Niat pemerintah mencapai swasembada garam ternyata sekadar keinginan. Hanya sempat mengalami kecukupan produksi pada 2015, namun tahun 2016 produksi garam rakyat terjun bebas tak sampai 4% dari target 3,2 juta ton. Dan, negeri dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada ini harus rela kebanjiran impor garam konsumsi.
Produksi garam rakyat tahun 2016 menjadi catatan buruk kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bayangkan, hanya dalam kurun satu tahun sejak produksi garam rakyat nyaris menembus 3 juta ton pada 2015, setahun berselang produksi terjun bebas tinggal 118.054 ton atau 3,7% dari target 3,2 juta ton. Padahal, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah memasang target tahun 2016 produksi garam bisa swasembada, Artinya, garam konsumsi tercukupi dan garam industri minimal terpenuhi 50% dari kebutuhan 2 juta ton/tahun.
Fenomena alam La Nina pun jadi alasan. “Produksi garam turun disebabkan iklim 2016 mengalami kemarau basah. Hal ini menyebabkan curah hujan berada di atas 150 mm, produksi garam bisa dilakukan pada curah hujan di bawah 150 mm,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL), KKP, Brahmantya Satyamurti Poerwadi saat dihubungi di Jakarta, pekan lalu.
Namun, La Nina dinilai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim hanya sebagai alasan ketidakbecusan KKP dalam menjaga produksi garam. “KKP menggunakan alasan La Nina untuk menutupi ketidakmampuannya bekerja,” cetus Halim. Pemerintah sejatinya telah gagal mewujudkan target produksi garam nasional yang menjadi sasaran utama pembangunan di bidang kedaulatan pangan pada 2016. “Padahal, besaran targetnya sudah diturunkan dari 3,6 juta ton menjadi 3,2 juta ton.”
Hancurnya produksi garam rakyat berimbas pahit ke industri pengolah garam dan industri garam konsumsi, terutama kelas kecil dan menengah (IKM). Sepanjang 2016, produksi menurun dan sampai awal tahun ini kemampuan produksi susut 50% dari kapasitas produksi yang ada. Apalagi, sepanjang 2016 pemerintah tidak membuka kran impor garam konsumsi. “Akibatnya, jika sebelumnya produsen pengolah garam rakyat di Jawa bisa mengirim pasokan ke produsen garam konsumsi hingga ke Sumatera dan Kalimantan, maka saat ini hanya bisa fokus pada pengiriman ke wilayah Jawa saja,” ujar Direktur Pangan, Barang dari Kayu dan Furnitur, Kementerian Perindustrian, Sudarto.
Di tengah minimnya pasok garam lokal itu pemerintah akhirnya membuka kran impor garam konsumsi yang dilakukan BUMN, PT Garam, dengan kuota 226.124 ton. Direktur Utama PT Garam, Achmad Buidono mengaku, selain impor pihaknya juga menargetkan produksi tahun ini 395.000 ton atau sekitar 13% dari target prosuksi nasional 2017 sebesar 3 juta ton.
Impor ini yang dikecam Halim, karena kebijakan impor dipastikan merugikan kepentingan garam rakyat. Apalagi, harga garam impor selalu lebih murah dari garam lokal. “Ironisnya, ada indikasi keterlibatan PT Garam untuk meloloskan garam industri menjadi garam konsumsi di pasaran,” tudingnya. AI
(Laporan lengkap baca Tabloid Agro Indonesia Volume XIII NO 635, 18-24 April 2017)