Sulit Ubah Ketergantungan Petani terhadap Pupuk Subsidi

Mengubah ketergantungan petani terhadap pupuk bersubsidi dalam waktu yang singkat ternyata sulit. Apalagi, petani sebenarnya masih membutuhkan pupuk subsidi untuk memacu produktivitas tanaman.

Kabarnya, mulai pertengahan tahun 2022, pemerintah akan melakukan pembatasan pupuk subsidi. Alasan pembatasan tersebut antara lain karena naiknya harga pupuk di pasar internasional sebagai dampak kondisi perang Rusia-Ukraina.

Isu mengenai pembatasan pupuk subsidi ini pun santer menjadi perbincangan di sejumlah kelompok petani. Meski terdapat pro dan kontra, namun pemerintah berpendapat rencana pembatasan pupuk subsidi merupakan sebuah langkah yang efektif.

Pakar Ekonomi Pertanian Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof. Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti mengatakan, rencana pembatasan pupuk tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kondisi di lapangan, salah satunnya mengenai ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi.

“Pembatasan juga dapat membebani para petani yang sudah bergantung pada penggunaan pupuk, tentu tidak mudah diubah dalam waktu singkat,” katanya, melalui jawaban tertulis, Rabu (1/6/2022).

Menurut dia, jika memang ada kenaikan harga dari bahan dasar pupuk, pemerintah mesti tetap berupaya untuk memenuhi penyaluran pupuk tersebut, meski dengan jumlah yang terbatas.

“Pada bahan baku pupuk dan dengan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk dari APBN yang terbatas, maka memang implementasi (berbeda) pengaturan subsidi pupuk tersebut,” jelasnya.

Guru Besar Unnes ini menyebutkan, dengan adanya  rencana pembatasan pupuk bersubsidi, diharapkan petani penerima pupuk tersebut benar-benar yang membutuhkan saja.

“Memang implementasi pengaturan subsidi pupuk ini dapat mengamankan penyaluran pupuk agar para petani tetap dapat menerima pupuk subsidi sebagaimana mestinya,” terangnya.

Di sisi lain, pembatasan juga sangat berpengaruh terhadap beban kebutuhan yang mesti dikeluarkan petani dalam masa tanam.

“Seperti misalnya penggunaan pupuk SP-36 dan pupuk organik. Jika pupuk tersebut tidak disubsidi tahun ini, maka petani harus mengeluarkan biaya tambahan yang tentu akan sangat membebani para petani, Selain itu, jika pembatasan pupuk bersubsidi dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk lebih parah,” paparnya.

Apabila hal ini terjadi, Sucihatingsih menyarankan pemerintah untuk menggenjot bantuan lain dalam bentuk program, seperti kredit pertanian dengan bunga rendah, sehingga petani yang terbebani tadi dapat terbantu dalam menjalankan usaha tani.

“KUR pertanian dapat membantu petani untuk memperoleh modal dalam memulai usaha tani dan juga membantu petani untuk terhindar dari jeratan hutang rentenir yang dapat membebani para petani,” katanya.

Selain itu, lanjut Sucihatiningsih, ketersediaan jaringan irigasi yang lancar juga menjadi suatu hal yang vital bagi pertanian terutama pertanian lahan kering.

“Karena tanpa adanya saluran irigasi yang baik, pertanian lahan kering akan sulit dalam menciptakan produktivitas yang tinggi. Infrastruktur jaringan irigasi yang baik perlu diusahakan untuk menghindarkan petani dari kelangkaan air,” jelasnya.

Pupuk organik

Hal lainnya yang mesti dijalankan pemerintah adalah mencari cara agar perlahan dapat mengurangi atau menghilangkan ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi. Seperti misalnya membantu petani dalam menyediakan pupuk organik.

“Perlu adanya kemandirian para petani untuk menyediakan kebutuhan pupuk organik secara mandiri melalui pembuatan pupuk organik dengan cara pengolahan limbah ternak,” katanya.

Sebagai informasi, pemerintah akan segera melakukan pembatasan penyaluran pupuk subsidi. Rencana tersebut akan segera dilakukan pada Juli 2022.

Pembatasan pupuk subsidi akan dilakukan dengan hanya memberikan subsidi pada pupuk Urea dan NPK saja. Pada tahun-tahun sebelumnya, pupuk yang disubsidi ada lima jenis, yaitu Urea, NPK, SP-36, ZA, dan pupuk Organik.

Selain itu, pembatasan subsidi pupuk tidak hanya pada jenis pupuk, namun pemerintah juga hanya akan memberikan pupuk subsidi untuk komoditas tertentu, yaitu padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kakao dan tebu rakyat.

Komoditas tersebut merupakan komoditas bahan pangan pokok dan juga komoditas strategis yang memiliki dampak terhadap inflasi. Adapun total pupuk subsidi pada tahun 2022 adalah sekitar 9,55 juta ton.

Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian (Kementan) Muhammad Hatta mengatakan, pembatasan pupuk subsidi tersebut merupakan rekomendasi Pokja Pupuk Komisi IV DPR.

