Trauma Redistribusi Aset

Kementerian Kehutanan akhirnya membatasi luas konsesi pengusahaan hutan. Ketentuan itu diatur dalam Permenhut No.P.8/Menhut-II/2014 tentang Pembatasan Luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman Industri atau IUPHHK Restorasi Ekosistem pada Hutan Produksi, yang dilansir 13 Januari 2014.

Terbitnya permenhut tersebut, kontan membuat pelaku bisnis pengusahaan hutan ketar-ketir. Trauma kebijakan redistribusi aset yang pernah diambil saat menteri kehutanan dijabat Muslimim Nasution membayang kembali. Saat itu, luas konsesi pengusahaan hutan harus mengalami pemangkasan saat mengajukan perpanjangan.

Maklum, sepintas Permenhut No.P.8/Menhut-II/2014 tak berbeda dengan dengan kebijakan redistribusi lahan yang diterapkan tahun 1999. Berdasarkan permenhut tersebut, luas tiap unit HPH, HTI atau HPH RE dibatasi maksimum 50.000 hektare (ha), di mana setiap perusahaan atau induk perusahaan hanya bisa mengelola paling banyak dua izin alias 100.000 ha. Untuk di Papua dan Papua Barat, luas maksimum setiap perusahaan atau induk perusahaan adalah 100.000 ha atau maksimal jadi 200.000 ha.

Padahal, saat ini tak sedikit pemegang IUPHHK yang punya konsesi di atas 100.000 ha. Bahkan, jika dihitung total pada induknya, jumlah konsesi yang dikuasai bisa mencapai jutan hektare. Kelompok Sinar Mas Forestry, misalnya. Saat ini luas konsesinya mencapai 2,6 juta ha.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto menyatakan, permenhut tersebut tidak secara gamblang menyebut soal masa depan izin yang saat ini berlaku. “Tidak ada pasal peralihan yang mengatur soal izin yang saat ini berlaku,” ujar Purwadi di Jakarta, Kamis (30/1/2014).

Menurut Purwadi, permenhut tersebut memang mempertimbangkan kelestarian dan kepastian usaha pemegang izin pengusahan hutan, seperti dinyatakan dalam pasal 2 dan pasal 4. Meski demikian, tidak tegas apakah jaminan tersebut juga ditujukan bagi izin-izin lama.

Ketidakjelasan lain adalah soal nasib permohonan IUPHHK yang telah mendapat persetujuan prinsip. Padahal, boleh jadi luas areal yang dimohon lebih dari 100.000 ha. Saat ini terdapat sejumlah permohonan IUPHHK yang telah mendapat persetujuan prinsip Kemenhut dengan luas mencapai 4,5 juta ha. “Apakah Permenhut No.P.8 tahun 2014 akan memengaruhi permohonan yang sudah mendapat persetujuan prinsip?” tanya Purwadi.

Soal lain yang perlu penjelasan adalah dampak permenhut tersebut terhadap perpanjangan IUPHHK. Jika berkaca kepada kebijakan redistribusi lahan, pemangkasan luas konsesi hutan terjadi dalam proses ini. “Pembatasan luas tersebut seharusnya tidak berlaku bagi perpanjangan IUPHHK,” kata Purwadi.

Dia mengingatkan, investasi sektor kehutanan seperti HTI adalah investasi jangka panjang yang terkait dengan penyediaan bahan baku industri yang padat modal. Untuk itu, kepastian usaha menjadi sangat penting.

Purwadi menyatakan, pembatasan luas izin konsesi seharusnya tidak semata dihitung dengan faktor span of control (rentang kendali), tapi juga faktor efisiensi, kelayakan usaha dan keberlanjutan pengusahan hutan. “Lokasi konsesi pengusahaan hutan juga menentukan, apakah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Papua,” katanya

Rentang kendali pengelolaan hutan yang sekitar 40.000 ha dinilai hanya tepat diterapkan pada kawasan hutan di Jawa, di mana infrastruktur dan sarana pendukung lainnya mendukung. Menurut Purwadi, di Jawa — di mana infrastrukturnya mendukung dan didukung dengan etos kerja masyarakatnya — pengelolaan hutan bisa dilakukan secara intensif, sehingga layak diusahakan secara bisnis.  “Di luar Jawa, pengelolaan hutan tidak bisa dilakukan secara intensif karena infrastruktur yang terbatas,” kata Purwadi.

Luas IUPHHK juga harus mempertimbangkan kelas perusahaan yang dikelola. Jika kelas IUPHHK yang dikelola adalah hutan tanaman industri (HTI) karet, tentu tidak butuh areal yang luas. “HTI karet dengan luas 20.000 ha sudah sangat layak dan menguntungkan,” katanya.

