdampak pada kebijakan selanjutnya, apakah perlu impor beras atau sebaliknya. “Jumlah (produksi) saja kita evaluasi, kita hitung lebih cermat yang nanti mempengaruhi subsidi bibit dan sebagainya. Kalau memang kekurangan (beras), pasti kita terbuka dengan kebijakan impor,” katanya.
Kini, angka produksi itu sudah direvisi BPS. Produksi padi menurut ARAM II mencapai 74,99 juta ton atau terkoreksi 560.000 ton dibandingkan ARAM I sebesar 75,55 juta ton. Bersamaan dengan koreksi tersebut, beras impor pun masuk di Pelabuhan Manado sebanyak 4.800 ton.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena kenaikan luas panen seluas 380.8700 hektare (2,76%) dan peningkatan produktivitas sebesar 1,5 kuintal per hektare atau 3%.
Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Hasil Sembiring mengatakan, koreksi yang dilakukan BPS mencakup produksi pada Sub Round II (Mei-Agustus) — sudah merupakan angka realisasi — dan Sub Round III (September-Desember), yakni angka perkiraan yang sudah mempertimbangkan perkembangan terakhir yang mempengaruhi faktor produksi.
“Namun dampak El Nino tidak berpengaruh pada Sub Round I dan II, bahkan terjadi peningkatan luas tanam, panen dan produktivitas menjadi indikator kenaikan produksi. Hal ini dikarenakan dampak kegiatan UPSUS tahun 2015,” beber Hasil.
Menurut Hasil, dampak El Nino hanya akan berpengaruh ada produksi sub Round III atau pertanaman Juni-September. Penamanan ini akan dipanen mulai September-Desember. Keyakinan Hasil itu didasari laporan luas tanam pada periode itu seluas 3,1 juta ha, cuma mengalami penurunan 38.000 ha atau 1,2% dibandingkan realisasi tahun 2014 pada periode sama seluas 3,138 juta ha.
Karenanya, sampai bulan September 2015, sambung Hasil, produksi padi petani diperkirakan sudah mencapai 65,2 juta ton GKG atau setara surplus 12,7 uta ton. “Namun, sampai akhir Desember diperkirakan masih surplus 10,57 juta ton beras,” katanya. Jamalzen