Kesatuan pengelolaan hutan (KPH) adalah amanat peraturan perundang-undangan. Baik dalam Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan; Peraturan Pemerintah (PP) No.44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; PP No.6 tahun 2007 jo. PP No.3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, dan peraturan turunannya.
Namun, baru di era Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, implementasi KPH mulai digenjot. Kemenhut menargetkan sampai akhir 2014 sudah ada penetapan 600 wilayah KPH dan 120 wilayah di antara beroperasi sebagai unit KPH.
Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfatan Kawasan Hutan Kemenhut, Is Mugiono menuturkan, KPH Rinjani Barat adalah potret bagaimana sebuah KPH seharusnya beroperasi. “Memang masih ada kekurangan, tapi akan diperbaiki seiring perjalanan waktu,” ujar dia di ruang kerjanya, Jumat (24/1/2014).
Operasional KPH memang dirancang sangat lugas dan tidak birokratis. Menjadi organisasi di tingkat tapak, KPH tahu secara detil kondisi hutan di wilayah pengelolaannya. KPH pun bisa secara efisien mengambil keputusan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di wilayahnya.
Yang menarik, beroperasinya KPH membuka jalan berakhirnya rezim perizinan di Kemenhut. Pasalnya, KPH juga diberi kewenangan memanfaatkan potensi yang ada secara langsung, baik yang berupa kayu maupun non kayu. Jangan heran jika seiring perjalanan waktu, tidak akan ada lagi investor yang repot-repot mengurus izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) ke Kementerian Kehutanan. Sebab, sang investor cukup datang ke kantor KPH untuk meraih peluang pemanfaatan kayu. Demikian juga halnya soal urusan pinjam pakai kawasan hutan.
Is menjelaskan, KPH memang diberi kewenangan untuk memanfaatkan hutan, termasuk melakukan penjualan tegakan. Hal itu sudah diatur dalam PP No.6 tahun 2007 jo. PP No.3 tahun 2008 dan Peraturan Menteri Kehutanan No.47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPH Lindung dan KPH Produksi. “Sesuai ketentuannya, salah satu kewenangan KPH memang memanfaatkan hutan,” katanya.
Menurut Is, kewenangan KPH untuk memanfaatkan hutan ada pada wilayah tertentu, yaitu wilayah yang belum dibebani izin oleh Kementerian Kehutanan. Di sana, KPH bisa menjalin kemitraan baik dengan masyarakat, maupun badan usaha.
Sebagai gambaran, dari 103,86 juta hektare (ha) hutan produksi dan hutan lindung di Indonesia, saat ini baru terdapat 49,97 juta ha yang dibebani izin, baik dalam bentuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan alam, HTI atau dikelola oleh Perum Perhutani. Sementara areal seluas 53,89 juta ha lagi masih tanpa pengelola di tingkat tapak. Di lokasi itulah masing-masing KPH bakal memainkan perannya.
Tak sembarangan
Is menyatakan, meski punya kewenangan untuk memanfaatkan hutan, tak berarti KPH bisa sembarangan melepas izin kepada mitra. KPH, katanya, tetap terikat kepada peraturan perundangan. “KPH juga harus secara rutin melapor dan memberi pertanggungjawaban kepada kepala daerah dan menteri kehutanan untuk pemanfaatan hutan yang dilaksanakan,” katanya.
Is mengingatkan, tugas KPH bukan sekadar mengeksploitasi hutan. Namun, jauh lebih luas, yakni untuk mendukung perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak menuju pengelolaan hutan lestari.
Oleh karena itu, KPH juga wajib melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dan pengendalian. KPH juga wajib melaksanakan pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pengelolaan hutan yang ada di wilayahnya.
Dia juga menekankan, jika seluruh KPH sudah beroperasi secara ideal, bukan berarti peran Kemenhut dan dinas kehutanan bakal hilang dalam pengelolaan hutan. Pemerintah, baik pusat dan daerah nantinya akan berperan untuk menentukan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) pengelolaan hutan yang akan dilaksanakan oleh KPH.
RKPH
Sementara itu, Lektor Kepala Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengingatkan, sebagai bentuk desentralisasi kehutanan yang sesungguhnya, KPH memang sepatutnya diberi kewenangan secara penuh untuk mengelola wilayahnya. “Termasuk untuk memberi izin pemanfaatan tegakan,” katanya.
Meski demikian, dia mengingatkan KPH tidak boleh serampangan dalam memberikan izin pemanfaatan. Izin yang diberikan harus sesuai dengan rencana karya pengelolaan hutan (RKPH) terpadu yang sudah ditetapkan sebelumnya. RKPH harus mendapat persetujuan dari dinas kehutanan dan tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang dan wilayah yang sudah ditetapkan sebelumnya.
