Produksi Gula Rontok

Petani tebu benar-benar terpukul. Perkiraan pemerintah soal produksi gula sebesar 2,89 juta ton ternyata meleset akibat rontoknya rendemen. Padahal, pemerintah sudah memutuskan harga patokan petani (HPP) untuk gula Rp8.250/kg dengan asumsi rendemen 8,07%. Namun, dengan rendemen hanya 7% dan produksi gula diperkirakan mentok di angka 2,5 juta ton, petani harus siap menerima risiko penurunan pendapatan, bahkan kerugian.

Keresahan petani tebu mengenai penetapan harga patokan petani (HPP) untuk gula kristal putih (GKP) akhirnya terbukti. Perkiraan produksi GKP tahun ini ternyata meleset jauh dari 2,89 juta ton tingal 2,5 juta ton akibat gerusan beragam faktor.

Penurunan produksi itu jelas mimpi buruk karena terkait rendemen atau kadar kandungan gula dalam tebu. Pasalnya, ketika pemerintah menetapkan HPP gula Rp8.250/kg lewat Permendag No.25/M-DAG/5/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih Tahun 2014, rendemen tebu petani ditetapkan sebesar 8,07%. Dengan rendemen itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku biaya produksi petani sekitar Rp7.960/kg. Dengan HPP Rp8.250/kg, “berarti angka tersebut sudah di atas biaya produksi,” katanya.

Persoalannya, dengan rendemen yang diprediksi 7%, berarti produksi gula petani turun dan otomatis menyeret pendapatan mereka juga. Apalagi, di tengah musim giling tebu saat ini, harga lelang gula petani cenderung melemah. Bahkan, Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengaku harga lelang tender gula yang digelar sejumlah PTPN saat ini jauh lebih rendah dibanding tahun lalu.

Menurutnya, di awal musim giling, Mei, harga lelang masih Rp8.500/kg atau sedikit di atas HPP. Namun, seiring waktu, harga terus menyusut.  “Awal Juli, harga lelang yang digelar PTPN hanya mencapai Rp8.360/kg. Bahkan, pada pekan lalu, penawaran tertinggi hanya Rp8.250/kg atau sama dengan besaran HPP gula 2014,” ujar Soemitro.

Itu sebabnya, APTRI pun mendesak pemerintah meninjau besaran HPP gula 2014. “Besaran HPP, harga lelang dan rendemen yang terjadi pada saat ini jauh dari biaya produksi yang harus dikeluarkan petani tebu,” ucapnya. Yang menarik, untuk pertama kalinya dalam sejarah, sejumlah petani tebu pun menantang Permendag 25/2014 ke Mahkamah Agung lewat uji materi.

Terlepas hasil akhirnya, dikabulkan atau tidak, persoalan gula nasional memang pelik. Tak bisa menyalahkan petani semata jika pabrik-pabrik gula milik PTPN, terutama di Jawa, ternyata tidak efisien. Ketidakefisienan yang terus dipelihara ini sejatinya malah memberikan keuntungan berlipat-lipat PG-PG swasta. AI