Untuk menberlakukan rekomendasi tersebut, maka butuh waktu untuk penyesuaian. “Butuh waktu untuk memberlakukan itu. Isu pembatasan pupuk subsidi belaku pertengahan tahun ini merupakan rekomendasi Pokja Pupuk. Namun, aplikasi di lapangan mungkin tahun depan,” katanya kepada Agro Indonesia, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan sosialisasi dan analisa terhadap perubahan atau pembatasan pupuk subsidi tersebut terus dilakukan, sehingga petani dan masyarakat dapat memahami perubahan tersebut. PSP

Akibat Penggunaan Pupuk Kimia, 72% Lahan Pertanian Alami Degradasi

Sekitar 72% lahan pertanian di Tanah Air dikategorikan terdegradasi dan sakit. Hal ini disebabkan rusaknya hara tanah akibat massifnya penggunaan pupuk kimia.

Ahli Pupuk dan Bioteknologi Tanah Prof. Iswandi Arnas mengingatkan masih kuatnya anggapan di antara petani yang mengharuskan ketersediaan pupuk kimia.

Mengacu data, ketergantungan penggunaan pupuk terbilang tinggi. Penggunaan pupuk anorganik 1 hektare (ha) dapat mencapai 350-450 kilogram (kg).

Konsumsinya jauh di atas petani di sejumlah negara maju. China misalnya. Penggunaan pupuk anorganik sebesar 242 kg/ha. Kemudian Jerman 150 kg/ha. Bahkan petani di Amerika Serikat, hanya menggunakan pupuk kimia sebesar 80 kg/ha.

“Efisiensi pemupukan menjadi rendah karena tanah kita sebesar 72% rusak .Unsur hara esensial sudah rendah,” ujar Iswandi dalam webinar bertema Menjawab Tantangan Peningkatan Produksi Padi dan Jagung Nasional dengan Pemupukan Berimbang di Jakarta.

Iswandi mengingatkan, persoalaan ini harus menjadi perhatian dan membutuhkan solusi bersama. Apalagi, subsidi pupuk yang dianggarkan sudah mencapai Rp30 triliun.

Padahal, di era tahun 1960-an, kadar organik di Tanah Indonesia masih saat tinggi. Seiring revolusi hijau, intensifikasi pertanian penggunaan pupuk kimia digenjot sementara pupuk organik justru ditinggalkan. “Lama-kelamaan tanahnya rusak. Kadar organik tanahnya sudah kurang dari 1,” katanya.

Wakil Ketua Sekjen Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Zulharman Djusman mengatakan, padi dan jagung mengalami surlus produksi. Namun, dengan jumlah penduduk sebesar 266,9 juta, maka hanya tinggal tersisa beras sebesar 9,75 kg/jiwa. Angka tersebut adalah hasil produksi padi per kapita dibagi luas areal panen padi.

Menurut Zulharman, dengan sisa konsumsi per kapita tahun yang sangat sedikit, maka Indonesia dapat terbilang rentan terhadap kekurangan pangan beras di masa depan apabila terjadi anomali iklim.

“Indonesia harus mempersiapkan kebutuhan pangan untuk masa depan. Menjadi persoalan, karena Indonesia belum sepenuhnya menjalankan modernisasi pertanian dan bergantung dengan pupuk kimia,” kata Zulharman.

Iswandi mendorong semua pemangku kepentingan untuk menggunakan pupuk organik. Terlebih lagi Indonesia mempunyai banyak sumber bahan pupuk organik, baik dari limbah peternakan, pertanian, perikanan, tempat pembuangan akhir (TPA), pabrik gula, dan hutan tanaman industri (HTI).

“Untuk tanaman jagung kita perlu tanah yang gembur sehingga dengan penambahan pupuk organik membuat tanah sangat gembur, sehingga perkembangan akar begitu bagus,” ujarnya.

Iswandi juga menyarankan jerami padi dan jagung tidak dibuang. Pasalnya, tanahnya kaya unsur hara dan nutrientnya. Karena itu, petani dapat menggunakan kembali menjadi pupuk organik termasuk untuk ternaknya. Meski begitu, pupuk kimia tetap diperlukan, namun penggunaanya harus sesuai ketentuan berlaku.

Koordinator Kelompok Pupuk Pembenah Tanah Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Budi Hanafi menjelaskan, peredaran dan penggunaan pupuk harus mendapatkan pengawasan ketat, sehingga terjamin mutu dan efektivitas.

Pupuk yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia untuk sektor pertanian harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau Persyaratan Teknis Minimal (PTM) dan pengguanaannya efektif untuk tanaman serta terdaftar di Kementan.

“Untuk menjamin mutu pupuk diterapkan standar mutu berdasarkan SNI, apabila belum ditetapkan SNI-nya, maka digunakan PTM,” kata Budi Hanafi.

Berdasarkan Permentan Nomor 16/M-IDN/PER/2012 tentang Pemberlakukan SNI Pupuk Anorganik Tunggal secara Wajib, pupuk KCL dalam pemberlakuan wajib SNI. “Jadi, KCL SNI wajib. Pupuk KCL itu yang telah terdaftar dan telah beredar wajib mengikuti SNI 02-2805-2005,” tuturnya. PSP