Kemenperin Akui Perikanan Tangkap Bermasalah

Kisruh di hulu kelautan dan perikanan akhirnya berimbas maut ke hilir: industri pengolahan. Hal ini diakui Kementerian Perindustrian selaku pembina industri perikanan. Industri perikanan tangkap di dalam negeri saat ini mengalami permasalahan, terutama dalam penyediaan bahan baku sehingga menganggu pengembangan industri tersebut.

“Bahan baku sebenarnya banyak di lautan kita, namun saat ini industri perikanan tangkap sedang mengalami kekurangan bahan baku. Untuk industri perikanan lainnya tidak masalah,” kata Dirjen Industri kecil dan Menengah (IKM), Gati Wibawaningsih kepada Agro Indonesia, pekan lalu.

Untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi industri perikanan tangkap ini, Gati menyatakan pihaknya selaku pembina industri perikanan akan melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait lainnya. “Kita akan melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan instansi-instansi terkait untuk mengatasi masalah yang dihadapi industri perikanan tangkap,” paparnya.

Menurutnya, industri perikanan merupakan salah satu industri yang menjadi prioritas Kemenperin dalam program penumbuhan 20.000 wirausaha baru dalam jangka tiga tahun ke depan. “Kita ingin menghasilkan 20.000 wirausaha IKM baru hingga tahun 2019 nanti. Sektor-sektor yag dipriorutaskan antara lain industri pangan, perikanan dan kerajinan,” ucapnya.

Sebelumnya, dalam Rakernas Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan, beberapa waktu lalu,  Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengakui kalau pengembangan industri perikanan di Tanah Air masih perlu ada revitalisasi dan konsolidasi guna mengatasi berbagai permasalahan yang ada di sektor tersebut.

“Kami ingin bagaimana melakukan pendampingan dan kebijakan yang tepat sehingga industri ini bisa direvitalisasi dan dikonsolidasikan dulu,” ujar Menperin.

Dijelaskan, langkah-langkah tersebut penting untuk dilakuka antara lain karena tingkat utilisasi di sektor kelautan dan perikanan masih sangat rendah, begitu pula dengan jumlah ekspor perikanan yang mengalami penurunan.

“Selain itu, persoalan lainnya yang perlu dikonsolidasikan adalah terkait data yang masih beragam. Kemenperin, berdasarkan instruksi presiden, juga akan membuat peta jalan industri kelautan dan perikanan,” ucap Airlangga Hartarto.

Pemerintah saat ini sedang mencari “low hanging fruit”, yaitu di bidang atau sektor perekonomian mana yang bisa dipanen dengan cepat dalam rangka meningkatkan lapangan pekerjaan dan pemerataan perwilayahan perkembangan ekonomi secara nasional.

“Perikanan masuk ke dalam kriteria tersebut karena tidak didominasi satu-dua player,” papar Menperin Airlangga Hartarto.

Dengan luas lautan yang besar, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadikan produk perikanan, baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap, sebagai salah satu andalan ekspor.

Apalagi, data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan, nilai ekspor produk perikanan dan seafood Indonesia pada periode Januari-Agustus 2016 tumbuh sebesar 10,76% dibandingkan periode yang sama setahun yang lalu.

Menurut Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan, Arlinda, nilai ekspor produk perikanan dan seafood pada Januari-Agustus 2016 mencapai  861,8 juta dolar AS. Produk-produk tersebut diekspor ke negara tujuan ekspor utama, seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, Jepang, Vietnam, dan Thailand.

“Kami optimis impian menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat diwujudkan,” ujar Arlinda,

Dia mengakui, salah satu faktor meningkatnya ekspor produk perikanan itu disebabkan oleh upaya pemerintah dalam mengatasi praktik penangkapan ikan ilegal.

Dia mencontohkan keberhasilan Indonesia dalam mengekspor produk perikanan ke Taiwan, di mana dalam lima tahun terakhir  ekspor produk perikanan ke Taiwan tumbuh sebesar 8,76% dengan nilai ekspor sebesar 62,33 juta dolar AS pada 2015. B. Wibowo

Jalankan Rekomendasi Ombudsman dengan Benar

Front Nelayan Bersatu (FNB) mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  untuk menjalankan rekomendasi Ombudsman RI ketimbang menawarkan program fasilitasi pembiayaan pengganti cantrang. “Kita hanya ingin KKP benar-benar menjalankan rekomendasi Ombudsman secara benar,” ujar Ketua Front Nelayan Bersatu, Bambang Wicaksana.

Seperti diketahui, ribuan nelayan menolak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Republik Indonesia Nomor  02/MEN-KP/ 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Nelayan Jawa Tengah (Jateng) berang karena alat tangkap yang biasa mereka gunakan, yakni cantrang, masuk dalam kategori pukat tarik. Mereka pun menggelar aksi unjuk rasa ke kantor KKP pada 26 Februari 2015 lalu dan melaporkan kebijakan itu ke Ombudsman.