“Tanpa RKPH terpadu, KPH jangan dulu memberi izin pemanfaatan karena dikhawatirkan menganggu kelestarian hutan,” ujarnya. Sugiharto
Pengawasan Sebaiknya tetap di Pusat
Meski memiliki nilai positif, namun desentralisasi pengelolaan hutan nasional melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), pemerintah juga diingatkan harus hati-hati. Hal itu dikemukakan anggota Komisi IV DPR (F-PDIP), Marsanto mengingat kebijakan baru tata kelola hutan jangan sampai memberi peluang makin cepatnya keruskan hutan di Indonesia, yang saat ini kondisinya sudah memprihatinkan.
“Secara prinsip saya mendukung konsep memberikan kepercayaan kepada daerah dalam pengelolaan hutan yang lebih luas lagi. Hanya saja, jangan sampai peluang tersebut akhirnya nanti justru menyebabkan hancurnya hutan di Indonesia,” ujar Marsanto.
Dia mengatakan, konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dikembangkan Perum Perhutani selama ini sangat bagus. Jika sistem tersebut ingin diadopsi oleh Kementerian Kehutanan untuk dikembangkan di luar Jawa, maka regulasi atau aturannya harus juga disesuaikan. Bila di Jawa peran Perhutani sudah jelas karena dilindungi oleh UU beserta PP-nya, bagaimana jika KPH di luar Jawa apakah sudah disiapkan?
Marsanto, yang sedang menyiapkan diri menjadi Caleg PDIP daerah pemilihan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban, Provinsi Jatim ini menyarankan agar kewenangan pengawasannya tetap langsung di bawah Kementerian Kehutanan. Alasannya, jika nanti pelaksanaannya dianggap menyimpang, maka pusat masih dapat mengambil alih atau mencabutnya. Berbeda jika pengawasannya di lepas ke daerah, maka risikonya jika terjadi penyimpangan akan sulit dicegah.
Mantan Dirut Perhutani ini juga menyoroti masalah SDM. Jika aturannya sudah bagus, maka jangan sampai salah menempatkan orang. Mungkin sekarang pusat masih leluasa menempatkan orang untuk menjadi Kepala KPH karena seluruh anggaran untuk gaji, kendaraan, hingga kantor dibiayai oleh pusat. Tapi jika nanti sudah diserahkan pada daerah, maka jangan sampai main comot untuk menempatkan orang menjadi kepala KPH.
Dua masalah seperti perangkat hukum berupa aturan dan penempatan SDM yang punya potensi akan menjadi sangat penting dalam mewujudkan pembentukan KPH nantinya. Sebaliknya, jika kedua masalah itu diabaikan, maka hancurlah hutan Indonesia.
Jangan eksperimen
Sementara pengamat hukum kehutanan, yang juga caleg Partai Hanura dapil Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Dr Sadino, SH mengingatkan agar perubahan pola pengelolaan hutan jangan dijadikan eksperimen. Jika Kementerian Kehutanan hanya membuat eksperimen, maka lebih baik dibatalkan saja.
Sadino mengatakan, Kementerian Kehutanan sangat pandai membuat regulasi. Bayangkan saja, saat ini lebih 250 regulasi yang khusus mengatur pengelola hutan di Indonesia. Saking banyaknya aturan, kata Sadino, pengelolaan hutan itu tidak perlu lagi harus memakai SDM yang benar-benar ahlinya. Mengapa? Karena aturan tersebut seperti sudah jadi buku panduan yang tinggal mengisi saja. “Jadi tidak perlu lagi memakai prinsip ilmu kehutanan. Akibatnya, hutan Indonesia bisa rusak total,” katanya.
Tentang penerapan sistem KPH, yakni melimpahkan pengelolaan hutan dari pusat kepada daerah, Sadino menyatakan jangan sampai seperti dulu. Di mana terbitnya surat izin usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (baca: HPH) yang pernah dilempar ke daerah namun ditarik kembali ke pusat. Jika nantinya regulasi itu akan seperti sebelumnya, maka Kementerian Kehutanan hanya akan membuat eksperimen atau mengulangi membuat kesalahan dalam pengelola hutan.
Menurut Sadiono, ada sisi baik memberikan kepercanyaan kepada daerah. Alasannya, daerahlah yang sesungguhnya mengetahui kondisi riil hutan wilayahnya. Jika pusat ingin melimpahkan kewenangan kepada daerah, maka yang perlu diutamakan adalah aturan mainnya harus dibuat secara proporsional jangan sampai setengah-setengah dan nantinya jika dipermasalahkan Kehutanan akan kalah lagi. AI