Pro-Kontra Larangan Cantrang

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti bergeming menghadapi segala bentuk protes terhadap pelarangan cantrang. Susi ngotot memberlakukan  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Republik Indonesia Nomor  02/MEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

“Cantrang kan kita sudah beri waktu hingga akhir tahun. Jadi untuk apa direvisi?” cetus Susi.

Susi menjelaskan  kebijakan yang ditempuhnya ini demi keberlangsungan perairan Indonesia, seperti yang diamanatkan Presiden Joko Widodo kepadanya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak bermaksud mematikan kehidupan masyarakat nelayan. Pemerintah justru ingin menyelamatkan kehidupan nelayan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

“Kalau lautnya terus dikeruk pakai trawl, cantrang, pukat hela dan pukat tarik, apa pun namanya, bisa habis nanti,” kata Susi mengingatkan.

Cantrang yang disebut-sebut Susi adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Cantrang bersifat aktif dioperasikan dengan menggunakan ukuran mesh size ≥ 2 inch dan tali ris atas ≥ 60 m dan menggunakan kapal motor.

Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, M. Zulfichar Mochtar, pemerintah ngotot melarang cantrang karena berbagai kajian sudah banyak dilakukan dan menunjukkan alat tangkap ini tidak berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial.

“Sejak tahun 1980, cantrang sudah dilarang. Karena secara ekologis merusak, ekonomi tidak sustainable dan memicu konflik sosial di banyak wilayah,” kata Zulfichar.

Zulfichar membeberkan secara ekologis, meski pun cantrang berusaha menghindari terumbu karang tapi bisa merusak jika dioperasikan di sekitarnya. Selain terumbu karang, ekosistem  pun bisa terusik  di lokasi aktivitas cantrang. Belum lagi, tangkapan sampingan cantrang yang sangat besar hingga 50% lebih.

Secara sosial, cantrang mendorong nelayan ekspansi ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) lain yang akan memicu persoalaan baru. Banyak pula yang melanggar WPP akibat ketiadaan ikan. Belum lagi, rawan melahirkan koflik. Di berbagai lokasi, kapal-kapal cantrang diusir dan bahkan dibakar oleh nelayan lokal.

Bantah

Sebaliknya, dalam rapat yang digelar pada 29-30 November 2016 di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, stakeholder mengklaim cantrang hanya dioperasikan di perairan berdasar pasir dan lumpur serta tidak di wilayah berterumbu karang atau ekosistem pesisir lainnya.

Dalam rapat itu stakeholder mengklaim hasil tangkapan cantrang didominasi oleh  ikan petek (Leiognathus sp.) ukuran dewasa 11 centimeter (cm) dan ukuran maksimal 13,5 cm. Kuniran (Upeneus sp.) dengan panjang maksimal 23 cm dan panjang secara umum 20 cm. Swanggi (Phriacantus sp.), panjang maksimal 35 cm dan panjang secara umum 25 cm. Kapasan/Ponyfish (Equulites sp.), panjang maksimal 12,8 cm.

“Artinya, ikan yang ditangkap oleh alat tangkap cantrang selama ini bukan lah ikan yang tidak layak tangkap. Melainkan ukuran ikan tersebut adalah ikan layak tangkap yang sudah mencapai ukuran maksimum dan tidak bisa ditangkap dengan menggunakan alat tangkap lainnya selain cantrang,” papar Ketua Front Nelayan Bersatu, Bambang Wicaksana.

Staf Pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Nimmi Zulbainarni minta pemerintah memperhatikan perbedaan yang mendasar antara alat tangkap cantrang dengan pukat hela (trawl).

“Cantrang  dengan trawl berbeda meski pun sekilas bentuknya sama. Operasional alat tangkap ini pun berbeda,” kata Nimmi.

Nimmi menjelaskan cantrang digunakan untuk menangkap ikan pelagis di permukaan. Sementara, trawl menangkap ikan dasar seperti udang yang dioperasikan dengan cara diseret di dasar perairan.

“Alat tangkap cantrang akan menjadi tidak ramah lingkungan, apabila penggunaan mesh sizenya terlalu kecil. Ini yang perlu diawasi,” kata Nimmi.

Solusi Basa-Basi?

Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) menyoroti kerugian akibat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Republik Indonesia Nomor  02/MEN-KP/ 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kajian MPN menyebut di 5 daerah pesisir Pulau Jawa yakni Brebes, Tegal, Batang, Pati dan Rembang saja potensi pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang mencapai Rp1,9 triliun. Ini pun belum termasuk potensi kehilangan pekerjaan bagi 66.641 orang yang senilai Rp1,5 triliun.

