Potensi Bentrokan Larangan Cantrang

Bentrokan antara pemerintah dengan nelayan nampaknya bakal sulit dihindari. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap ngotot memberlakukan larangan alat tangkap cantrang per 1 Januari 2017, sementara nelayan tetap menolak dan mendesak revisi, bahkan pencabutan larangan. Deindustrialisasi pun telah terjadi. Padahal, industri perikanan merupakan salah satu prioritas Kemenperin untuk menumbuhkan ribuan wirausaha baru dalam tiga tahun ke depan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) nampaknya harus siap menghadapi perlawanan nelayan, terutama pengguna alat tangkap cantrang. Terhitung mulai 1 Januari 2017, pemerintah tidak lagi memperpanjang tenggang waktu dua tahun penerapan Permen KP No. 02/MEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. “Cantrang kan kita sudah beri waktu hingga akhir tahun. Jadi untuk apa direvisi?” tegas Menteri KP Susi Pudjiastuti.

Namun, sikap ngotot ini juga ditanggapi nelayan sama kerasnya. Apalagi, berdasarkan Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Implementasi Permen KP 02/2015 yang digelar Kantor Menko Bidang Kemaritiman, 29-30 November 2016, mayoritas peserta menolak dan mendesak pemerintah merevisi, bahkan mencabut Permen KP tersebut. Harap maklum, kebijakan itu berdampak pada 17 jenis alat tangkap. Dari Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim) dan Banten pada November 2016 terdapat 38.000 kapal dan 760.000 orang yang terkena imbasnya. Ini belum termasuk Jawa Barat dan luar Pulau Jawa.

Posisi nelayan pun mendapat sokongan kuat DPR. Anggota Komisi IV DPR (F-KB), Daniel Johan menyebut pemerintah tidak adil terhadap nelayan karena tidak memberi jalan keluar yang menyeluruh. “Pemerintah zalim,” tegasnya, Jumat (9/12/2016). Kebijakan cantrang bersifat sepihak dan tak pernah mengajak bicara masyarakat.

Yang menarik, kebijakan pemerintah juga dikritik kalangan perguruan tinggi, termasuk persoalan mendasar perbedaan cantrang dengan trawl. “Cantrang  dengan trawl berbeda meski pun sekilas bentuknya sama. Operasional alat tangkap ini pun berbeda,” kata staf pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Nimmi Zulbainarni.

Kisruh di hulu perikanan ini akhirnya berimbas ke hilir: industri pengolahan. Kini, sentra industri pengolahan ikan pun banyak yang tumbang karena kesulitan memperoleh pasok ikan. Ini ironis karena KKP berani mengklaim sumber daya ikan melimpah, dari 7,31 juta ton (2013) menjadi 9,93 juta ton tahun 2015. Sayangnya, ikan-ikan tersebut bebas melaut tak tertangkap karena armada penangkapan sudah dikurangi.

Kementerian Perindustrian mengakui industri perikanan tangkap bermasalah akibat pasok bahan baku. Padahal, industri perikanan merupakan salah satu prioritas Kemenperin dalam program penumbuhan 20.000 wirausaha baru dalam jangka tiga tahun ke depan. “Kita akan koordinasi dan konsolidasi dengan instansi-instansi terkait untuk mengatasi masalah yang dihadapi industri perikanan tangkap,” papar Dirjen Industri kecil dan Menengah (IKM), Gati Wibawaningsih, Jumat (9/12/2016). AI