Realisasikan Program Hilirisasi Karet

Harga beberapa komoditas andalan ekspor Indonesia di pasar internasional terus tergerus. Hal ini akhirnya berdampak negatif pada kondisi perekonomian petani di dalam negeri, seperti yang terjadi pada petani karet.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pekan lalu menunjukkan nilai tukar petani (NTP) perkebunan merupakan satu-satunya yang indikatornya dibawah 100. Dengan indikator sebesar itu artinya pengeluarannya lebih besar dari yang didapat petani sehingga daya belinya turun. Hal ini dipicu harga karet dunia yang tergerus hingga 1,2 dolar AS per kilogram setelah sempat mencapai 4,6 dolar AS per kilogram.

Data BPS juga menunjukkan NTP perkebunan rakyat yaitu 96,39, di bawah NTP Tanaman Pangan yaitu 102,46, NTP Hortikultura yaitu 101,96, dan NPT Peternakan yaitu 108,6.BPS menyebut daya beli petani perkebunan yang turun terjadi terutama pada petani karet dan cengkeh.

Saat ini, harga komoditas karet di tingkat petani bervariasi di setiap daerah, namun berada di level rendah. Di Kalimantan, harga karet per kilogram yaitu Rp3.000, di Sumatera Rp4.000. Padahal, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) mengkalkulasi, dengan memperhitungkan biaya produksi, harga karet di tingkat petani minimal mencapai 1,8 dolar AS per kilogram.

Penurunan harga komoditas karet di pasar internasional memang tidak dapat dibendung. Saat ini pasar-pasar tujuan ekspor telah menurunkan pembeliannya sedangkan industri dalam negeri belum menyerap produksi karet lokal dengan maksimal.

Kondisi ekonomi di negara-negara yang selama ini menjadi pasar tama ekspor karet Indonesia saat ini sedang lesu. Misalnya saja Tiongkok, Pada awal 2000-an ekonomi negara itu tumbuh di atas 10 persen sehingga ekspor karet Indonesia ke Tiongkok tinggi. Tiba-tiba pertumbuhan mereka terus menurun sejak 2012 sehingga sektor manufakturnya hancur-hancuran dan berakibat pada penurunan permintaan karet dari Indonesia.

Untuk memperbaiki kondisi ekonomi petani karet dan mendongkrak harga komoditas tersebut di pasar internasional, tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk menggiatkan penggunaan karet di dalam negeri atau program hilirisasi karet .

Sebenarnya, program hilirisasi karet sudah dicanangkan pemerintah. Melalui program ini, proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang akan dijalankan kementerian atau lembaga pemerintah pemerintah, seperti pembangunan jalan raya, akan menggunakan bahan baku karet dari dalam negeri.

Namun seiring dengan terjadinya pergantian menteri dalan Kabinet Kerja, tertama pergantian Rachmat Gobel ke Thomas Lembong sebagai menteri perdagangan, program hilirisasi karet tidak ada gaungnya lagi.

Padahal, jika program hilirisasi karet dijalankan dengan baik, pasokan karet di luar negeri akan berkurang sehingga akan berpengaruh terhadap harga jual.Selain itu, penggunaan aret dalam kegiatan pembangunan infrastruktur juga akan mengurangi beban biaya untuk kegiatan impor.

Tentunya bola kini berada di tangan pemerintah. Jika pemerintah ingin membantu petani kebun di dalam negeri, kebijakan-kebijakan yang telah dicanangkan perlu direalisasikan segera.

Jangan sampai petani karet dan komoditas perkebunan lainnya berpindah usaha dan menyerbu kota-kota besar sebagai harapan mendapatkan penghidupan yang lebih baik lagi. Jika itu terjadi, di masa mendatang Indonesia bisa berstatus sebagai negara pengimpor komoditas perkebunan.