Pemerintah dinilai terburu-buru membuka kran impor daging dari negara yang tidak bebas penyakit mulut dan kuku (PMK), dan menggunakan sistem zona sehingga bisa memasukkan daging dari wilayah yang bebas PMK di negara yang tak bebas PMK tersebut.
Direktur Utama PD Dharma Jaya, Marina Ratna menyatakan langkah yang diambil pemerintah itu keliru. Apalagi jika tujuan dibukanya kran impor tersebut untuk menurunkan harga daging nasional.
“Bukan begitu caranya kalau mau menurunkan harga daging dalam negeri,” sergah Marina. Dia menuturkan, untuk menurunkan harga daging adalah dengan melakukan pembinaan peternak sapi rakyat. Selain itu, tingkatkan populasi ternak sapi potong.
Seperti diketahui, setelah cukup lama terjadi kontroversi dan perdebatan terkait perubahan penerapan country-based menjadi zone-based di UU No.41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai produk hokum turunan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan, Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP mengenai perluasan impor daging dan ternak dari kawasan tertentu dalam suatu negara (zone-based) pada Selasa (8/3) sore.
Beleid ini sebelumnya termasuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi IX yang diumumkan pemerintah beberapa waktu lalu. Dengan terbitnya PP ini, maka untuk pertama kalinya Indonesia membuka impor daging berdasarkan zone-based dari sebeumnya country-based. “PP-nya sudah ditandatangani, sehingga dalam waktu dekat sudah bisa dimulai (direalisasikan impornya),” kata Darmin
Darmin menegaskan beleid tersebut hanya membuka keran impor daging. Indonesia tetap menutup keran impor sapi dari negara yang terjangkit PMK, sebagaimana telah diatur di dalam UU 41/2014.
Menurut dia, kelonggaran impor ini bertujuan untuk mendorong harga daging lebih murah. Saat ini harga daging sapi di pasar masih berkisar Rp110.000/kg-Rp115.000/kg.
Darmin mejelaskan berdasarkan informasi yang diperolehnya, produksi daging dalam negeri yaitu sebesar 416.000 ton, sedangkan konsumsinya mencapai 675.000 ton. Artiya, terjadi kekurangan daging nasional sebesar 238.000 ton.
Namun, kebijakan ini dinilai berbahaya untuk peternakan rakyat. Rina khawatir peternak sapi rakyat banyak yang gulung tikar, karena tidak mampu bersaing secara harga. PD Dharma Jaya, katanya, bekerjasama dengan peternak sapi di NTB dan NTT untuk memasok kebutuhan daging di Jakarta.
“Dengan cara kerjasama ini, kami mendapat jaminan pasokan sapi. Sementara peternak mendapat harga jual yang cukup menguntungkan. Tapi dengan dibukanya impor ini, dipastikan peternak akan mengeluh,” tegasnya.
Dia menyebutkan, daging impor dari India, selain negara itu belum bebas PMK, adalah daging kerbau. Daging kerbau bukan untuk konsumsi hotel dan restoran, tetapi untuk industri pengolahan daging seperti sosis dan rumah makan padang. “Daging kerbau itu keras. Cocoknya untuk industri,” tegasnya.
Pemerintah tak sabar
Sementara Ketua Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana juga menyayangkan keputusan pemerintah karena ‘tidak sabar’ menunggu keputusan MK. Asal tahu, PPSKI dan sejumlah tokoh peternakan nasional kembali mengajukan uji materi ketentuan dibolehkannya impor ternak dan produk hewan dari negara yang tidak bebas PMK.
Pasal spesifik yang dimohonkan untuk diuji materi adalah yaitu Pasal 36C dan 36E pada UU 41/2014, dan telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Oktober 2015.
Yang menarik, pasal tersebut pernah dihapus MK dari UU yang sama nomor 18/2009. Namun, frase zone-based kembali tercantum dalam revisi UU tersebut, yaitu UU 41/2014.
Menurut Teguh, tanggal 16 Maret 2016 ini MK akan mengadakan sidang judicial review dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah (Kementerian Pertanian) dan DPR. Seharusnya pemerintah sabar menunggu keputusan MK.
“Kalau MK ternyata mengabulkan tuntutan kami, maka PP yang sudah ditandatangani itu otomatis batal/gugur demi hukum,” tegasnya kepada Agro Indonesia. Bila ini terjadi, maka pemerintah kembali akan kehilangan muka.
Dia mengatakan, jika PP ini dilaksanakan, dipastikan banyak peternak sapi rakyat yang akan mati, sehingga usaha peternakan sapi potong makin terpuruk. Dampaknya Indonesia akan tergantung dengan impor daging.
Teguh mengaku sulit untuk mendapatkan harga daging yang murah karena “harga sapi hidup per kilogramnya sudah mahal. Mana mungkin harga daging bisa murah. Apalagi mencapai angka Rp70.000/kg,” katanya.
Dia mengatakan, Kementan harusnya lebih dulu memperbaiki akurasi data peternakan. Selama data tidak diperbaiki, maka kebijakan yang diambil pasti selalu salah. “Kegagalan swasembada daging salah satunya karena data populasi yang tidak akurat,” tegasnya.
Teguh juga menyebutkan ada upaya Kementan menutupi kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi selama ini. Semestinya Kementan mengakui kegagalan itu dan kemudian melakukan evaluasi di mana letak kegagalan tersebut. Jamalzen
Pesimis Harga Daging Turun
Kran impor daging dari negara yang belum bebas PMK dimaksudkan untuk menekan harga daging dalam negeri yang terus tinggi. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun harga daging tetap mahal.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Muladno Bashar mengatakan, jika impor daging berdasarkan zona dibuka, maka harga daging tidak akan melebihi Rp85.000/kg.