Namun, jika IUPHHK yang dikelola adalah HTI untuk bahan baku industri pulp, maka dibutuhkan areal pengelolaan yang lebih luas. Untuk satu unit industri pulp dengan kapasitas 1 juta ton/ tahun, maka dibutuhkan luas areal HTI setidaknya 120.000 ha netto (bersih). “Itu dengan perhitungan kasar setiap tahun dibutuhkan bahan baku kayu yang berasal dari areal seluas 20.000 ha, dan rotasi tanaman selama enam tahun,” kata Purwadi.

Purwadi menuturkan, luas HTI pulp bisa saja lebih kecil untuk satu unit manajemennya. Sementara bahan baku industri pulp dipasok dari beberapa unit HTI. Namun, katanya, hal itu bisa terjadi jika ada struktur harga yang bagus untuk kayu bulat. Dia menjelaskan, harga kayu bulat saat ini tidak cukup menarik bagi investor untuk jor-joran mengembangkan HTI. “Kalau harganya bagus, ada insentif untuk menanam sehingga pasokan bahan baku bisa berlimpah,” katanya.

Solusi

Purwadi menekankan, pelaku pengusahaan hutan sejatinya tidak menolak kebijakan Kemenhut untuk membatasi luas konsesi. Meski demikian, kebijakan tersebut juga harus diiringi solusi untuk pemanfaatan kawasan hutan.

Dia menuturkan, kondisi saat ini jumlah izin pengusahaan hutan — khususnya IUPHHK hutan alam — terus menurun. Hal itu tidak lepas dari semakin turunnya potensi produksi yang ada. Oleh sebab itu, kata Purwadi, akan sangat baik jika pembatasan tersebut juga diiringi dengan kebijakan untuk mengimplementasikan multisistem silvikultur secara konsisten.

Dengan penerapan multisistem silvikultur, maka pada kawasan hutan yang potensinya masih bagus bisa diterapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan pada hutan yang potensinya sudah berkurang bisa diterapkan tanam jalur silvikultur intensif (silin). “Sedang pada areal yang sudah tidak ada potensinya bisa diterapkan tebang habis permudaan buatan secara penuh,” katanya.

Purwadi  juga menyatakan, pihaknya juga sepakat dengan pemerintah tentang perlunya penerapan kebijakan growth with equity, yang melatarbelakangi terbitnya Permenhut No.P.8 tahun 2014. Namun, dalam implementasinya, akan lebih baik jika pemerataan pertumbuhan tersebut didorong dengan pola kemitraan. Mirip dengan pola inti-plasma yang sudah lebih dulu dikembangkan di sektor perkebunan. “Dengan pola tersebut akan ada hubungan harmonis antara pemegang IUPHHK dengan masyarakat untuk bersama-sama berkembang,” kata Purwadi. Sugiharto

Jangan Timbulkan HTI Boneka

Terbitnya ketentuan pembatasan luas konsesi pengusahan hutan diapresiasi oleh kalangan organisasi lingkungan. Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi menilai kebijakan pembatasan luas IUPHHK sangat positif. Dia menyatakan, yang harus dilakukan Kemenhut selanjutnya adalah memastikan ketentuan tersebut benar-benar diimplementasikan.

“Jangan sampai ada HTI boneka. Di mana izinnya atas nama perusahaan lain, tapi yang mengoperasikan tetap raksasa-raksasa yang kini menguasai jutaan hektare hutan,” kata Elfian mengingatkan.

Untuk mencegah IUPHHK boneka yang harus dilakukan Kemenhut sekarang adalah menelusuri kepemilikan seluruh IUPHHK. Elfian berkaca kepada situasi di masa lalu, soal adanya sejumlah pemegang IUPHHK yang mengklaim tidak terkait dengan kelompok usaha besar, namun fakta menunjukan mereka berkantor di lokasi yang sama.

Sambutan positif juga dari dari Forest Watch Indonesia. Meski demikian, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia, Muhamad Kosar menilai kebijakan tersebut belum akan menekan laju deforestasi di Indonesia. Pasalnya, masih ada celah untuk konversi hutan dalam skala luas seperti yang diatur dalam kebijakan moratorium pembukaan hutan. Dalam kebijakan tersebut, pembukaan hutan untuk pangan dan energi. Sugiharto

 

Izin Pemanfaatan Pada HUtan Produksi

NO URAIAN JUMLAH (UNIT) LUAS (Ha)
1. IUPHHK-HA 272 22.801.113
2. IUPHHK-HTI 252 10.053.520
3. IUPHHK-HTR 85 Koperasi,

6.230 Orang

184.121
4. IUPHHK-RE 8 377.428
5. IUPH-Sylvo Pastura 1 73
6. IUPHHBK 7 513.317
7. IUPHHK-HD & HKm 332 394.030
TOTAL 34.323.602

Sumber: Kemenhut