Jauh di Negeri Jiran, Guru Besar Teknologi Penangkapan Ikan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Ari Purbayanto terpanggil untuk bicara tentang kisruh kebijakan larangan alat tangkap cantrang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sebagai akademisi, tentu analisis Best Presenter Awards, Masyarakat Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007) dan Dosen Berprestasi Peringkat I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Peringkat III IPB (2004) ini berdasarkan disiplin ilmu, bukan karena sentimen memihak satu pihak.
“Sepengetahuan saya, pelarangan sejumlah alat tangkap hanya terjadi di Indonesia.
Itu terjadi karena ketidakmampuan pemerintah melakukan pengelolaan termasuk di dalamnya pengendalian, pengaturan dan bahkan perbaikan teknologinya,” ujar Ari, kelahiran Lampung, 21 Januari 1966 ini.
Ari yang juga Atase Pendidikan dan Kebudayaan pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia ini lalu menjelaskan, semua teknologi penangkapan ikan awalnya diciptakan dengan tujuan menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Ini paradigma lawas hingga 1990 an yakni meningkatkan efektivitas setiap alat tangkap.
Kemudian pasca 1990 saat dunia hangat menyuarakan kepentingan konservasi sumber daya dan lingkungan, dimulailah era shifting paradigm dari kepentingan peningkatan produksi sebanyak-banyaknya (effective fishing gears) kepada kepentingan konservasi (efficient/selective fishing gears).
“Karena itu muncullah responsible fisheries, dalam penangkapan mau pun akuakultur.
Shifting paradigm ini tidak berarti kita mengabaikan kepentingan produksi dan kepentingan ekonomi ini harusnya tetap diselaraskan dengan kepentingan konservasi,” papar Ari.
Untuk mengetahui lebih lanjut kebijakan perikanan tangkap terkait cantrang, berikut penuturan doktor dan master Marine Science and Technology jebolan Tokyo University of Fisheries, Sarjana Perikanan Tangkap IPB ini.
Kebijakan perikanan tangkap kabinet sekarang ini apa salah kaprah?
Kebijakan zaman now di negara tercinta lebih bersifat top-down dan otoriter, tidak akan memberikan solusi menyeluruh. Pemerintah harusnya belajar dari sejarah, bagaimana dulu menerapkan Keputusan Presiden 39/1980, dengan dilakukan kajian yang panjang. Ada saksi hidupnya, yaitu guru kami Prof. Daniel Monintja dan Dr. Nurzali Naamin (alm).
Meski pun setelah itu bermunculan teknologi alternatif yang diizinkan pemerintah, seperti jaring udang lapdu, trammel net, dogol, cantrang, dll. Begitu juga diizinkannya pukat udang (BED Shrimp Trawl) di Laut Arafura. Namun setelah itu pemerintah cenderung membiarkannya.
Tidak ada riset. Apalagi pengelolaan yang dilakukan secara konsisten untuk menangani permasalahan alat tangkap khususnya di wilayah padat tangkap: Laut Jawa, Selat Malaka dan Selat Makassar.
Jadi Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan belum berfungsi dengan baik ya?
Keberadaan lembaga tersebut yang diberikan dana riset, perlu dipertanyakan hasil riset implementatifnya, terutama terkait dengan problematika cantrang dan beberapa alat penangkap ikan yang dilarang. Sudah kah dikaji dengan baik, kemudian dikembangkan dengan perbaikan teknologi ramah lingkungan.
Mengganti dengan salah satu jenis alat tangkap gillnet bukan solusi. Karena target penangkapan cantrang berbeda dengan gillnet yang pasif mau pun yang dihanyutkan. Ikan beloso, gerot-gerot/gulamah, bahkan udang yang menguburkan diri di lumpur sulit ditangkap gillnet.
Bagaimana penilaian Anda terhadap polemik cantrang di Tanah Air?
Kasus cantrang adalah fenomena gunung es, karena telah dibiarkan lama dan tidak diatur, apalagi dikendalikan. Tetapi langsung dilarang penggunaannya. Ini bentuk kebijakan yang salah. Apalagi mengkambinghitamkan cantrang sebagai alat tangkap perusak yang berbahaya. Kurang tepat, karena pada hakikatnya setiap teknologi memberikan dampak kerusakan terhadap lingkungan. Inti masalah tersebut adalah diperlukan pengendalian, pengaturan dan perbaikan teknologi, bukan pelarangan. Jadi melarang cantrang dan alat sejenisnya adalah kebijakan yang bersifat frustasi, karena ketidakmampuan melakukan pengelolaan.
Yang alfa dari pemerintah adalah tidak berupaya melakukan pengendalian dan pengaturan sehingga blooming di suatu perairan. Tidak berupaya melakukan perbaikan selektivitas dan metode operasi, sehingga belum ada alat tangkap standar cantrang yang lebih ramah lingkungan. Tidak mengatur zona penangkapan untuk cantrang. Padahal, KKP memiliki badan riset dan pemerintah memiliki sejumlah perguruan tinggi dengan banyak pakar perikanan.
Di Indonesia cantrang dilarang-larang. Sementara, di luar negeri trawl kok malah diijinkan?
Cantrang termasuk alat tangkap aktif yang tidak lebih efektif dari trawl. Terlebih alat ini dioperasikan oleh nelayan kecil. Sudah pasti catchability nya rendah, begitu juga dampak yang ditimbulkannya tolerable, kecuali jumlahnya berlebih di suatu perairan.
Di Malaysia, meski pun wilayah lautnya terbatas, trawl diizinkan beroperasi tanpa pembatasan. Begitu juga Thailand. Ikan pun mudah didapat dalam kualitas yang bagus. Mau makan seafood segar tersedia mudah dan produksi mencukupi masyarakat, meski pun ekspornya rendah.
Di Korea sebagian besar khususnya Busan menggunakan steern trawls untuk perikanan laut dalam, produksinya melimpah. Lihat sendiri di pasar pelelangan ikan di Busan di kala pagi.
Begitu banyak ikan dasar yang didaratkan dari hasil tangkapan trawl. Korea punya cold storage terbesar di dunia untuk menyimpan produk perikanannya. International Fish Market terbesar di Busan telah dibangun dan saya sempat mengunjunginya tahun 2011-2013 saat menjadi dosen tamu di Pukyong National University.
Di Jepang, trawl tetap diizinkan beroperasi sekalipun di Teluk Tokyo. Tetapi Pemerintah Jepang membatasinya dengan aturan yang ketat, yaitu mesh selectivity dan legal size ikan yang ditangkapnya.
Australia telah berhasil membuat trawl ramah lingkungan (eco-friendly trawl fisheries). Para periset bekerjasama dengan nelayan, meneliti, menguji coba dan menerapkan teknologi yang telah diperbaiki. Mereka bekerja bersama nelayan. Nelayan memberikan masukan dan peneliti terus menyempurnakan teknologi trawl tersebut. Itu yang disebut dengan sinergitas antara pengambil kebijakan (pemerintah) bersama peneliti dan nelayan. Konsep itu disebut juga co-management in fisheries.
Fenny YL Budiman