Niat mendistribusikan lahan jutaan hektare kepada rakyat lewat reforma agararia dan perhutanan sosial jelas bukan hal mudah untuk diwujudkan. Apalagi, banyak tantangan yang mesti diatasi pemerintah jika ingin mewujudkannya.
Pengiat isu kehutanan Diah Suradiredja mengingatkan, implementasi program reforma agraria dan perhutanan sosial tak semudah membalik telapak tangan. Situasi dan kondisi di lapangan yang berbeda dengan konsep yang dibuat di atas kertas dari Jakarta menjadi alasannya.
“Jangan sampai muncul kesan pemerintah PHP (pemberi harapan palsu) kepada rakyat karena apa yang dijanjikan tidak terealisasi,” ujar Diah ketika dihubungi, Rabu (21/6/2017).
Diah hapal benar bagaimana sulitnya merealisasikan program perhutanan sosial. Dia pernah terlibat pada pendampingan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang mulai diinisiasi tahun 1997. Punya target sebanyak 2,5 juta ha, kini setelah 20 tahun berjalan, realisasinya masih jauh dari harapan. Realisasi target 2,5 juta ha HKm itu pun kini menjadi bagian dari total program perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha.
Menurut Diah, tantangan yang dihadapi dalam perhutanan sosial adalah lemahnya kelembagaan masyarakat di lapangan. Padahal, ini menjadi salah satu persyaratan mutlak untuk mendapatkan izin perhutanan sosial. Kementerian LHK memang punya daftar pendamping dan LSM yang diharapkan mendampingi masyarakat dalam proses perizinan perhutanan sosial.
Persoalannya, kata Diah, pendamping dan LSM tersebut terdaftar karena memiliki proyek terkait di lokasi setempat. Mereka tak bisa diharapkan lagi ketika proyek tuntas dan pendanaan terhenti. “Tanpa pendanaan, bagaimana mereka bisa bekerja. Apalagi, ada juga kawan-kawan yang tak mau ‘berkeringat’,” ungkap Diah.
Beda pemahaman
Tantangan lain adalah perbedaan pemahaman tentang reforma agraria dan perhutanan sosial. Perbedaan pemahaman ini bukan cuma terjadi di masyarakat tapi juga pada birokrasi daerah dan pusat. Diah menyatakan, dalam program perhutanan sosial, masyarakat diberikan akses untuk memanfaatkan kawasan hutan negara. “Tapi banyak yang memahami ini adalah bagi-bagi aset lahan,” katanya.
Berbeda dengan lahan yang dibebani hak kepemilikan, pada izin perhutanan sosial, masyarakat memang masih terikat pada ketentuan-ketentuan tata usaha hasil hutan yang diatur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Ini membuat masyarakat yang memiliki izin perhutanan sosial, khususnya HKM dan HD, tak bisa serta merta memanfaatkan hasil hutan kayu yang ada. Mereka harus mengurus lagi izin pemungutan kayu yang proses birokrasinya juga panjang.
Diah juga mengingatkan soal peta areal yang dialokasikan untuk reforma agraria dan perhutanan sosial yang belum akurat. Ketersedian lahan untuk program reforma agraria dan perhutanan sosial pun tidak merata di tengah antusiasme masyarakat.
Dalam situasi tersebut, Diah menyerukan agar pemerintah tidak genit mempromosikan program reforma agraria dan perhutanan sosial secara berlebihan. “Paparkan kepada publik kondisi sebenarnya. Optimalkan yang memang bisa dilaksanakan,” katanya.
Diah menyarankan agar pemerintah memperkuat perangkat kerja pemerintah di tingkat tapak untuk menyukseskan program reforma agaria dan perhutanan sosial. Salah satunya adalah penyuluh. “Pemerintah bisa mengandalkan penyuluh yang bekerja langsung dengan masyarakat. Tidak bisa selalu mengandalkan LSM pendamping,” katanya.
Selain itu, Diah juga menyatakan agar peran Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dioptimalkan. “Ini sesuai dengan rancangan keberadaan KPH yang memang sejak awal disiapkan,” katanya.
Sulit dicapai
Sementara itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengakui, target reforma agraria dan perhutanan sosial bukanlah mudah. Menteri Nurbaya bahkan mengakui, kalau target tersebut sulit tercapai di tahun 2019 seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). “Susah ya, karena kami mesti teliti banget. Tidak bisa asal bagi,” kata dia di Jakarta, Rabu (21/6/2017).
Meski demikian, Menteri Nurbaya menegaskan, pihaknya bekerja serius untuk mencapai target tersebut. Ini dibuktikan dengan pencadangan areal perhutanan sosial yang sudah lebih dari 1,6 juta ha, sejak mulai benar-benar digarap September 2016. “Tidak sampai setahun sudah lebih dari 1,6 juta ha,” kata Menteri Nurbaya.
Menteri mengakui, tak semua izin perhutanan yang diberikan benar-benar baru. Ada juga yang diberikan di masa lalu. Namun, dia memastikan ada perbaikan sehingga pengelolaannya menjadi lebih baik. “Ada improvement dari sekadar pemberdayaan masyarakat, menjadi memiliki kemampuan manajemen,” katanya.
