Hasrat Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti ingin mencapai swasembada garam, baik konsumsi maupun industri, memang bukan tanpa sebab. Pasalnya, Indonesia memiliki lahan rakyat yang potensial puluhan ribu hektare.
Menurut Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sudirman Saad, Indonesia memang memiliki potensi lahan sekitar 33.000 hektare (ha) milik rakyat. Belum lagi sekitar 7.000 ha masih mangkrak di Kupang dan 1.000 ha di Nagakeo. “Jadi, ada 35-38.000 ha,” ujar Sudirman di kantor KKP (9/12/2014).
Sedangkan bicara kualitas, kata Sudirman, tahun 2014 ini ada 29 kabupaten/kota di Indonesia yang sudah mengadopsi teknologi dari Korea Selatan, ulir filter (TUF) dan geomembran. Dengan teknologi ini, selain penguapannya lebih cepat, hasilnya juga jauh lebih bersih. Tingkat kadar garamnya (Natrium klorida/NaCl) juga lebih dari 94,7% dan harganya pun tak kurang dari Rp400-700/kg.
Sementara garam tradisional proses penguapannya makan waktu lama. Garamnya kusam dan kotor serta kadarnya hanya berkisar 80%-90%. Akibatnya, harga pun hanya Rp200-400/kg.
Jika lahan 35.000 ha tadi digenjot sehingga menghasilkan 100 ton/ha, maka bisa panen 4 juta ton. Sementara, kebutuhan nasional Indonesia — baik garam konsumsi maupun industri — sekitar 4 juta ton.
“Jadi, sebenarnya kita bisa swasembada garam secara nasional, termasuk garam industri. Bahan baku sudah cukup. Tinggal bagaimana mengolah bahan baku ini. Ada dua pendekatan. Diolah di tambak dengan geomembran dan klasterisasi. Kalaupun ada yang belum standar, diolah di pabrik, dibantu Kementerian Perindustrian,” papar Sudirman.
Tergantung Roadmap
Demi mewujudkan swasembada garam nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Pertanahan Nasional sepakat membuat roadmap (peta jalan) yang sedianya kelar 20 Desember 2014 ini.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, sinergi yang sengaja dibangun ini mengarah pada swasembada garam konsumsi dan industri. “Jangan sampai kita negara maritim tapi garam saja impor,” cetus Susi.
Keinginan Susi itu didukung penuh oleh Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel. Menurutnya, jika bicara garam industri memang mengutamakan kualitas. Namun, bukan berarti negeri ini tidak bisa memproduksi garam untuk industri.
“Kita bangun industri garam yang terintegrasi. Tujuannya, agar kualitasnya bagus. Konsumen pun akan menggunakan yang berkualitas. Kalau bicara industri pasti cost-nya murah. Pabrik yang setengah-setengah pasti cost-nya mahal,” kata Rachmat.
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP, Sudirman Saad menjelaskan bahwa dalam roadmap itu Kemenperin akan menghitung persis berapa sesungguhnya kebutuhan garam industri, termasuk kualitas yang diinginkan pengguna garam industri. Kemenperin juga akan mengungkapkan masing-masing pengguna garam industri antara lain industri kaca, pengeboran minyak dan tekstil.
Semula, kata Sudirman, Kemenperin terkesan merahasiakannya. Padahal, keterbukaan ini penting demi memotivasi petambak garam tradisional. Jika terbuka, KKP bisa mendatangi petani dan membantunya, baik itu urusan teknologi, irigasi maupun mesin.
“Kalau sudah keluar, itu kita terjemahkan dalam bentuk roadmap. Ketua kelasnya Kementerian Perindustrian. Saat ini sudah berubah. Jadi, ego sektoral sudah mulai cair,” ujar Sudirman.
Hanya saja, ketika didesak lebih jauh Sudirman tidak ingin gegabah menyatakan stop impor. “Tergantung dari roadmap-nya. Kalau Ibu Susi sih inginnya paling lambat 1 tahun sudah selesai. Jadi, kita punya waktu jeda untuk merancang di 2015 untuk bikin garam industri. Percayalah Indonesia bisa swasembada garam.”
Catatan Sudirman menunjukkan, saat ini ketersediaan garam mencapai 4.800.903 ton dan ini sudah melampaui kebutuhan nasional. Total kebutuhan garam nasional sendiri mencapai 3.857.094 ton, yang terdiri dari garam konsumsi 1.728.219 ton dan garam industri 2.128.875 ton.