“Sehingga, total dampak ekonomi dan sosial kebijakan tersebut adalah Rp3,4 triliun per tahun,” ujar Ono.

Ono pun membantah adanya skema fasilitasi pembiayaan pengganti cantrang dari Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang digadang-gadang Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. “Skema pembiayaan belum ada. Ini skema mimpi dari KKP,” kata Ono yang juga anggota Komisi IV DPR (F-PDIP) ini.

Sebelumnya, Ketua Front Nelayan Bersatu (FNB), Bambang Wicaksana juga membantahnya. Menurut pengamatannya di lapangan, nelayan pengguna cantrang hingga saat ini belum kunjung tersentuh solusi yang digadang-gadang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Setelah bank-bank yang bersangkutan  kami hubungi kok menyatakan tidak tahu-menahu ya. Lagian, secara logika mana ada bank di dunia ini yang mau kasih kredit baru, sementara yang lama bermasalah. Kecuali, Bank Toyib yang malah keburu minggat, ngga pulang-pulang,” seloroh Bambang.

Bambang pun menampik tawaran Menteri Susi yang akan mempertemukan nelayan cantrang dengan kredit senilai minimal Rp200 juta dari perbankan. “Kalau cuma Rp200 juta saja mungkin hanya cukup buat beli dempul kapal. Yang dibutuhkan untuk pergantian alat tangkap plus modifikasi kapal dan peralatan pendukung bisa mencapai Rp1-3 miliar,” sergah Bambang.

Tidak gampang

Menurut Ketua Nelayan Cantrang Tegal, Tambari Gustam, peralihan cantrang ke alat tangkap yang dikehendaki pemerintah tidak gampang. Karena proses perubahan fisik kapal dan alat tangkap butuh biaya yang sangat besar. “Apalagi KKP hanya menjanjikan sebatas teori. Misalnya, kredit bank yang nyatanya susah,” kata Tambari.

Bambang menegaskan, nelayan cantrang belum siap menghentikan aktivitasnya. Menurutnya, nelayan menuntut pengunduran waktu yang rasional, paling tidak 2 tahun lagi agar peralihan cantrang ke alat tangkap yang diinginkan pemerintah dapat berjalan mulus dan tuntas.

Jika pemerintah bersikeras memberlakukan peraturan ini awal tahun depan, Bambang khawatir nelayan yang kecewa akan meledak. “Sebagai penyambung lidah, saya sudah tidak mampu lagi mengendalikan emosi kawan-kawan nelayan. Sudah lelah saya mengingatkan pemerintah akan potensi gejolak sosial  yang sangat memungkinkan meledak. Tapi mereka tidak mau mendengarkan,” kata Bambang.

Sayangnya, untuk urusan penengakan hukum per 1 Januari 2017, baik Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, M. Zulfichar Mochtar mau pun Sekretaris Jenderal KKP, Sjarief Widjaja sama-sama bungkam.

Seperti diketahui, Menteri Susi menawarkan kemudahan kredit perbankan bagi  nelayan yang ingin membeli alat tangkap baru menggantikan cantrang yang selama ini digunakan. “Kita pertemukan dengan perbankan yang mau memberikan kredit senilai minimal Rp200 juta sampai kecukupan kebutuhannya berapa,” kata Susi dalam konferensi pers di kantornya (5/10).

Susi menambahkan, KKP juga akan  merestrukturisasi kredit nelayan yang telah jatuh tempo sehingga dapat melakukan peminjaman kembali. Bahkan, yang punya utang lama, perbankan akan merestrukturisasi sampai 2 tahun dan diberi utang baru,”

“Hingga saat ini telah ada dua bank yang menjalin kerjasama dengan KKP terkait program fasilitas pembiayaan ini, yaitu BNI dan BRI,” kata Susi.

Susi memastikan fasilitas kredit ini mudah diakses oleh para nelayan. Untuk itu, KKP akan membuka posko pelayanan di kantor pusatnya yang buka setiap hari kerja mulai pukul 08.00-16.00 WIB.

Zulfichar menambahkan, berbagai solusi bagi kapal cantrang sudah disodorkan pemerintah. Mulai dari pergantian alat tangkap kapal di bawah 30 gross tonnage (GT). Juga tawaran alokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) lain buat kapal-kaoal diatas 30 GT. “Misalnya ke Natuna dan Arafura,” kata Zulfichar. Fenny