Gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mulai menuai kritik. Akankah kritik ini makin menguat dan menghambat atau malah makin mengukuhkan tekad Susi membenahi sektor perikanan dan kelautan nasional.
Kebijakan moratorium atau penghentian sementara pemberian izin tangkap untuk kapal-kapal eks asing benar-benar mengejutkan. Pasalnya, dari data yang disampaikan Susi, ternyata ada ribuan eks kapal asing yang dialihkan kepemilikannya ke pengusaha dalam negeri.
Itu sebabnya, dia menyebut moratorium ini adalah langkah pemerintah untuk mendata ulang. Alasannya banyak izin kapal tangkap yang ukurannya besar ternyata meragukan. Dari 5.329 kapal ukuran di atas 30 gross ton (GT), sebanyak 4.000 kapal milik perusahaan Indonesia. Sedangkan sekitar 1.200 lagi adalah kapal eks asing yang dialihkan kepemilikannya ke swasta nasional. Nah, kapal-kapal inilah yang dianggap meragukan dokumen izin tangkapnya.
“Saya katakan banyak kapal yang tidak legal. Saya beri contoh banyak kapal yang nomor, cat dan fisik kapal itu sama. Satu lisensi mungkin kapalnya ada 10. Jadi semacam diduplikasi,” kata Susi di Jakarta, Jumat (7/11/2014).
Untuk kebijakan moratorium, Susi cukup mendapat “angin”. Setidaknya, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKS, Rofi’ Munawar menyebut hal itu sebagai langkah awal menata perikanan nasional. Hanya saja, dia minta moratorium diikuti dengan kemampuan melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal ikan yang ilegal,” katanya.
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Muhammad Billahmar juga mengapresiasi langkah Susi. “Kami melihat fakta bahwa beliau menunjukkan janji-janjinya. Jadi tidak sekadar ngomong, tapi sudah bisa diukur,” paparnya.
Yang pertama adalah janji Susi melakukan keterbukaan mengenai perizinan kapal tangkap. “Ini sudah dibuka dan kini masyarakat sudah bisa melihat seluruh izin kapal penangkap ikan,” ujar Billahmar. Masyarakat yang ingin mengetahui kapal-kapal di atas 30 GT yang dapat izin menangkap ikan di laut nasional memang dapat mengaksesnya melalui situs www.integrasi.djpt.kkp.go.id/webperizinan dengan nama pengguna: kkpindonesia, dan kata kunci: goodgovernance.
Gebrakan kedua adalah melakukan moratorium izin kapal baru. “Permen KP No. 56/2014 yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM ini merupakan sejarah buat Kementerian Kelautan dan Perikanan karena baru pertama kali dilakukan,” jelas Billahmar.
Revolusioner
Namun, yang paling penting justru adalah gebrakan ketiga yang masih ditunggu oleh seluruh stakeholder kelautan dan perikanan. Langkah itu tak lain niat Susi menaikkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan.
Ini isu sensitif karena terkait dengan semua pemangku kepentingan, terutama di perikanan tangkap. Yang jadi soal, Susi mengaitkan rencananya menaikan PNBP dengan perbandingan untung-rugi layaknya entitas bisnis. Bahkan, dia menyebut negara merugi karena mensubsidi BBM tiap tahun sebesar Rp11,5 triliun, tapi PNBP yang diperoleh hanya Rp300 miliar atau sekitar 2,6% saja. ”Itu tidak masuk akal. Jelas negara dirugikan. Saya pikir tidak boleh terjadi lagi. Kita ingin mendapatkan hasil yang setara dengan biaya yang kita keluarkan,” katanya.
Ini yang ditanggapi serius oleh HNSI. Billahmar menyatakan, untuk penentuan besaran PNBP pemerintah tidak bisa sendirian. “Kita harus duduk bersama. Pemerintah harus undang semua stakeholder perikanan. Jangan sampai orang terkaget-kaget seperti kebijakan moratorium,” tandasnya.
Dia menyebut langkah Susi memang revolusioner. “Sah-sah saja itu dilakukan. Tapi pemerintah juga harus siap ada korban, misalnya devisa menurun atau terjadi PHK massal,”katanya.
Dia mengingatkan, jika PNBP digenjot, berarti pungutan perikanan pasti akan dinaikkan karena komponen PNBP ada dua. Pertama adalah pungutan perusahaan perikanan (PPP) yang dipungut hanya sekali, dan kedua pungutan hasil perikanan (PHP) yang dibayar tiap tahun.
