Garam nampaknya tak sekadar asin, tapi justru pahit buat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Sikap tegasnya mendesak penutupan impor garam industri secepatnya, paling tidak mulai tahun 2015, malah bisa berbahaya. Itu sebabnya, Susi pun mulai melunak.
Indonesia impor garam memang tidak elok didengar. Maklum, sebagai negeri bahari, urusan memanen kristal asin dari mengeringkan air laut saja kok tak mampu. Tapi, faktanya, tahun lalu saja devisa senilai 88,50 juta dolar AS harus dikuras untuk membeli 1,92 juta ton garam industri. Tahun ini, sampai September 2014, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga masih mencatat impor komoditi dengan dengan nomor ex HS 2501.00.90.10 ini sudah 1,76 juta ton dan membuang devisa 81,32 juta dolar AS.
Jadi, tidak salah jika sejak dilantik menjadi menteri, Susi sudah berteriak lantang akan menghentikan impor garam. “Jangan sampai kita negeri maritim, tapi garam saja masih impor,” tegasnya. Belakangan, Susi malah melontarkan adanya “samurai garam” — istilah yang berkonotasi buruk adanya mafia yang menguasai impor garam seperti yang terjadi di komoditi gula. Istilah ini membuat gerah pejabat Kementerian Perdagangan selaku instansi pemberi izin impor.
“Samurai mana? Tak ada samurai,” sergah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Partogi Pangaribuan. “Kalau impor itu bukan karena kita suka impor, tapi memang masih butuh,” tambahnya.
Dia mengakui, untuk garam konsumsi negeri ini sudah mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Tapi untuk garam industri, yang kadar NaCl-nya mencapai 97%, negeri ini masih belum mampu, dan inilah yang diimpor. Persoalannya, nomor HS garam industri ini ternyata sama dengan garam konsumsi, yakni HS ex. 2501.00.90.10, sehingga pernah diprotes keras Kementerian KKP karena sepanjang 2013 ada impor garam konsumsi sebesar 255.000 ton.
Untuk garam industri, sebetulnya negeri ini juga mampu karena ada teknologi yang tersedia, yakni ulir filter dan geomembran. Persoalannya, untuk menaikkan kualitas itu berarti cost, yang ujungnya membuat garam kualitas industri tersebut bisa kalah bersaing dengan garam impor. Apalagi, dengan kebutuhan garam industri hampir 2 juta juta ton/tahun, sementara produksi garam lokal tersedot habis untuk konsumsi, maka larangan impor mendadak jelas berbahaya.
Asal tahu, garam industri ini adalah bahan baku penolong vital untuk industri pulp dan kertas. Dari 1,946 juta ton izin impor yang dikeluarkan Kemendag, sebanyak 1,542 juta ton disedot industri bubur kertas. Jika dalam negeri belum sanggup dan impor dilarang, investasi miliaran dolar yang tiap tahun menghasilkan devisa 4 miliar dolar AS/tahun pun terancam rontok. “Ini akan membahayakan kepentingan yang lebih besar,” tegas ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H Wibowo. Dan, suara penghentian impor tahun depan nampaknya mulai senyap. AI