Pemerintah merespon cepat keputusan DPR menyetujui revisi UU No. 18 tahun 2009 Peternakan dan Kesehatan Hewan (RUU Nakeswan). Hasilnya? Kementerian Pertanian sudah menyiapkan sedikitnya tiga Pulau Karantina Ternak.
Menyangkut masalah zone-based dan country-based, pemerintah dan DPR sudah sepakat diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Kini, Kementan tengah menyiapkan pulau karantina ternak sebagai konsekuensi revisi UU Nakeswan tersebut. Setidaknya, ada tiga pulau yang nantinya digunakan menjadi pulau karantina.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, setidaknya ada beberapa pulau karantina yang akan dibangun di Indonesia sebagai konsekuensi disepakatinya revisi UU Nakeswan. Pulau-pulau tersebut terletak di wilayah barat, tengah dan timur.
“Memang akan ada pulau-pulau karantina. Misalnya di barat, tengah, dan timur. Pulau-pulau karantina ini penting agar bisa memberikan ruang kita (mencari sumber impor), tidak hanya bersumber dari negara tertentu,” katanya di Jakarta.
Suswono menggambarkan, pulau karantina merupakan tempat karantina hewan yang terisolir dan dimanfaatkan untuk mengkarantina sapi-sapi dari daerah yang bebas PMK, terutama sapi-sapi indukan.
Dia optimis pulau karantina itu akan terbentuk sesuai dengan waktu yang ditetapkan DPR, yaitu selama dua tahun. Keyakinan ini didasari bahwa Indonesia mempunyai kepulauan dengan jumlah 17.000 pulau, sehingga beberapa pulau yang dipakai sebagai karantina hewan bisa digunakan dan dipertanggungjawabkan.
Meski menyatakan kesiapannya, namun pemerintah juga mengakui ada beberapa kendala yang harus diperhatikan, sebagaimana dikatakan Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan. Dia mengatakan, membangun pulau karantina bukanlah hal yang mudah karena tidak mungkin menaruh sapi-sapi indukan begitu saja. Dibutuhkan infrastruktur yang memadai dan sesuai dengan animal welfare.
“Harus ada pembangunan infrastruktur terlebih dahulu. Berpikir tentang animal welfare. Pelabuhan bagaimana dan sebagainya. Ini belum ada keputusan,” ujar dia.
Terkait alasan pembuatan tempat karantina di suatu pulau, dia menyebut agar lebih eksklusif. Pasalnya, jika ditempatkan di daerah yang banyak penduduknya, maka akan menimbulkan risiko tinggi. Ke depan, pulau karatina itu hanya untuk pembibitan dan pengembangan. Kalaupun pulau karantina itu adalah pulau yang ada penduduknya, mereka akan didedikasikan mengelola sapi-sapi tersebut.
Kerja keras
Sementara itu, Kepala Badan Karantina Pertanian, Banun Harpini mengatakan, pengesahan revisi UU No. 18/2009 akan menimbulkan usaha yang sangat besar bagi perkarantinaan, terutama masalah pengawasannya yang harus lebih optimal.
“Paling tidak, tadinya berbasis negara yang sangat aman (safe). Sekarang jadi berbasis zona, hingga kita harus lebih hati-hati. Artinya, harus melakukan tindakan karantina atau proteksi lebih maksimal,” katanya.
Menurut Banun, sebenarnya penggunaan basis zona sudah diatur dalam UU Perkarantinaan No.16/1992, di mana Indonesia boleh mendatangkan atau memasukkan hewan dari negara bebas secara zona dengan pengamanan karantina maksimal.
Saat ini, Badan Karantina masih melakukan diskusi mengenai pulau karantina. Beberapa lokasi sudah diidentifikasi untuk dijadikan pulau karantina hewan. Berhubung pulau ini melibatnya beberapa kementerian dan membutuhkan biaya investasi yang besar, maka kesepakatannya dilakukan dengan mengajak tim Menko Perekonomian.
