Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sukses menjadi ‘bintang’ di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Namun, setelah dua gebrakan yang mengejutkan banyak pihak, kini langkah Susi mulai menuai kritik. Targetnya mengangkat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) disorot bisa kontraproduktif dan mematikan industri penangkapan ikan.
Susi Pudjiastuti memang luar biasa. Menteri Kelautan dan Perikanan ini mampu membetot perhatian pers, bahkan memberitakan hal-hal sepele layaknya kalangan pesohor. Padahal, kebijakan di sektor kelautan dan perikanan, yang jadi domain utamanya, sejatinya justru lebih menarik.
Bayangkan, dalam kurun dua pekan sejak dilantik, Menteri Susi membuat terobosan melakukan transparansi membuka akses data ke publik yang ingin mengetahui data semua kapal ikan berukuran 30 gross ton (GT) ke atas. Dengan data ini, masyarakat diharap bisa ikut mengawasi pelanggaran usaha penangkapan ikan.
Namun, yang fenomenal adalah gebrakan kedua Susi. Dia mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap yang sudah disetujui Menteri Hukum dan HAM. Keputusan ini diakui Susi mendapat kritik. “Saya dianggap tidak ramah terhadap investor,” katanya dalam chief editors meeting, Jumat (7/11/2014).
Kritik itu sebetulnya belum seberapa. Kebijakan “panas” Susi yang ditunggu banyak pihak adalah gebrakannya menaikkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor perikanan dan kelautan yang hanya Rp300 miliar/tahun menjadi Rp5 triliun. Sebelumnya, potensi PNBP itu disebut Rp25 triliun, yang kemudian menurun jadi Rp5 triliun dan belakangan malah hanya sekitar Rp1,3 triliun. Entah karena berlatar belakang sebagai pengusaha atau bukan, yang jelas Susi menganggap PNBP Rp300 miliar merugikan negara. Pasalnya, pemerintah tiap tahun memberi subsidi BBM sebesar Rp11,5 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Eddy Yuwono mengecam rencana lonjakan kenaikan PNBP tersebut. “Jika Ibu menteri merasa lebih pintar, lebih baik kapal ikan Astuin disewakan saja, biar Ibu menteri yang mengelolanya. Kami tinggal menunggu uang sewanya saja,” sergah Yuwono.
Yang jelas, anggota DPR Fraksi Demokrat Herman Khaeron juga mengingatkan bahwa persoalan PNBP akan jadi tolok ukur penting kinerja Susi sebagai menteri. “PNBP ini jadi acuan keberhasilan kepemimpinannya. Soal rasional atau tidak, itu urusan Bu Susi. Kalau mampu kita beri plus, kalau tidak kita beri nilai minus. Tapi semua target PNBP yang terus menurun itu kita catat baik-baik,” tandasnya. AI