Sedangkan sisa tahun 2013 ada 666.455 ton. Produksi 2014, 2.190.000 ton. Garam yang terlanjur impor, 1.947.581 ton. Ekspor ke Jepang, 3.133 ton. Stok akhir menunjukkan 943.809 ton. “Ada surplus sekitar 940.000 ribu ton. Perindustrian harus bergerak cepat supaya garam konsumsi ini bisa dikonversi jadi garam industri,” kata Sudirman.
Pengaruh Alam
Selama ini, masyarakat tradisional memanfaatkan kondisi alam: cuaca dan iklim untuk memproduksi garam. Sementara, karakteristik iklim Indonesia belum berpihak. Setidaknya untuk urusan produktivitas tahunan yang selalu kalah jauh dibandingkan dengan Perancis, lebih-lebih Australia.
Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Puslitbang SDLP, Balitbang KP, KKP), Budi Sulistiyo.
Budi menjelaskan, karakteristik iklim Indonesia memiliki kelembaban yang tinggi. Dalam setahun, bisa mengalami iklim kering antara 4 hingga 6 bulan. Selama musim kering pun masih ada peluang hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi.
”Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab kurangnya daya saing garam lokal terhadap garam impor,” kata Budi.
Sudah begitu, lanjut Budi, petani garam tradisional kebanyakan menggunakan metode evaporasi sederhana untuk memproduksi garam. Mereka hanya menguapkan air asin jenuh (bittern) sekitar 1 minggu. Kemudian memanennya.
”Pada saat panen, seringkali lapisan tanah di bawah meja garam ikut terangkat yang mengakibatkan tingkat kebersihan garam rendah. Metode ini menghasilkan garam kelas rendah berupa garam krosok dengan kandungan Natrium antara 70%-80%. Sudah barang tentu di pasaran harganya rendah,” jelas Budi.
Itu sebabnya, Balitbang KP, KKP, sejak 2010 menerapkan teknologi pemurnian garam di 18 lokasi yang tersebar di Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sampang, Pamekasan hingga Sumenep.
Menurut Budi, proses peningkatan kualitas garam rakyat bisa dilakukan, terutama melalui introduksi teknologi pemurnian garam. ”Teknologi pemurnian garam dapat meningkatkan kualitas garam menjadi K-1. Jika semula kandungan natriumnya 70%-80%, setelah pemurnian menjadi di atas 95%. Fenny
Neraca 2013 dan Prognosa 2014 Kebutuhan dan Ketersediaan Garam
Uraian |
Tahun |
||||
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014* |
|
Kebutuhan | 3.003.550 | 3.228.750 | 3.270.086 | 3.573.954 | 3.857.094 |
– Garam konsumsi | 1.200.800 | 1.426.000 | 1.466.336 | 1.546.454 | 1.728.219 |
– Garam Industri | 1.802.750 | 1.802.750 | 1.803.750 | 2.027.500 | 2.128.875 |
Ketersediaan | 2.526.772 | 3.249.625 | 4.404.696 | 4.240.409 | 4.800.903 |
– Stok awal | 310.604 | 476.778 | 20.875 | 1.134.610 | 666.455 |
– Produksi | 30.600 | 1.113.118 | 2.071.601 | 1.087.715 | 2.190.000 |
– Impor | 2.187.632 | 2.615.202 | 2.314.844 | 2.020.933 | 1.947.581 |
– Ekspor | 2.064 | 1.917 | 2.624 | 2.849 | 3.133 |
– Stok akhir | 476.778 | 20.875 | 1.134.610 | 666.455 | 943.809 |
Keterangan:
Dalam satuan ton
Realisasi impor garam industri tahun 2014 (15 November) sebesar 1.947.581 ton terdiri dari 404.803 ton industri aneka pangan, 1.822,6 ton industri farmasi, 1,444.657,7 ton industri CAP dan 96.279,8 ton industri lain-lain.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Impor Garam Tahun 2014* (HS ex. 2501.00.90.10)
Bulan Nilai (US$) Berat (Kg)
Januari 13.425.084 278.137.302
Februari 9.425.423 218.131.444
Maret 5.517.943 123.752.026
April 11.525.559 238.697.004
Mei 6.060.871 146.182.001
Juni 7.248.197 156.163.500
Juli 5.172.863 102.347.600
Agustus 8.884.843 189.797.001
September 13.962.652 310.202.381
Sumber: BPS, diolah