Akhirnya, Bulog pun Dilibatkan

Sulitnya pemerintah menstabilkan minyak goreng sebetulnya sudah bisa ditebak. Alasannya sederhana, mana mungkin swasta, apalagi pedagang, diminta menjual produk minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) jika mereka bisa mengeruk untung besar? Sementara Perum Bulog, yang biasanya menjadi stabilisator harga pangan pokok, malah tidak dimanfaatkan.

Hal itu terlihat dari komoditas minyak goreng yang tidak juga berhasil distabilkan, meski sudah berlangsung berbulan-bulan dan gonta-ganti aturan main. Buntutnya, Presiden Jokowi sendiri langsung turun tangan dan mengambil keputusan drastis melarang ekspor CPO.

Belakangan, upaya pelibatan Bulog akhirnya dilakukan. Dan Bulog pun, seperti biasa, siap menjalankan penugasan dari pemerintah untuk menyalurkan minyak goreng curah ke masyarakat guna menekan harga jual komoditas tersebut. “Saat ini prosesnya tinggal pembahasan teknis dengan pihak terkait,” ujar Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal kepada Agro Indonesia, Sabtu (7/5/2022).

Menurut Iqbal, ada sejumlah pihak yang harus dikordinasikan Perum Bulog sebelum melakukan penugasan, misalnya soal pengiriman pasokan, produsen yang menjadi pemasok.

“Selain itu, kita juga harus memastikan data penerima yang menjadi sasaran penerima bantuan serta kerja sama dengan pihak perbankan terkait pembiayaan dan penampungan dana,” ujarnya.

Pemerintah telah menugaskan Perum Bulog untuk menjadi distributor minyak goreng curah. Penugasan ini diharapkan dapat membantu menekan harga minyak goreng curah hingga mencapai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000/liter.

Dalam konferensi pers virtual, Selasa (26/4/2022), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, distribusi minyak goreng curah ke masyarakat dengan harga Rp14.000/liter kini dilakukan dengan dua cara.

Pertama, yaitu pembayaran selisih harga oleh Badan Pengelola Keuangan Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kedua, melalui penugasan kepada Perum Bulog untuk melakukan distribusi minyak goreng curah ke masyarakat di pasar-pasar tradisional.

“Jadi, kepada produsen yang biasanya mengekspor, tidak punya jaringan distribusi, maka dilakukan oleh Bulog untuk distribusinya,” papar Airlangga.

Soal penugasan Perum Bulog, Awaludin Iqbal mengatakan pihaknya akan menyalurkan minyak goreng curah melalui dua cara. Pertama, melalui pola B to B, dimana Perum Bulog akan menjual minyak goreng curah ke masyarakat umum melalui pasar-pasar tradisional.

Sedangkan cara kedua, Perum Bulog menyalurkan minyak goreng curah ke masyarakat yang telah masuk dalam data penerima manfaat yang telah ditentukan pemerintah.

Iqbal optimis, pembahasan teknis dengan pihak-pihak terkait akan segera tuntas sehingga Perum Bulog bisa dapat menjalankan penugasannya secara tepat dan sesuai sasaran. “Kami optimis bulan ini Perum Bulog sudah bisa menjalankan penugasan yang diberikan pemerintah soal pendistribusian minyak goreng curah ke masyarakat,” paparnya.

Selain Perum Bulog, sebenarnya ada lembaga lain yang juga bergerak dalam bidang pangan, yakni Badan Pangan Nasional (Bapanas). Namun, soal minyak goreng, Bapanas tidak dapat dimaksimalkan fungsinya karena minyak goreng tidak termasuk komoditas yang menjadi kewenangannya.

Mengacu Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021, terdapat 9 jenis pangan yang dikelola oleh Badan Pangan Nasional, yakni beras, kedelai, gula konsumsi, jagung, bawang merah dan bawang putih, cabai, telur unggas, daging ruminansia dan daging unggas.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengakui kalau Bapanas tidak bertanggung jawab atas masalah ketersediaan minyak goreng karena tidak termasuk  komoditas pangan yang diaturnya.

“Sayangnya, migor (minyak goreng) juga belum masuk ke sana,” ujar Oke dalam sebuah webinar.

Walaupun begitu, di lapangan, Bapanas ikut berpartisipasi dalam upaya menstabilkan pasokan dan harga minyak goreng. Badan ini meminta BUMN pangan  terus melakukan  operasi pasar melalui pendistribusian minyak goreng untuk memastikan ketersediaan dan harganya tetap baik.

Bapanas juga telah melakukan kordinasi dengan Kementerian Perdagangan, sejumlah lembaga dan pelaku usaha termasuk dengan BUMN dan ritel swasta mengenai masukan–masukan dan solusi untuk mengatasi ketersediaan minyak goreng.