Banun menjelaskan, untuk menyiapkan pulau karantina, diperlukan berbagai infrastruktur pendukung, seperti pelabuhan khusus untuk menerima kiriman sapi dan persoalan teknis lainnya. “Ada 3 tempat yang disiapkan, yaitu di Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara. Untuk menyiapkan pulau karantina perlu ada pabean, karantina, dan imigirasi. Terkait investasi belum dihitung dan belum tahun ini,” katanya. E.Y. Wijianti
Revisi UU Nakeswan Lengkapi Aturan Sebelumnya
Salah satu alasan revisi UU Nakeswan adalah minimnya bibit sapi indukan dalam negeri. Pasokan bibit ini tidak bisa didatangkan secara leluasa oleh Indonesia akibat UU Nakeswan sebelumnya yang menganut sistem country-based.
Padahal, kondisi wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan tidak sesuai dengan asas country-based, tetapi lebih tepat menggunakan zone-based. Pasalnya, dengan skema zona, maka Indonesia bisa lebih leluasa mendapatkan pasokan daging dan sapi impor dari berbagai negara di dunia, terutama yang memang sudah dinyatakan bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Hal ini membuat Indonesia tak lagi bergantung impor pada satu negara saja.
“Skema country-based tidak menguntungkan bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Dengan amandemen UU PKH, kami sedang menyiapkan pulau-pulau karantina, misalnya di barat, tengah, dan timur Indonesia. Pulau ini merupakan ruang bagi sapi impor yang berasal tidak hanya dari negara tertentu,’’ kata Mentan Suswono di Jakarta.
Dia menjelaskan, Indonesia terus berupaya melakukan optimalisasi populasi sapi dengan melakukan impor sapi indukan. Menilik wilayah Indonesia yang terbagi dalam ribuan pulau, penyebaran populasi ternak bukan persoalan yang mudah. Karena itu, dibutuhkan Pulau Karantina Hewan sebagai wadah. Hal ini tidak bertentangan dengan organisasi kesehatan hewan dunia.
“Selain ada zone-based, ada juga zona perlindungan. Kalau sudah ada proyeksi meningkatkan populasi, bisa juga menambah sisi zona dan daerah tertentu dari PMK atau daerah tertentu yang belum bebas dari PMK. Nantinya, sapi-sapi indukan itu akan masuk ke dalam pulau karantina dan akan diatur dalam peraturan pemerintah,” jelasnya.
Harus direvisi
Sementara itu, Wakil Ketua Komsi IV DPR, Herman Khaeron mengatakan, revisi RUU Nakeswan memang harus dilakukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih bersifat parsial dan belum mengatur peternakan dan kesehatan hewan secara lebih komprehensif.
“Karena itu, revisi ini sangat diperlukan untuk melengkapi perundangan yang terdahulu dan memperjuangkan nasib para peternak menjadi lebih baik,” katanya.
Herman menyebutkan, perubahan RUU tersebut antara lain terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam kebijakan perdagangan ternak dan produk hewan secara internasional untuk memperkuat industri dalam negeri agar lebih mampu bersaing. Selain itu juga menjaga status bebas penyakit hewan tertentu di wilayah Indonesia dan menjamin kepastian status kehalalan produk hewan bagi yang disyaratkan. Ada pula aturan tentang pemasukan bakalan ruminansia atau indukan produktif.
“Ada aturan tentang pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukanya dimana sebelumnya harus ditempatkan terlebih dahulu di pulau karantina,” jelasnya.
Herman menambahkan, perkarantinaan Kementan sudah mulai membaik dan hanya tinggal menetapkan kawasan instalasi permanen karantina untuk pemasukan betina ruminansia.
Terkait pentingnya revisi UU Nakeswan juga diamini Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Syukur Iwantoro. Menurut dia, RUU Nakeswan menyempurnakan beberapa kekurangan yang belum tercakup pada UU sebelumnya. Di antaranya ketentuan dan sanksi terhadap pemalsuan produk ternak (misalnya daging celeng disebut daging sapi), penguatan sisitem kesehatan hewan nasional dalam upaya mencegah terjadinya wabah, serta ketentuan kemitraan yang berpihak pada perlindungan peternak mitra (plasma) dan lain-lain.
“Adapun masalah country-based dan zone-based, dalam hal tertentu — misalnya bencana alam yang luar biasa — bisa dilakukan impor dari zone-based, namun dengan pengamanan yang maksimal, di antaranya pemeriksaan yang sangat ketat, memenuhi persyaratan kesehatan sebagaimana diatur oleh OIE dan harus melalui karantina pulau. Ketentuan tentang karantina pulau akan ditetapkan lebih lanjut melalui PP,” tegasnya. E.Y. Wijianti