Selain itu, kemungkinan produksi juga ikut dinaikkan. “Ini yang bisa berbahaya karena bisa menguras sumberdaya ikan lestari. Itu sebabnya, penentuan besaran PNBP pemerintah harus duduk bersama mengundang berbagai pihak,” katanya.
Yang juga jadi masalah adalah soal target besaran PNBP. Menurutnya, jika Susi menginginkan kenaikan PNBP sampai Rp5 triliun bisa mengundang bahaya. Secara pribadi dia berpendapat, jika target itu yang ingin dicapai, jangan-jangan pemerintah menenderkan laut seperti dulu. “Dulu, di Permen KP No.5/2008 tentang usaha perikanan tangkap, yakni pasal 74, dikenal usaha perikanan tangkap berbasis klaster. Ini yang harus diwaspadai,” ujarnya.
Meski tidak menyebut nama, dia khawatir jika laut ditenderkan, maka kelompok tertentu akan meraup untung besar. Billahmar mengatakan, dari kalkulasi yang ada, praktik penangkapan ikan ilegal yang tak dilaporkan dan tak diatur (Illegal Unreported Unregulated/IUU fishing) di Laut Arafura tiap tahunnya merugikan negara Rp11,5 triliun. “Jadi, kalau target hanya Rp5 triliun mah kecil,” ujarnya.
Hanya saja, jika pemerintah kemudian menargetkan hanya Rp1,3 triliun, dia mengaku tidak melihat bahaya laut ditenderkan. “Silakan saja. Kita hanya tinggal mengawal Bu Susi,” ujarnya.
Terkait kenaikan PNBP dan pengurangan subsidi BBM, Billahmar hanya mengingatkan agar pemerintah mau belajar dari kasus kenaikan BBM tahun 2005. Saat itu, karena BBM mahal, maka orang tidak mau menggunakan alat tangkap yang kurang produktif.
“Akibatnya, orang akan banyak menggunakan purse seine (pukat cincin). Ini paling banyak dan saat ini saja sekitar 30% menggunakan purse sein. Alat tangkap ini memang paling menguntungkan di saat BBM naik. Padahal, dia berpotensi merusak lingkungan dan kelestarian ikan. Makanya di luar saja alat tangkap ini sifatnya buka-tutup,” paparnya.
Dicatat
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR (F-Demokrat) Herman Khaeron mengakui, kenaikan PNBP memang permintaan dewan. “Kenaikan itu memang permintaan kami karena PNBP adalah target pemerintah. Kita harap Bu Susi bisa menaikkan PNBP. Apalagi posisi beliau sebagai media darling,” ujar Herman.
Hanya saja, dia menilai soal besarnnya harus rasional. Secara pribadi, dia senang ketika Susi mengatakan potensi PNBP kelautan dan perikanan mencapai Rp25 triliun. Namun, belakangan angka itu diturunkan menjadi Rp5 triliun dan terakhir malah tinggal Rp1,3 triliun.
“Tapi saya acungi jempol jika Bu Susi mampu merealisasikan pendapatan PNBP Rp25 triliun, yang kemudian dikoreksi lagi tinggal Rp5 triliun dan terakhir malah sekitar Rp1,27 triliun. Saya kok khawatir nanti target itu turun terus,” paparnya.
Yang jelas, katanya, PNBP adalah key performance indicator. “Jadi, semua yang beliau sampaikan kita catat baik-baik. Kita akan undang menteri untuk menjelaskan hal itu. Kalau mampu kita beri nilai plus. Kalau tidak, kenapa itu terjadi dan kita beri nilai minus lah.”
Tapi satu hal yang diingatkan Herman. Susi mungkin bercermin pada dirinya sebagai pengusaha, yang mampu memberi kontribusi Rp5 miliar/tahun untuk PNBP. “Sekarang kita mengujinya apakah mampu. Apakah (mengurus) negara bisa seperti itu,” tandasnya.
Menjalankan bisnis (perusahaan) dengan menjalankan sebuah negara (pemerintahan) memang berbeda. Bahkan, ekonom peraih Nobel, Paul Krugman menyebut perbedaan itu bisa mengaburkan penilaian pengusaha dalam mengambil keputusan ekonomi, dan berujung membuat resep kebijakan ekonomi yang keliru. Semoga saja itu tidak terjadi di Kementerian Kelautan dan Perikanan. AI