Ancaman PMK UU Peternakan

Di penghujung tugasnya sebagai wakil rakyat 2009-2014, DPR membuat kegaduhan tak perlu. Sehari sebelum UU Pilkada yang memicu kemarahan banyak orang, DPR juga menyetujui revisi UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Yang jadi masalah, revisi itu menghidupkan kembali aturan pemasukan berdasarkan zona, bukan negara, yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010.

Empat tahun sudah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal “genting” dalam UU No.18/2009, yang membuka peluang masuknya penyakit hewan berbahaya. Lewat putusan No. 137/PUU-VII/2009, majelis hakim MK membatalkan frase “unit usaha hewan pada suatu negara atau zona” pada pasal 59 ayat (2) karena dinilai bertentangan dengan konstitusi serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Keputusan ini sangat penting karena frase “zona dalam suatu negara” dalam praktiknya bisa membuat negeri ini — yang sudah terbebas dari 100 tahun lebih deraan penyakit mulut dan kuku (PMK) — akan kembali terjangkit PMK. Maklum, dengan aturan zona, berarti pengusaha bisa memasukkan ternak dan produk hewan dari satu negara yang tidak bebas PMK, Brasil misalnya, asalkan ternak itu diambil dari zona yang yang bebas PMK (zone-based). Padahal, sejak bebas dari PMK, Indonesia menerapkan country-based. Artinya, Brasil masuk dalam daftar terlarang total karena masih ada wabah PMK di negeri itu, tak perduli ada satu atau dua wilayah yang bebas PMK.

Namun, dengan alasan rezim country-based tidak menguntungkan posisi Indonesia untuk mencari pasokan sapi impor, pemerintah pun mendukung revisi UU No. 18/2009. “Skema country-based tidak menguntungkan bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan,” tegas Menteri Pertanian Suswono. Apalagi, dalam aturan yang membolehkan zone-based hanya untuk indukan dan akan ditempatkan di pulau karantina untuk jangka waktu tertentu.

Keputusan DPR dan dukungan pemerintah ini kontan dikecam masyarakat veteriner serta pelaku peternakan dalam negeri. “Kami sedang membahas keputusan DPR ini dan melihat secara keseluruhan karena ada potensi penyakit berbahaya, baik buat hewan peternakan maupun kesehatan manusia,” ujar Suhadji, dokter hewan sekaligus mantan Dirjen Peternakan Kementan. Tidak tertutup kemungkinan hasil revisi UU itu akan diuji materi kembali ke MK.

Protes lebih keras disuarakan Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI). “Saya kagum dengan keberanian DPR mempersoalkan kredibilitas MK. Ini hebat. Saya katakan, DPR hebat! Karena keputusan MK tahun 2010 sudah jelas. Wong produk hewan segarnya saja tidak boleh, lha kok ini sapinya malah dibolehkan,” sinis Ketua Umum PPSKI, Teguh Boediyana.

Jika akhirnya aturan ini kembali harus diuji materi ke MK, maka dia menyebut langkah itu akan mencatat rekor MURI. “Produk hukum yang sama dimohon uji materi dua kali,” selorohnya. AI