Dia menegaskan, izin perhutanan sosial yang diberikan tak boleh sekadar statistik. Namun harus benar-benar nyata di lapangan. “Ini sesuai dengan keinginan Presiden,” tegasnya. Sugiharto
Penurunan Anggaran Jadi Batu Sandungan
Perhutanan sosial menjadi salah satu program utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sayangnya, realisasi target tersebut di tahun lalu saja hanya 316.824 hektare (ha). Ini berarti hanya sekitar 13% dari target tahun lalu yang mencapai 2,7 juta ha. Secara kumulatif, luas perhutanan sosial baru mencapai 494.876 ha atau 9,74% di tahun 2016, dari target 5,08 juta ha.
Di sisi lain, anggaran yang disediakan untuk perhutanan sosial kurang memadai. “Ada penurunan anggaran untuk perhutanan sosial. Dengan besaran anggaran terus menurun, kami mengambil kesimpulan sementara ada hubungan antara ketidakoptimalan pemerintah untuk bisa mendorong agenda perhutanan sosial dengan keterbatasan anggaran. Ini menjadi catatan penting,” kata Program Officer Perhutanan Sosial Indonesia Budget Center (IBC), Muhammad Ridha di Jakarta beberapa waktu lalu.
Berdasarkan anggaran resmi pemerintah, anggaran program perhutanan sosial terus mengalami penurunan sejak tahun 2015 sampai tahun perencanaan 2017. Pada 2015, tersedia anggaran sebesar Rp308 miliar, kemudian tahun 2016 turun jadi Rp249 miliar, sedangkan tahun 2017 melorot tinggal Rp165 miliar. Secara keseluruhan, anggaran Kementerian LHK sejak 2015-2017 berturut-turut sebesar Rp6,6 triliun, Rp5,84 triliun dan Rp6,77 triliun.
Ridha memandang ada ketidakkonsistenan antara target yang dicanangkan pada RPJMN KLHK dengan rencana kerja perhutanan sosial. Berdasarkan RPJMN, target kumulatif perhutanan sosial adalah seluas 5,08 juta ha. Sementara Rencana Kerja Direktorat Penyiapan Perhutanan Sosial KLHK tahun 2016 sebesar kumulatif 2,7 juta ha. “Untuk perencanaan 2017, pemerintah hanya mencanangkan target tahunan di angka 0,3 juta ha lahan dalam program penyiapan perhutanan sosial. “Padahal, target RPJMN kumulatif 7,62 juta ha,” katanya.
Ridha mengingatkan, penurunan target capaian luasan perhutanan sosial berpotensi meningkatkan kerawanan konflik sosial dan menghambat pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Menurut Ridha, target perhutanan sosial adalah mengurangi konflik dan menumbuhkan sentra produksi hasil hutan berbasis desa. Jika implementasi program perhutanan sosial tidak terealisasi berdasarkan target di 2019, besar kemungkinan terjadinya potensi konflik sosial. “Selain itu, upaya pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat melalui aktivitas ekonomi di perhutanan sosial akan mengalami hambatan,” katanya.
Untuk menjawab situasi yang dihadapi, Ridha menyarankan agar pemerintah mengubah alokasi dan orientasi anggaran dalam mendukung perhutanan sosial. Selama ini, katanya, belum ada gambaran utuh dari pemerintah terkait unit biaya yang harus ditetapkan negara supaya anggaran optimal. “Kami melihat masih besar kemungkinan ada perubahan alokasi anggaran dalam program perhutanan sosial,” katanya.
Dia menyarankan, pemerintah mengubah skala prioritas terkait pengembangan perhutanan sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Ini penting untuk memastikan target program dapat terealisasi. Selain itu, perlu ada konsistensi antara target RPJMN dan RKP pada program perhutanan sosial. “Ini penting memastikan rencana pemerintah bisa terealisasi,” katanya.
Regulasi
Tak cuma soal anggaran. Realisasi perhutanan sosial rendah juga tak lepas dari masih adanya regulasi yang menghambat. Aktivis Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) Ari Munir bahkan menyebut kondisi perhutanan sosial sekarang mandeg. Revisi sejumlah peraturan menteri LHK terkait HKm, HD, dan HTR hingga kini belum tuntas.
Menteri LHK Siti Nurbaya memang telah meneken P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Permen LHK itu memang telah menempatkan masyarakat sebagai subyek hukum secara langsung. Meski demikian, terlalu banyak batasan dan kendala teknis dalam praktik pelaksanaannya. Misalnya, soal peta dengan skala 1:50.000 dan dalam bentuk shapefile.
“Meski ada pengecualian untuk provinsi yang telah memasukan perhutanan sosial dalam RPJMD, persoalan utama perhutanan sosial masih soal alur permohonan dan persetujuan atas usulan perhutanan sosial masih terlalu panjang dan terpusat kepada menteri,” katanya.
Ari Munir secara khusus berharap Pokja Percepatan Perhutanan Sosial bisa bergerak cepat menyelesaikan persoalan ini, khususnya untuk mobilisasi percepatan penganggaran. Sugiharto
Baca juga: