Terpaksa Impor Karena Butuh

Indonesia hingga saat ini masih belum bisa memenuhi kebutuhan garam untuk industri di dalam negeri. Karena itu, komoditi ini masih harus diimpor oleh pelaku industri. “Jadi, kalau impor itu bukan karena kita suka impor, tapi memang masih butuh,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan, pekan lalu.

Menurutnya, petani garam di dalam negeri baru bisa memproduksi garam konsumsi dengan kadar NaCl sekitar 94,7%. “Untuk garam konsumsi memang sudah bisa dibilang swasembada,” ujarnya.

Untuk tahun 2014, ungkap Partogi, kebutuhan garam konsumsi Indonesia mencapai sekitar 1,7 juta ton. Sedangkan produksinya diproyeksikan mencapai 2,1 juta ton, tapi dengan penyusutan 15%-20%. Sedangkan garam yang digunakan untuk industri minimal memiliki kadar NaCl sebesar 97% dan garam dengan kadar NaCl sebesar itu belum diproduksi di dalam negeri.

Partogi mengatakan, garam industri dibutuhkan sebagai bahan pemutih kertas dan sarana pertambangan. Selain itu, ada juga kebutuhan dari industri farmasi serta makanan-minuman.

Untuk tahun 2014, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan izin impor 1,946 juta ton garam industri. Di dalamnya ada 1,542 juta ton garam untuk industri kertas dan tambang serta 404.000 ton garam untuk industri aneka pangan, termasuk bumbu mi instan.

Ketiadaan industri di dalam negeri sebagai produsen  garam industri juga diakui oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin. Menurutnya, impor garam industri terpaksa dilakukan karena garam industri tidak bisa dipasok dari dalam negeri. “Kebutuhan garam industri masih tinggi, sementara produksinya di dalam negeri masih rendah sehingga mau tak mau kita harus impor,” ujar Menperin Saleh Husin.

Karena minimnya produsen garam industri di dalam negeri, ungkapnya, untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri  Indonesia masih mengimpor garam tersebut dari negara seperti India, Australia dan Selandia Baru.

Saleh Husin menegaskan, pihaknya saat ini masih terus berusaha agar garam industri tidak perlu lagi diimpor. Caranya adalah dengan mendirikan industri-industri pembuat garam khusus untuk industri.

Cheetam

Sebenarnya, Indonesia berpotensi untuk mengurangi impor garam industri jika saja pabrik garam PT Cheetham Garam Indonesia bisa cepat beroperasi. Namun, hingga kini investor asal Australia itu belum bisa melakukan kegiatan produksi.

Rencana investasi perusahannya untuk mendirikan pabrik garam terhambat karena persoalan pembebasan lahan. Cheetham berniat membangun pabrik garam industri di Kabupaten Nagekeo, NTT.

Masalahnya satu, yakni soal pengadaan lahan seluas 1.000 hektare (ha). Ada empat masalah dalam pernyediaan lahan, yakni adanya reformasi agraria, adat, ada bekas HGU (Hak Guna Usaha) dan lahan  transmigrasi. Dari 1.000 ha lahan yang dibutuhkan, sekitar 231 ha lahan masih terkendala reformasi agraria. Hal ini telah terjadi selama 3 tahun.

Padahal, jika bisa beroperasi, pabrik yang berada di Nagekeo itu bisa menghasilkan garam industri sekitar 250.000 hingga 300.000 ton/tahun.

Terkait hal ini, Saleh Husin menyatakan pihaknya akan berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan berkoordinasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan. “Nanti kita upayakan untuk cari penyelesaiannya bagaimana,” janji Saleh.

Persoalan garam, kata Saleh, harus diselesaikan. Alasannya, Indonesia  memiliki potensi besar untuk menghasilkan garam industri. Namun, hingga kini Indonesia justru harus mengimpor hampir 2 juta ton. “Pemerintah akan berusaha persoalan ini agar cepat selesai,” tegasnya.

Bantah mafia

Sementara itu terkait tuduhan MenKP Susi Pudjiastuti mengenai adanya mafia dalam kegiatan impor garam, Partogi menegaskan tidak ada mafia dalam kegiatan impor garam. “Samurai mana? Tak ada samurai. Untuk mengeluarkan izin itu kan Kemenperin sama Daglu. Karena rekomendasi dari Kemenperin rapat dulu, lalu dilibatkan ada asosiasi petani garam, BMKG juga,” paparnya.

Menurutnya, rekomendasi teknis dan izin impor garam yang dikeluarkan sesuai dengan kesepakatan hasil rapat dan dihitung berdasarkan kebutuhan dan permintaan dalam negeri.

Untuk mengatasi kisruh impor garam, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Pekerjaan Umum (PU) serta PT Garam akan menata kembali tataniaga impor garam dengan membuat roadmap kebijakan garam yang ditargetkan akan rampung pada tanggal 20 Desember ini. Akan ada aturan impor garam yang akan direvisi, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012.

Menurut Partogi, poin pertama yang akan direvisi adalah persetujuan impor garam. Jika sebelumnya rekomendasi impor garam harus rekomendasi dari Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kemenperin, nantinya dalam revisi importir juga harus mendapatkan  rekomendasi dari Direktur Jenderal Kelautan Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil KKP.

Sedangkan poin  kedua yang direvisi berkaitan dengan pemisahan pos tarif atau Harmonized System (HS), rekomendasi jumlah izin impor, serta pelaksanaan impor garam.

Selama ini, pelaksanaan importasi garam tidak diatur batas waktunya. Kelak, importasi garam akan diterapkan seperti tataniaga impor produk sapi dan hortikultura, yakni memiliki batas waktu pengajuan impor. Diharapkan aturan baru itu sudah bisa diterapkan pada tahun 2015 nanti. B Wibowo

Larangan dengan Taruhan Besar

Sebagai pengguna garam impor, industri pulp dan kertas mengaku tidak masalah jika pemerintah menutup izin impor, tapi dengan satu syarat. Garam yang diproduksi di tanah air bisa memenuhi kebutuhan industri bubur kayu (pulp) dan kertas. “Masalahnya, garam yang diproduksi petani kita itu kualitasnya rendah. Tidak cocok untuk industri,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Rusli Tan.

Industri pulp dan kertas termasuk salah satu pengguna terbesar garam industri. Mereka biasanya mengimpor dari sejumlah negara, terutama Australia.

Rusli menuturkan, ketersediaan garam untuk kebutuhan industri di tanah air bakal lebih menguntungkan, karena industri tidak perlu repot-repot mengimpor. Untuk itu, dia meminta pemerintah benar-benar bisa menyediakan teknologi pengolahan garam yang diproduksi petani hingga bisa memenuhi standar yang dibutuhkan industri. “Komitmen pemerintah dibutuhkan,” katanya.

Namun, dia juga memperingatkan pemerintah. Jika gagal memenuhi komitmen tersebut, berarti pemerintah mempertaruhkan industri dengan nilai investasi multi-miliar dolar AS dan berkontribusi besar terhadap devisa ekspor serta penyerapan tenaga kerja. Untuk kapasitas satu ton pulp saja, dibutuhkan investasi  sebesar 2.000 dolar AS. “Saat ini ada pabrik pulp yang sedang disiapkan di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dengan kapasitas 2 juta ton. Itu berarti investasinya 4 miliar dolar AS. Adalah tidak bijak jika hanya gara-gara garam, pabrik dengan investasi besar tersebut berhenti beroperasi,” katanya.

Rusli sebenarnya mengkritik langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang langsung mengambil fokus pada garam industri. Apalagi, meski tak tahu angka persis dan volume impor setiap tahun, Rusli memandang impor garam tak signifikan.

Dia menilai ada hal yang lebih besar untuk diurus kementerian yang kini dipimpin oleh menteri yang dikenal urakan, Susi Pudjiasti. Misalnya menyediakan cold storage dan stasiun pengisian bahan bakar di tengah laut. “Garam industri itu kecil. Yang penting itu sebenarnya membangun cold storage sehingga hasil tangkapan nelayan kita tidak menurun kualitasnya. Kalau kualitas tangkapannya buruk, akhirnya ikan diasinkan. Malah pakai garam lagi,” katanya.

Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H Wibowo juga sependapat. Dia mengingatkan, saat ini pemerintah belum punya langkah konkret untuk meningkatkan kualitas garam rakyat agar memenuhi standar industri. Oleh karena itu, terlalu riskan jika pemerintah menutup impor garam. “Akan membahayakan kepentingan yang lebih besar,” kata dia.

Saat ini garam dengan kualitas tertentu dibutuhkan oleh industri seperti bubur kayu dan farmasi. Garam tersebut sulit dipenuhi dari dalam negeri karena membutuhkan kualitas tertentu. Apalagi, garam produk di dalam negeri sejatinya masih pas-pasan, bahkan untuk kebutuhan konsumsi.

Dradjad menyatakan, keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas garam di tanah air layak didukung. Untuk itu, pemerintah harus membangun strategi yang tepat tanpa mengorbankan kepentingan lain. “Butuh komitmen untuk mewujudkan niat itu, bukan sekadar pernyataan,” katanya.

Dradjad mengingatkan, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas garam lokal, pemerintah tak bisa lagi bertumpu pada sentra-sentra garam yang ada saat ini seperti di Madura dan pesisir utara Jawa. Pasalnya, kualitas air laut di sana sudah buruk yang berdampak kepada buruknya garam yang dihasilkan.

Berbeda dengan perairan di Australia, yang selama ini menjadi sumber garam impor Indonesia. Di sana, pemerintahnya menjaga kualitas perairannya sehingga bisa menghasilkan garam dengan kualitas yang baik. “Di Indonesia masih terdapat lokasi dengan perairan yang bersih dan iklim yang mendukung, misalnya di NTT atau NTB. Di sana lah produksi garam seharusnya digenjot,” kata dia. Sugiharto