Menurut penasehat hukum nelayan Jateng, Sadino, pihaknya melaporkan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti ke Ombudsman agar dicabut. “Kalau pun diterapkan, harus ada tenggang waktu. Ini persoalan perut, pemerintah tidak bisa main larang rakyat yang ingin mencari nafkah tanpa ada solusi,” papar Sadino.

Ada pun rekomendasi Ombudsman Nomor 0006/REK/0201.2015/PBP-24/VI/2015 tanggal 25 Juni 2015 menyebut Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti untuk menunda pemberlakuan Permen KP 02/2015 dan menerbitkan beleid baru yang mengacu pada 3 hal.

Pertama, asas dan tahapan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kedua, rumusan peraturan yang lebih baik dengan mengatur antara lain namun tidak terbatas mengenai kejelasan defisit dan detil spesifikasi alat tangkap sehingga jelas perbedaan antara alat tangkap yang diperbolehkan dan yang dilarang. Ketiga, dan memberikan masa waktu transisi implementasi peraturan yang baru tersebut sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun agar memberikan kesempatan kepada nelayan dan atau pemilik kapal tangkap ikan untuk menyesuaikan perubahan alat tangkap ikan yang diatur dalam ketentuan tersebut.

Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, M. Zulfichar Mochtar, pihaknya sudah menjalankan rekomendasi Ombudsman. Bahkan, Menteri Susi sudah menerbitkan surat edaran (SE). Tepatnya, SE Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 72 Tahun 2016 yang memberikan kesempatan hingga 31 Desember 2016 dengan 5 persyaratannya.

Ada pun persyaratannya yakni pertama, mengukur ulang kapal cantrang. Kedua, cantrang hanya dilakukan di perairan provinsi hingga 12 mill. Ketiga, mesh size minimal 2 inchi, ris 60 meter dan selektifitas penangkapan. Keempat, tata cara pengoperasian sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06 Tahun 2010. Kelima, hasil tangkapan didaratkan dan tercatat di pelabuhan.

Perlu Dicek

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M. Zulfichar Mochtar menegaskan pemerintah sudah mensosialisasikan masa transisi penggunaan alat tangkap cantrang hingga 31 Desember 2016 di seluruh wilayah Indonesia.

Zulfichar yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan ini minta khalayak tidak termakan mentah-mentah kabar penangkapan nelayan cantrang.

“Perlu dicek apakah ditangkap karena melakukan alat tangkap cantrang atau pelanggaran lainnya. Kalau alasannya, karena mengoperasionalkan cantrang bisa kontak KKP. Biar kami bantu koordinasikan dengan aparat setempat,” ujar Zulfichar.

Ketua Nelayan Cantrang Tegal, Tambari Gustam sendiri mengakui pelanggaran memang beragam. Ada nelayan yang bermasalah dengan Surat Ijin Berlayar, Surat Izin Penangkapan Ikan, ada pula yang disangkakan dengan pelanggaran batas fishing ground.

Kendati demikian, Tambari mengklaim kebijakan larangan alat tangkap cantrang  sudah berlaku di Tegal, Jawa Tengah. “Tidak ada penundaan. Ini menyebabkan kebingungan nelayan-nelayan di laut. Kami tidak berdaya. Kami tidak dihargai dalam pemanfaatan sumberdaya ikan sendiri. Kami ini hidup di negara siapa?” cetus Tambari.

Menurut Tambari, sedikitnya 400 kapal-kapal cantrang di Tegal terpaksa bersandar di pelabuhan. Pemilik kapal dan nelayan disana tidak ada yang berani melaut karena trauma ditangkap aparat.  “Ini buntut kejadian ditangkapnya 13 kapal di Perairan Palembang Februari 2016 lalu,” ungkapnya.

Tambari menambahkan dari 13 kapal tersebut ada nakhoda yang divonis penjara 1 tahun, 8 bulan. Kemudian pada November 2016, 6 kapal dikembalikan kepada pemiliknya, 6 kapal disita negara dan 1 kapal dimusnahkan.

Tambari pun khawatir jika 30 Desember 2016 nanti kapal-kapal cantrang jadi dilarang, ribuan nelayan terancam menganggur. Estimasinya, dalam 1 kapal cantrang rata-rata memperkerjakan 20 anak buah kapal (ABK). Jadi,  dalam 400 kapal cantrang memperkerjakan 8.000 ABK.

Itu belum termasuk pekerja di tempat pelelangan ikan di Pelabuhan Jongor dan Tegal yang terkena imbas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor  02/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

“Sangat menyedihkan, karena sandaran hidup nelayan saat ini ya jaring cantrang. Apalagi, di Kampung Nelayan Tegalsari.  Cantrang lah yang mengubah kehidupan nelayan menjadi sejahtera,” kata Tambari. Fenny