Potensi Ekonomi Hutan Dipertanyakan

Ilustrasi. rimbawan melakukan pemeliharaan tata batas kawasan hutan (foto: dok ksdae.menlhk.go.id

Oleh:  Pramono Dwi Susetyo  (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku “Seputar Hutan dan Kehutanan: Masalah dan Solusi”)

Pramono DS

Belum lama ini, Menteri Keuangan RI; Sri Mulyani Indrawati mengaku tak habis pikir bagaimana Indonesia yang memiliki hutan sangat luas, namun sumbangan ke keuangan negara sangatlah kecil. Sektor kehutanan secara keseluruhan, hanya memberikan setoran dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp5,6 triliun. Padahal, PNBP Indonesia sekarang sudah mencapai hampir Rp350 triliun.

Bendahara negara ini memerinci, kontribusi PDB nominal dari subsektor kehutanan pada tahun 2017-2021 kurang dari 1%, dengan kisaran 0,6-0,7 persen. Kontribusinya pada tahun 2021 hanya sekitar Rp112 triliun (0,66% dari PDB) lebih tinggi dibanding kontribusi pada tahun 2020 yang mencapai Rp108,6 triliun (0,70 persen dari PDB).

Dilihat dari pertumbuhan setiap tahun, sektor ini mengalami pertumbuhan rata-rata 5-6 persen per tahun. Bila diperinci, tumbuh 4,6% di tahun 2017, 6,3% di tahun 2018, dan 6,9% di tahun 2019. Kemudian pada tahun 2020, pertumbuhannya menyusut menjadi 4,3%. Lalu di tahun 2021, sektor kehutanan hanya tumbuh 3,1%.

Sri Mulyani merasa, pertumbuhan yang terlampau kecil ini menjadi tanda ada yang salah. Jadi, apa yang salah dalam tata kelola hutan Indonesia yang menurut data dari FAO merupakan negara yang mempunyai hutan tropika basah terluas nomor tiga di dunia, yakni 125,3 juta hektare?

Era Bonanza Kayu

Pada masa orde baru, 1968-1998, sektor kehutanan mengalami zaman keemasan karena mampu memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap devisa negara. Hutan alam Dipterocarpaceae (meranti sp) membentang luas di Sumatera dan Kalimantan. Permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi. Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan benar sebagai penggerak roda pembangunan. Akibatnya hutan alam dieksploitasi habis habisan untuk diekspor kayunya  dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan). Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baik asing maupun domestik terus bertambah dalam pengusahaan hutan alam tropika yang didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. Dan Dryobalanops spp.) telah menjadi andalan sumber devisa negara.

Pada tahun 1990-1995, produksi kayu lapis dari bahan baku kayu hutan alam tercatat menguasai pasar kayu tropis (hard wood) dunia. Sektor kehutanan bahkan telah menyumbangkan devisa negara sebesar 16 miliar dolar AS per tahun (atau sekitar Rp240 triliun dengan nilai kurs Rp15.000), perolehan devisa negara terbesar kedua setelah migas.

Sumber pendanaan negara dari hutan ini dipungut dari provisi sumberdaya daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR). PSDH atau Resources Royalty Provision adalah  pungutan yang dikenakan   sebagai   pengganti  nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari hutan negara. PSDH wajib dibayar oleh Pemegang hak pengusahaan hutan (HPH)/hak pemungutan hasil hutan (HPHH)/izin pemanfaatan kayu (IPK) dan izin sah lainnya (ISL)  atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Pelaksanaan Pembayaran PSDH tidak meniadakan kewajiban pemegang HPH/HPHH/IPK/industri pengolahan kayu hulu (IPKH) dan ISL untuk membayar kewajiban lainnya.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas areal blok tebangan dikenakan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku  tentang PBB.

Sementara DR tadinya adalah dana jaminan reboisasi (DJR) yang termuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) no. 35/1980 tentang dana jaminan reboisasi dan permudaan hutan areal hak pengusahaan hutan, muncul istilah dana jaminan reboisasi (DJR) Dalam Kepres ini disebutkan bahwa reboisasi dan permudaan hutan pada dasarnya adalah menjadi kewajiban dari para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan di lapangan pada seluruh bekas tebangan di dalam areal HPH yang bersangkutan telah dilakukan kegiatan reboisasi dan permudaan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka dana jaminan tersebut akan dikembalikan kepada Pemegang HPH yang bersangkutan. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan di lapangan kegiatan reboisasi dan permudaan hutan tidak atau belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka dana jaminan tersebut akan digunakan untuk membiayai melaksanakan reboisasi dan permudaan hutan yang bersangkutan.

