Wajah Suryadinata (36 tahun) langsung memerah ketika diminta menceritakan perasaannya terhadap aparatur kehutanan. Ketua Kelompok Tani Tioq Tatunoq, Dusun Jelitong, Rempek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara, NTB itu menyatakan tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan bara yang ada antara warga dusunnya dengan aparatur kehutanan.
Dengan memukul-mukul tangannya yang mengepal, dan gigi bergemeretak, Suryadinata menyatakan kebencian warga dusun — yang terletak persis bertepian dengan kelompok hutan Gunung Rinjani — terhadap aparatur kehutanan sudah di ubun-ubun. Rasa benci itu diwujudkan dengan berbagai tindakan intimidasi terhadap aparatur kehutanan yang kebetulan melewati dusunnya. Mulai dari sekadar memelototi untuk menantang, hingga yang lebih ekstrem, seperti menyayat jok atau ban sepeda motor yang digunakan sang aparat.
Itu sebabnya, tak ada aparat kehutanan yang berani melintas sendirian di sana. “Boleh jadi dia tak bakal bisa pulang,” cetus Suryadinata, pertengahan Januari lalu.
Masyarakat merasa punya alasan yang lebih dari cukup untuk membenci aparatur kehutanan. Aparatur kehutanan dituding tak adil. Mereka melarang masyarakat untuk memanfaatkan hutan, bahkan untuk sekadar masuk hutan pun diharamkan. Sedang pada saat yang sama, sebuah perusahaan pemegang konsesi pengusahaan hutan bisa dengan mudah menebang dan mengangkut kayu.
Puncak kekesalan warga terjadi tahun 1998, ketika konflik memanas dan alat berat milik perusahaan dibakar, sementara karyawan dan aparat kehutanan yang ada diusir. Kebencian tersebut terus menumpuk dan menggelora bertahun-tahun kemudian.
Harmonis
Tapi, itu dulu. Perasaan Suryadinata dan warga dusun lainnya yang tergabung dalam Koperasi Kompak Sejahtera kini berubah 180 derajat. Hubungan masyarakat dan aparatur kehutanan kini sangat harmonis. “Kami kini yakin aparat kehutanan bisa membantu kami mencapai kesejahteraan,” katanya.
Perubahan tersebut berawal dari terbentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rinjani Barat. Ditetapkan wilayah kerjanya oleh menteri kehutanan pada tahun 2009, KPH Rinjani Barat mulai beroperasi secara resmi tahun 2010. Sementara komunikasi yang terjalin dengan warga Rempek dimulai sejak tahun 2013.
Sebagai sebuah organisasi di tingkat tapak, manajemen KPH Rinjani Barat rupanya memahami penyebab konflik panas yang selama ini terjadi di Rempek: akses masyarakat untuk memanfatkan hutan. Dengan otonomi yang memadai untuk mengambil keputusan, KPH Rinjani Barat pun dengan cergas menyodorkan pola kemitraan untuk menyelesaikan konflik yang ada.
Menurut Penanggung Jawab Resort Pengelolaan Hutan Bayan dan Santong KPH Rinjani Barat, Teguh Gatot Juwono, lewat pola kemitraan, masyarakat diperkenankan untuk memanfaatkan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu, sesuai dengan rencana pengelolaan yang ditetapkan. “Dalam waktu dekat, nota kesepahaman kemitraan antara KPH Rinjani Barat dengan masyarakat akan diteken,” kata dia.
Total ada 273 KK yang akan terlibat dalam kemitraan tersebut dengan luas areal hutan sekitar 800 hektare (ha). Ke depan, pola kemitraan di Rempek ditargetkan bisa mencapai 2.000 ha.
Teguh menuturkan, sesuai kesepakatan, masyarakat juga harus bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu, masyarakat akan diarahkan menanam pohon jenis raju mas, sengon, kalinguru serta karet — yang bisa dimanfaatkan getahnya. Masyarakat juga sepakat untuk secara bertahap keluar dari hutan yang mereka rambah.
“Nantinya, setiap kepala keluarga yang terlibat dalam kemitraan akan mendapat semacam kartu izin untuk mengelola hutan. Izin tersebut tidak bisa dipindahtangankan atau diperjualbelikan,” kata Teguh.