Sejak awal tahun ini, harga daging di Jakarta dan sekitarnya berkisar Rp118.000/kg-Rp125.000/kg. India kata Muladno mengekspor daging kerbau ke Malaysia dan di Negeri Jiran harga daging kualitas skunder rata-rata Rp65.000/kg.
Muladno mengaku belum mengetahui secara persis berapa harga daging kerbau India maupun daging sapi Brasil. Dia meyakini harga di dalam negeri mahal karena mata rantainya terlalu panjang.
Dibukanya kran impor daging berdasarkan zona ini akan menghilangkan ketergantungan impor daging dari Australia dan Selandia Baru. Indonesia selama ini lebih banyak impor daging dari dua negara tersebut, sehingga harga tidak bisa bersaing.
Namun, dengan dibukanya kran impor ini, maka importir (BUMN/BUMND) akan mendapatkan harga yang murah, sehingga ketika dijual di dalam negeri juga murah.
Untuk pelakasanaan impor tersebut, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tengah mempersiapkan usulan Permentan Menteri Pertanian. Muladno memastikan hanya perusahaan BUMN dan BUMD yang dapat melakukan impor daging berasal dari zona tertentu dalam suatu negara (zone-based).
“Permentan-nya sedangkan kami siapkan. Untuk sementara ini, hanya BUMN dan BUMD saja yang diberi kewenangan untuk mengimpor. Ini sesuai dengan Undang-undang Peternakan. Kita kan harus menjaga stabilitas harga dulu,” katanya.
Muladno menegaskan, orientasi dari dibukanya kran impor daging dari zone-based adalah untuk menurunkan harga daging di tingkat konsumen yang saat ini sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah mendorong BUMN dan BUMD yang melakukan importasi tersebut.
Muladno merincikan beberapa negara yang kelak dapat mengimpor dagingnya ke Indonesia, misalnya daging sapi dari Brasil dan daging kerbau dari India. Saat ini Tim Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) tengah melakukan pemeriksaan ke negara-negara tersebut.
Sebagai catatan, jika suatu negara ingin mengimpor dagingnya ke Indonesia, maka negara tersebut harus memiliki rumah potong hewan (RPH) yang tersertifikasi dan terjamin kehalalan produknya. Saat ini, India dipastikan telah memiliki RPH seperti ini.
Menjawab pertanyaan kekhawatiran berbagai pihak masuknya wabah PMK, Muladno mengatakan pemerintah akan menyusun persyaratan teknis tertentu dan mengerahkan tim kesehatan hewan sehingga risiko tersebut dapat ditekan. “Kita punya dokter hewan dan tim ahli untuk memeriksa. Persyaratan teknisnya juga akan ada,” kata Guru Besar Peternakan IPB itu.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sri Mukartini mengatakan, Permentan soal pemasukan daging berdasarkan zona masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP). “Kami belum pegang PP-nya yang sudah ditandatangani Presiden,” tegasnya di Jakarta, Jumat (11/3).
Dia menyatakan, impor daging dari zona bebas PMK hanya boleh dimasukan ke Indonesia oleh BUMN dan BUMD. “Impornya daging dalam bentuk boneless, beku, sudah dihilangkan limpoglandulanya dan dilayukan hingga pH di bawah 6,” katanya.
Pesimis
Pengamat Peternakan Universitas Padjadajaran, Rochadi Tawaf saat dihubungi mengatakan pesimistis harga daging di tingkat konsumen dapat menurun. Pasalnya, layaknya daging yang selama ini diimpor, harga komoditas tersebut akan mengikuti harga pasar.
Menurut dia, harga daging di dalam negeri akan terpengaruh jika impornya mencapai 10%-15% dari total kebutuhan dalam negeri. “Total kebutuhan sekitar 600.000-800.000 ton. Jika untuk mempengaruhi harga, maka impornya 60.000-80.000 ton,” katanya.
Saat ini, dengan harga Rp32.000/kg berat hidup di tingkat peternak, harga daging lokal di tingkat konsumen lebih dari Rp100.000/kg. Rochadi mengatakan, daging sapi lokal masih menguasai hingga 80% pasar di dalam negeri sehingga harga daging impor pun akan menyesuaikan dengan harga di pasar.
Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron menyampaikan, pemerintah dalam membuka impor daging dan ternak hendaknya tetap memperhatikan kesejahteraan peternak di dalam negeri yang kini biaya produksinya memang telah meningkat.
“Apalagi yang disebutkan dalam UU Peternakan itu adalah bahwa yang boleh diiimpor dari zona tertentu dalam suatu negara hanyalah ruminansia atau sapi indukan. Ternak lain, apalagi daging, itu tidak boleh. Ini harus diluruskan,” kata Herman.
Menurut dia, pemerintah melalui UU 41/2014 pada dasarnya menutup impor sapi bakalan dan daging dari zone-based. Impor hanya dibuka dalam keadaan tertentu.
Pemerintah memang tengah berupaya menekan harga daging di dalam negeri yang kini masih tinggi. Setiap tahun Indonesia impor sapi bakalan rata-rata 600.000 ekor dan daging sekitar 80.000 ton dari Austalia dan Selandia Baru.
Kedua negara itu merupakan asal impor yang paling efisien karena letaknya tak jauh dari Indonesia dan telah ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (OIE) sebagai negara yang telah terbebas wabah PMK. Hal ini berujung pada ketergantungan Indonesia pada kedua negara tersebut untuk mengimpor sapi dan daging. Jamalzen