Sulit, Target pun Terus Turun

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terhenyak ketika mengetahui sektor kelautan dan perikanan menghabiskan uang negara sekitar Rp18 triliun/tahun. Jumlah itu terdiri dari Rp6,5 triliun untuk operasional pengembangan kelautan dan perikanan serta Rp11,5 triliun untuk keperluan subsidi bahan bakar minyak sektor perikanan.

Yang membuat Susi kaget dan kecewa, dengan subsidi mencapai Rp11,5 triliun, ternyata pendapatan pemerintah dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya Rp300 miliar/tahun atau 2,6% saja.

Yang lebih menyesakkan lagi, subsidi itu juga diduga salah sasaran karena sekitar 70% dari subsidi Rp11,5 triliun tersebut dinikmati kapal berukuran 30 gross ton (GT) ke atas.

Susi pun kecewa dengan nilai PNBP Rp300 miliar/tahun. PNBP ini sebagian besar berasal dari pembayaran retribusi perizinan kapal penangkapan ikan yang rata-rata Rp90 juta per unit.  “Nilainya yang minim itu saja sudah sangat merugikan negara, maka sudah saatnya kita meningkatkannya. Negara kita sesungguhnya bisa mandiri, berdiri sendiri dengan mengoptimalkan sektor kelautan dan perikanan,” ujar Susi dalam jumpa pers di kantornya, pekan lalu.

Susi pun bertekad akan mengembalikan uang negara yang habis itu dengan membebankannya pada kapal berbendera asing di atas 30 GT yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Susi mungkin khilaf. Selama ini memang tidak boleh kapal berbendera asing menangkap ikan di perairan nasional. Maksud Susi mungkin eks kapal asing. “Maklum, Ibu Menteri baru. Jadi, belum seluruhnya paham tentang aturan main kapal perikanan. Hingga saat ini kapal perikanan asing yang memasuki WPP Indonesia dinyatakan ilegal. Pembisiknya pun keliru,” ujar sumber Agro Indonesia di lingkup Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Kepala Sub Bidang Komunikasi Publik, Pusat Data Statistik dan Informasi (Pusdatin), KKP, Hardiansyah pun mengakui kesalahan pernyataan bosnya ini. “Yang benar adalah eks kapal perikanan asing,”

Pusdatin mencatat, dari 5.329 kapal besar bertonase di atas 30 GT yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia, 20% di antaranya adalah kapal eks asing.

Nah, kapal-kapal inilah yang terkena kebijakan baru Susi, yakni moratorium perizinan kapal tangkap selama 6 bulan. Berdasarkan Permen KP No.56/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Perikanan Tangkap — yang sudah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM — terhadap kapal-kapal perikanan pengadaan dari luar negeri tidak diterbitkan izin baru, apakah SIUP, SIKPI maupun SIPI. SIPI/SIKPI yang ada pun tidak diperpanjang, dan bagi yang masih berlaku dilakukan analisis dan evaluasi sampai masa berlaku berakhir. Jika ditemukan pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi administrasi. Inilah sejarah yang diukir Susi tak sampai sebulan dia menjabat.

Untuk menegakkan aturan itu, KKP dengan TNI Angkatan Laut, Polisi Air dan Udara, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) membentuk satuan tugas untuk memantau dan menertibkan kapal yang masih beroperasi selama masa penangguhan perizinan diberlakukan.

Selain itu Susi akan mengkaji kembali kebijakan penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi nelayan pada tahun 2015. Jajarannya pun akan memeriksa ulang perijinan yang telah diterbitkan, termasuk mengecek keberadaan kapal-kapal bertonase berat yang masih mengggunakan BBM bersubsidi.

Hal tersebut sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk mengalokasikan pemanfaatan subsidi BBM ke arah yang lebih bagus. Mengingat, nelayan lebih mengharapkan jaminan ketersediaan pasokan bahan bakar.

“Harusnya terjadi equity antara pengeluaran dan pemasukan negara dari sektor kelautan dan perikanan, bukan hanya jadi beban negara,” kata Susi.

Berdasarkan hitungan Susi, terdapat potensi peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp25 triliun/tahun yang belum termanfaatkan dari sumberdaya ikan dan non sumberdaya ikan.

Tak masuk akal

Semua gebrakan Susi tadi memang membuat banyak pihak terperangah. Mengenai PNBP, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf menyatakan, kenaikan memang bisa diupayakan dari pungutan perikanan berupa Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP).

Perlu diketahui, dasar pemikiran PHP adalah bagi hasil sumberdaya ikan hasil produksi selama 1 tahun yang dibedakan berdasarkan usaha skala kecil (hanya 1% dari hasil produksi dan skala besar (2,5% dari hasil produksi) atau sering dikenal dengan production sharing.