Tak mudah
Suryadinata menuturkan, bukan perkara mudah bagi warganya untuk menerima solusi yang ditawarkan KPH. Apalagi, jika mengingat rekam jejak resolusi konflik yang ditawarkan berbagai institusi kehutanan sebelumnya. Namun, perlahan kepercayaan itu mulai tumbuh mengingat solusi yang ditawarkan KPH Rinjani Barat sangat masuk akal. “Kami tidak diusir, malah diberi kesempatan mengelola hutan. Dulu kami dikejar-kejar karena dianggap ilegal, kini kami lega karena sudah berstatus legal,” katanya.
Dia menjamin, masyarakat dusunnya akan mematuhi prinsip pengelolaan hutan lestari. Dia menuturkan, praktik tersebut sejatinya sudah diterapkan sebelum kemitraan dijalin dengan KPH Rinjani Barat. Masyarakat selama ini hanya memanfaatkan berbagai hasil hutan non kayu, seperti buah-buahan. Hal itu dilatarbelakangi kesadaran masyarakat bahwa hutan adalah sumber air untuk kehidupan. “Kami pernah merasakan ketika hutan rusak, mata air kami hilang. Kami tak ingin hal itu terulang,” katanya.
Suryadinata mengakui, masih ada segelintir masyarakat yang menolak solusi yang ditawarkan KPH. Menurutnya, mereka yang menolak lebih dikarenakan belum memahami konsep kemitraan yang ditawarkan KPH sepenuhnya. Dia juga mengatakan, ada juga yang menentang karena selama ini menjadi pembalak liar.
“Karena sudah bermitra dengan KPH, maka menjadi kewajiban kami untuk memberi penjelasan soal kemitraan. Kewajiban kami pula untuk mencegah terjadinya illegal logging,” katanya. Sugiharto
Kesejahteraan dari Kelestarian Hutan
Berbekal pola kemitraan, konflik yang terjadi di Rempek berakhir damai. Pola kemitraan itu juga yang akan yang didorong untuk diterapkan di wilayah lain di Rinjani Barat. Kepala KPH Rinjani Barat, Madani Mukarom menuturkan, dari 40.983 hektare (ha) hutan areal KPH Rinjani Barat, seluas 18.004 ha telah dirambah dengan jumlah perambah mencapai 24.505 KK. “Pola kemitraan sangat ideal untuk menyelesaikan persoalan perambahan yang ada,” kata Dani.
Tekanan perambahan terjadap KPH Rinjani Barat sangat besar. Asal tahu, ada 37 Desa dan 103 dusun yang mengelilingi KPH Rinjani Barat. Menurut penelitian WWF, dari 600.000 jiwa yang bermukim di lingkar Rinjani, 70% tergolong kaum miskin papa. Rata-rata kepemilikan lahan pun sangat rendah, hanya sebesar 0,48 ha/KK.
Menurut Dani, kemitraan antara masyarakat dan KPH bukan saja menyelesaikan persoalan perambahan, tapi juga menjadi solusi bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat bisa memanfaatkan berbagai macam hasil hutan dengan tetap menjunjung prinsip pengelolaan hutan lestari.
Dia menuturkan, masyarakat bisa memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu jika kemitraan dijalin pada areal hutan produksi. Sementara jika kemitraan dilaksanakan pada areal hutan lindung, masyarakat hanya diperkenankan memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti madu, berbagai jenis buah, getah pohon atau jasa lingkungan.
Dani menuturkan, dalam waktu dekat ada 3 nota kesepakatan kemitraan bakal diteken KPH Rinjani Barat dengan masyarakat. “Untuk tahun ini, kami menargetkan 30 nota kesepakatan bisa diselesaikan,” katanya.
Bukan hanya dengan masyarakat, pihaknya juga segera menuntaskan negosiasi kerjasama dengan beberapa investor yang berniat mengembangkan wisata dan jasa lingkungan.
Dani menyatakan, pihaknya harus taktis mengambil strategi pengelolaan hutan karena punya otonomi yang memadai. “Persoalan yang kami hadapi bisa langsung kami selesaikan sesuai koridor pengelolaan hutan lestari tanpa harus melewati birokrasi yang rumit,” katanya.
Jika kinerja yang kini dicapai bisa terus ditingkatkan, Dani yakin, apa yang dicita-citakan dalam pembangunan kehutanan, yaitu masyarakat sejahtera dan hutan lestari bisa tercapai. “Pada saatnya nanti, KPH ini juga akan memberi kontribusi kepada Penerimaan Asli Daerah dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan,” katanya. Sugiharto