Untuk menggenjot devisa negara dari sektor kehutanan, setahun kemudian (1981) pemerintah memanfaatkan bonanza kayu dari hutan alam sebagai sumber pemasukkan negara kedua setelah minyak bumi dengan membuka keran ekspor log (gelondongan) langsung keluar negeri hanya dengan menerbitkan SKB 4  Dirjen. Sejak saat itu dana jaminan reboisasi (DJR) berubah namanya menjadi dana reboisasi (DR) dan dengan DR ini pemerintah tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kepada pemegang HPH lagi. Sejak saat itu hingga tahun 1998, jumlah dana reboisasi yang disimpan di rekening khusus Dirjen Kehutanan dan Menteri Kehutanan (setelah terbentuknya Departemen Kehutanan 1983), jumlahnya semakin membengkak menjadi besar. Apalagi karena disimpan dalam rekening khusus Menteri Kehutanan, maka dana tersebut bertambah besar dengan pendapatan jasa giro dan bunga jasa giro.

DR merupakan salah satu pemasukan negara yang jumlahnya cukup besar. Bahkan oleh rezim pemerintahan orde baru, pemasukan negara dari hutan ini digunakan sebagai dana cadangan untuk kepentingan yang bersifat urgent, seperti menambah dana segar bagi industri penerbangan nasional (IPTN), dana pinjaman lunak untuk membangun hutan tanaman industri (HTI) dan sebagainya.

Era Pemerintahan Reformasi 

Dengan telah bergantinya rezim dari orde baru ke rezim reformasi, seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, jumlah korporasi industri kehutanan juga ikut menyusut. Tahun 2019, HPH yang tersisa tinggal 255 unit dengan luas konsesi 18,7 juta ha. 345 unit HPH lainnya telah habis kontraknya (masa kontrak 35 tahun), atau diputus kontrak oleh pemerintah di tengah jalan karena telah melanggar ketentuan yang ada. Sedangkan untuk izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta ha. Pungutan  PNBP dari sektor kehutanan yang  sebagian besar didominasi oleh hasil hutan kayu dai hutan alam maupun hutan tanaman  besaran volumenya telah menyusut drastis dibandingkan dengan puncaknya pada masa bonanza kayu alam terjadi.

Faktor penyebab utama kinerja IUPHHK-HA yang terus menurun karena produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah atau bahkan tidak ekonomis untuk diusahakan. Kondisi ini menyebabkan IUPHHK-HA banyak yang gulung tikar, sebagian tidak aktif dan mati suri. Secara teknis IUPHHK-HA tersebut tidak lagi mempunyai kegiatan di lapangan , tidak mengurusi beberapa kewajiban pokoknya dalam mengelola hutan. Kondisi ini sudah barang tentu akan berpengaruh sangat signifikan terhadap besaran dan jumlah pemasukan negara dari sektor kehutanan. Sektor kehutanan sudah tidak lagi menjadi pemasukan devisa negara nomor dua di Indonesia dan peringkatnya terus melorot entah keberapa sebagai pemasok devisa negara.

Kegundahan Sri Mulyani masuk akal, bagaimana tidak; sektor yang tadinya mampu memberikan pemasukan negara sebesar 16 miliar dolar AS/tahun sekarang turun drastis menjadi 375 juta dolar AS/tahun saja. Menteri Keuangan memprediksi bahwa sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi, namun PNBP sektor kehutanan sangat kecil disebabkan karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum yang lemah dan kurang komprehensif dan optimalisasi potensi termasuk aset yang dinilai masih idle. Benarkah sinyalemen yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan tersebut? Apakah izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman yang luas dan korporasi terus bertambah (Sri Mulyani menyebut hutan industri) tidak atau belum mampu mendongkrak kontribusi sektor kehutanan terhadap pemasukan negara. Bagaimana cara-cara meningkatkan sumber pendapatan baru dari sektor kehutanan saat ini?