Besarnya PHP diperoleh dari formula 1% atau 2,5% dikalikan produtivitas kapal penangkap ikan menurut alat tangkap yang digunakan lalu dikalikan harga patokan ikan.

Tagihan itu dikenakan pada perusahaan-perusahaan nasional yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot lebih dari 30 GT atau yang mesinnya berkekuatan lebih dari 90 daya kuda dan beroperasi di luar 12 mill laut.

Hanya saja, Gellwynn membenarkan bahwa target kenaikan PNBP yang ingin dicapai sebesar Rp5 triliun sulit. “Agak sulit untuk mencapai Rp5 triliun. Hasil akhir (perhitungan, Red.) kami bisa menaikkan jadi Rp1,3 triliun dan angka ini tahap final,” ujar Gellwynn.

Buat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT), angka Rp5 triliun dari PNBP setahun nampaknya di luar jangkauan. Yang masuk akal, target Rp5 triliun untuk 5 tahun.

Saat inipun, DJPT KKP belum kunjung memastikan besaran kenaikan tarifnya. Karena itu, instansinya pun enggan memberikan keterangan detail pada khalayak. Namun, ancer-ancernya, kapal penangkap ikan 30-60 GT bisa jadi naik 10%, 60-300 GT mungkin naik 30% dan lebih dari 300 GT kemungkinan naik 60%.

Kenaikan itu pun tergantung dari target spesiesnya, teknologi kapalnya, jenis alat tangkapnya dan wilayah pengelolaan perikanan. Jadi, kapal perikanan yang canggih dengan alat tangkap purse seine jelas lebih mahal dari pada pengguna jaring insang (gillnet) atau hutate (pole and line).

Mati

Yang pasti, ambisi Susi saat ini masih terganjal Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departeman Kelautan dan Perikanan. Dasar hukum ini lah yang perlu segera diubah.

Selain itu, langkah Susi ini juga bakal menemui perlawanan keras dari pengusaha. Setidaknya, itu yang dilakukan oleh Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin). Menurut Ketua Umum Astuin, Eddy Yuwono, jika benar PPP dan PHP akan dinaikkan 600%, maka bisa dipastikan usaha perikanan tangkap mati.

“Praktiknya tidak semudah yang dibicarakan Ibu Menteri. Jika Ibu Menteri merasa lebih pintar, lebih baik seluruh kapal perikanan anggota Astuin disewakan ke ibu saja. Biar ibu yang mengelolanya. Kami tinggal menerima uang sewanya,” ketus Eddy saat dihubungi Agro Indonesia.

Eddy pun mengingatkan fungsi KKP yang sejatinya tidak hanya bekerja demi kepentingan  bisnis saja, namun di dalamnya ada pula fungsi pembinaan dan pelayanan. “Jika KKP ingin untung, bubarkan saja dan diganti menjadi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Sehingga sah-sah saja kalau keluar sekian, ingin balik modal dan mendapat keuntungan,” sindir Eddy.  Fenny

Diarahkan ke DJPT

Sejak dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti gencar menyoroti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menurutnya kecil, hanya Rp300 miliar per tahun.

Bos dua perusahaan besar, PT ASI Pujiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai carter dengan 50 pesawat propeller ini pun kerap mencecar Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) dibandingkan dengan direktorat di lingkup KKP lainnya.

Praktis, jajaran DJPT kelabakan melayani Susi. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf yang berkantor di Gedung Minabahari II, Lantai 12 ini pun sibuk bukan kepalang. Gellwynn jadi  paling sering ke Gedung Minabahari I, Lt. 7 untuk diskusi dengan Susi dibandingkan pejabat eselon I lainnya.

Menurut sumber Agro Indonesia yang tidak ingin disebut jati dirinya, Susi memang sengaja diarahkan oleh para pembisiknya untuk fokus pada DJPT. “Semuanya mengarahkan Ibu Menteri pada DJPT,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), KKP Saut Parulian Hutagalung menilai tindakan Susi wajar-wajar saja. “Karena apa yang diharapkan dari PNBP P2HP? Paling dari sewa ruangan yang tidak seberapa banyak pemasukannya. Semua anggaran kami rata-rata digunakan untuk keperluan masyarakat. Membuat kemasan, contohnya. Ini pun gratis.”

Begitu pula, koleganya di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), KKP. “Apanya yang diharapkan dari PSDKP KKP?,” ujar PNS di lingkup PSDKP yang emoh diungkap jati dirinya ini. Fenny

SHARE
Previous articlePengusaha Kecam Susi
Next articleMenunggu Tarif Baru