RI Ancam Batalkan FLEGT VPA

Indonesia mendesak Uni Eropa (UE) untuk mengakui sertifikat legalitas kayu (S-LK), yang berbasis Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sebagai lisensi FLEGT. Jika UE terus bersikap mengulur waktu, Indonesia tidak sungkan membatalkan FLEGT VPA dengan UE.

Inilah pernyataan keras terbuka pertama yang dilontarkan pemerintah Indonesia terkait sikap Uni Eropa yang terkesan “main-main” mengenai proses lanjutan kesepakatan kemitraan sukarela FLEGT VPA. Berdasarkan kesepakatan yang diteken tahun 2013 ini, Indonesia membangun Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk membuktikan setiap produk kayu yang diekspor bahan bakunya berasal dari sumber legal. Nah, setiap kali ekspor, maka produk kayu tersebut harus mengantungi dokumen Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) alias V-Legal.

S-LK inilah yang dikejar Indonesia agar diakui sebagai lisensi FLEGT. Dengan pengakuan itu, maka semua produk kayu Indonesia yang diekspor ke UE bisa lewat jalur hijau alias bebas pemeriksaan, yang ujungnya mempercepat proses impor. Jika ini terjadi, maka Indonesia satu-satunya negara yang sesuai dengan aturan main importasi kayu (EU Timber Regulation) UE. Luar biasa, memang.

Namun, itu tadi. EU terkesan mengulur waktu dan malah mempersoalkan soal-soal domestik terkait SVLK yang diributkan segelintir pengusaha furnitur, yakni penggunaan Deklarasi Ekspor (DE) bagi pengusaha skala kecil dan menangah yang belum memiliki S-LK. Masalah ini terungkap dalam rapat komite kelompok kerja pakar, pekan lalu, yang dilakukan menjelang pertemuan komite implementasi bersama (JIC/joint implementation committee) 7-8 Juli 2015, di Jakarta. Delegasi UE melihat DE tak bisa disetarakan dengan S-LK, dan bahkan dinilai celah bagi bocornya kayu ilegal.

Ini yang membuat jengkel Indonesia. “Kami mau S-LK sebagai FLEGT license tidak lagi ditunda-tunda,” tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK, Putera Parthama. Bahkan, Putera tak sungkan melontarkan ancaman membatalkan FLEGT VPA jika UE terus mengulur waktu. “Kalau Uni Eropa terus menunda-nunda, ya sudah, mending batal saja,” cetus Putera.

Ancaman ini memang pantas dikeluarkan. Apalagi, UE sendiri bukan pasar produk kayu yang signifikan. Dari total devisa produk kehutanan 2014 senilai 6,6 miliar dolar AS, pasar UE hanya menyumbang 644,2 juta dolar AS atau 9,76%.

Repotnya lagi, persoalan DE ini memang bisa jadi “kartu mati” Indonesia, mengingat Kementerian Perdagangan sedang merevisi Permendag Nomor 97/M-Dag/Per/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Hasil Kehutanan. Menurut Sekjen AMKRI, Abdul Sobur, DE akan diberlakukan secara permanen tanpa batas waktu. Jadi? Kita tunggu hasil akhirnya. AI