Masalah Mendasar 

Sebagai suatu aset sumberdaya alam (natural resources) yang melimpah, kesalahan mendasar dari sumberdaya hutan Indonesia selama ini; hanya dipandang mempunyai nilai ekonomi dari manfaat langsungnya (tangible) saja. Itupun yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yakni hasil hutan kayunya.Jenis kayu dari hutan alam tropika basah Indonesia yang mempunyai nilai jual (laku sebagai kayu yang diperdagangkan) hanyalah jenis yang masuk dalam kelompok Dipterocarpaceae. Satu hektar hutan alam tropis hanya ditemukan 8-10 pohon jenis ini dengan volume rata-rata per hektar maksimum 50 m3 saja.

Padahal keragaman jenis kayu yang ada dalam hutan alam tropika Indonesia sangat tinggi, namun sayangnya jenis lain yang jumlahnya banyak itu, hanya kelompok Shorea spp saja yang mempunyai nilai jual tinggi, baik sebagai kayu lapis (plywood) maupun kayu keras (hardwood) dan sangat laku dipasaran dunia.

Sayangnya lagi, sistem silvikultur untuk jenis kayu Shorea ini sampai sekarang belum dapat dikuasai oleh para ahli rimbawan di Indonesia, sehingga kayu-kayu Shorea yang ada dipasaran dipasok dari hutan alam yang masih tersisa dan itupun kayu-kayu yang tumbuh secara alami yang telah hidup puluhan bahkan ratusan tahun. Penyebab utama turunnya kontribusi sektor kehutanan terhadap pemasukan negara adalah turunnya potensi kayu jenis Shorea dari hutan alam baik volume persatuan hektare maupun luas yang dikelola oleh korporasi terutama IUPHHK-HA atau HPH. Dengan sendirinya dengan penurunan volume kayu dan luasnya kawasan hutan yang dikelola secara drastis maka otomatis penerimaan PNBP sektor kehutanan juga menjadi anjlok secara drastis pula.

Untuk meningkatkan kembali kontribusi sektor kehutanan seperti yang menjadi sinyalemen Sri Mulyani dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain adalah:

Pertama, mengoptimalkan kawasan hutan produksi sebagai aset ekonomi yang sebenarnya yang mampu menghasilkan pemasukan negara. Dalam data di buku “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020 oleh KLHK, disebutkan bahwa dari luas hutan produksi yang ada 68,80 juta hektare yang telah dibebani hak (dengan perizinan) seluas 34,18 juta hektare. Sisanya hutan produksi seluas 34,62 juta ha belum dibebani hak (belum ada perizinan). Bilamana hutan produksi yang belum berizin (istilah Sri Mulyani idle) ini segera dimanfaatkan dan dioptimalkan untuk kegiatan ekonomi yang produktif maka penerimaan negara dari sektor kehutanan niscaya akan dapat ditambah dan ditingkatkan jumlahnya.

Kedua, struktur PNBP sektor kehutanan dari segi jenis dan tarif yang ada sekarang dapat direstrukturisasi dan disesuaikan dengan kondisi sekarang, baik yang berupa PSDH maupun DR. Tarif dan harga patokan hasil hutan yang digunakan saat ini sudah kadaluarsa karena menggunakan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) P. 64/2017. Demikian pula dengan tarif DR perlu ditinjau kembali, meskipun dalam prakteknya agak sulit dilaksanakan di tengah kelesuan bisnis kayu hutan tropis di pasar global.

Ketiga, peluang menerapkan pajak karbon di sektor kehutanan. Meski sedang digodok aturan turunan dari UU No. 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan termasuk di sektor kehutanan, namun pajak karbon kehutanan layak disegerakan untuk diterapkan dan dilaksanakan. Pertimbangannya adalah sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar yakni 48 persen emisi karbon. Komposisi ini harusnya menunjukkan skala prioritas upaya pengendalian krisis iklim termasuk melalui pajak karbon. Pajak karbon kehutanan akan mampu menyumbangkan kontribusi pemasukan negara yang sangat besar bagi negara mengingat luasnya hutan Indonesia (125,3 juta ha). Bisnis perdagangan karbon yang menjadi isu hangat dunia akan menjadi ladang baru bagi bisnis di sektor kehutanan.

Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga Rp53 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar 5 – 10 dolar AS per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi. Kalau kita menggunakan analogi terbalik berdasarkan persentase penyumbang emisi karbon paling besar yakni sektor kehutanan yang mencapai hampir 50%, maka hitung-hitungan Bahana Sekuritas tersebut; maka dari pajak karbon sektor kehutanan mampu menambah kontribusi kepada negara setiap tahun sebesar  Rp14 triliun hingga Rp26 triliun setiap tahun. ***