Tradisi Mudik dan Pembangunan Ekonomi Desa

Tradisi pulang kampung atau mudik ke kampung halaman menjelang hari raya Idul Fitri sudah menjadi kegiatan rutin yang dilakukan masyarakat Indonesia yang berada di luar kampung halamannya. Mereka berbondong-bondong dengan wajah suka ria pulang ke rumah keluarganya yang berada di kampung halaman.

Salah satu tujuan tradisi mudik ini adalah untuk melepas kerinduan kepada kampung halaman dan orang-orang terdekat dengan keluarga . Dalam perspektif agama, mudik kita manifestasikan untuk merajut tali silaturrahim. Karena selama ini terbatas dengan jarak yang jauh kepada sanak keluarga yang jauh di kampung. Atas alasan itulah, silaturahim dapat kita rajut melalui mudik ke kampung halaman masing-masing.

Fenomena mudik juga menjadi ajang membangun hubungan sosial di kampung halaman. Membangun hubungan sosial di kampung, biasanya lebih cepat karena kecenderungannya dibangun berdasarkan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan.

Di balik tujuan melepas kerinduan dengan sanak saudara, tradisi mudik juga memiliki potensi besar bagi terjadinya peningkatan pembangunan ekonomi di suatu desa atau daerah.

Hal ini bisa terjadi arena melalui tradisi mudik, akan terjadi proses mengalirnya dana serta sumber daya materi dan pemikiran dari kota ke desa. Proses ini jelas membuka kesempatan bagi daerah untuk mendapatkan pemasukan non-pendapatan asli daerah (PAD).

Dalam kegiatan mudik, tentunya pemudik yang pulang ke kampung halamannya membawa bekal yang tidak sedikit yang akan diberikan kepada sanak keluarganya dan dibelanjakan sendiri untuk keperluan biaya wisata dan hidup selama di kampung halaman.

Hasil riset sebuah lembaga amal yang dilakukan terhada 30 juta pemudik di tahun 2013 menyebutkan potensi pergerakan uang mencapai Rp 90,08 triliun. Dana tersebut mengalir melalui transportasi yang digunakan pemudik, kedermawanan kepada sanak keluarga dan kebutuhan wisata.

Biaya terbesar pemudik yang dikeluarkan adalah biaya transportasi 22,7 persen diikuti alokasi biaya kedermawanan bagi sanak saudara sebesar 20,96 persen.

Selain itu, riset lembaga amal itu juga menunjukkan ternyata sekitar 52 persen lebih, pemudik menunaikan zakatnya di daerah tujuan. Diperkirakan Rp 14,7 triliun zakat orang kota mengalir ke daerah.

Kedatangan pemudik ke kampung halamannya jika bisa dimanfaatkan dengan baik, bisa menjadi ajang untuk membangun perekonomian desa yang selama ini tertinggal dari kota.

Sekarang tinggal bagaimana masyarakat dan aparat desa memanfaatkan tradisi mudik ini tidak hanya menjadi ajang kangen-kangenan terhadap sanak keluarga saja, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun sarana dan prasarana desa serta menggairahkan perekonomian warga desa itu sendiri.

 Misalnya saja,  masyarakat desa bisa menggunakan tradisi mudik ini untuk meningkatkan usahanya dengan menjual atau memproduksi produk-produk unik yang bisa menjadi oleh-oleh bagi pemudik.

Sementara pemerintah desa bisa menggunakan pendapatan dari tiket tempat wisata atau parkir kendaraan untuk membanun sarana dan prasana desa menuju kondisi yang lebih baik lagi. Dalam kondisi ekonomi nasional yang sedang lesuh seperti sekarang ini, memanfaatkan tradisi mudik untuk membangun ekonomi desa adalah suatu hal yang perlu dilakukan.