Dampak Negatif

Keputusan menutup kran ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya sendiri berpotensi menimbulkan dampak negatif, baik dari sisi pendapatan devisa maupun kesejahteraan petani kelapa sawit.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat bahwa pada tahun 2021, ekspor RBD Palm Olein atau minyak goreng sawit mencapai 12,7 juta ton, sedangkan ekspor CPO (Crude Palm Oil) mencapai 2,5 juta ton, dan ekspor RPO (Refined Palm Oil) mencapai 7,5 juta ton.

Sementara jika mengacu data neraca dagang Indonesia per Maret 2022, nilai ekspor CPO mencapai 3 miliar dolar AS atau setara Rp43 triliun/bulan.

Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira dalam keterangannya, pekan lalu, mengatakan bahwa jika larangan ekspor dilakukan selama sebulan penuh akan membuat nilai ekspor sebesar itu akan hilang. Buntutnya,  kondisi itu  juga bakal berimbas ke pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya, sekitar 12% dari total ekspor nonmigas nasional bersumber dari pengapalan CPO.

“Devisa yang hilang, justru mengalir ke pemain minyak nabati pesaing Indonesia seperti Malaysia, misalnya, yang menikmati limpahan permintaan, atau pemain soybean oil dan sunflower oil juga dapat rezeki,” sebutnya

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga menyatakan, larangan ekspor CPO dan turunannya dalam jangka panjang akan merugikan perusahaan hingga jutaan petani kelapa sawit di dalam negeri.

“Apabila berkepanjangan akan menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan, tidak hanya perusahaan perkebunan, refinery dan pengemasan, namun juga jutaan perkebunan sawit kecil dan rakyat,” ujar Ketua Bidang Komunikasi GAPKI, Tofan Mahdi dalam keterangan resminya.

Untuk itu, ungkap Tofan, GAPKI berharap pemerintah dapat segera memberi langkah sebagai tindak lanjut terkait pelaksanaan larangan ekspor ke depan.

Dia berharap, masalah minyak goreng cepat selesai dan ekspor CPO dan produk turunannya dapat dibuka lagi.

Sementara dari sisi petani, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Hendry Saragih menyebut harga tandan buah segar (TBS) anjlok 70% yang disebabkan karena banyak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) telah melanggar ketentuan dalam perjanjian harga TBS.

“Setelah pengumuman kemarin, otomatis langsung drop standar harga TBS. Umumnya jatuh antara 30% sampai 50%, bahkan ada yang 70%,” ujarnya pekan lalu.

Padahal, sebelum adanya larangan ekspor, harga TBS di pasaran sudah sempat mencapai angka Rp3.000/kg. Kini, harga TBS di sejumlah daerah anjlok menjadi Rp1.000-Rp2.000/kg.

Bahkan, di beberapa tempat, ungkap Henry, ada petani yang tidak bisa menjual sawit mentah lantaran para pengepul tidak ada yang mau membeli.

“Alasan mereka CPO tidak bisa diekspor lagi. Jadinya mereka membeli TBS kita ya dengan harga murah. Bahkan di tempat lain ada yang tidak bisa dijual atau dikembalikan,” tuturnya.

Terus menurun

Indonesia diyakini akan segera mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng (olein). Pasalnya, harga kontrak berjangka CPO di Bursa Malaysia Derivatives terus menurun, dan ditutup melemah pada Jumat (6/5/2022) di tengah ekspektasi adanya pembatalan larangan eskpor CPO oleh pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.

Menurut Sathia Varqa, salah satu pemilik dan pendiri Palm Oil Analytics yang berbasis di Singapura, karena ekspektasi itulah maka harga berjangka CPO menghadapi aksi jual intensif dalam dua hari, yang merontokkan 689 poin harga patokan bulan ini.

“Di samping itu, outlook produksi CPO Malaysia pada April yang lebih tinggi menambah kenaikan pasok. Produksi CPO pada April meningkat 6% sampai 7% dari data Maret,” ujarnya kepada Bernama.

Pada penutupan perdagangan Jumat (6/5/2022), kontrak berjangka CPO untuk Mei 2022 turun 324 ringgit menjadi 7.058 ringgit/ton, kontrak Juni 2022 turun 441 ringgit menjadi 6.785 ringgit/ton, kontrak Juli 2022 juga turun 352 ringgit menjadi 6.400 ringgit/ton, dan kontrak Agustus 2022 tinggal 6.154 ringgit/ton atau turun 261 ringgit.

Untuk kontrak September, penurunan mencapai 185 ringgit menjadi 6.033 ringgit/ton dan Oktober 2022 anjlok 145 ringgit menjadi 5.974 ringgit/ton.

Total volume sendiri meningkat menjadi 90.6733 lot dari penutupan Kamis di posisi 53.218 lot, sedangkan kontrak open interest berkurang menjadi 209.809 dari 255.871 kontrak. B Wibowo