Penerapan PPN 10% pada komoditas primer dinilai memberatkan petani Indonesia. Menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir, pemerintah memiliki pemikiran yang terbalik. Seharusnya produk segar tidak terkena PPN. Kalaupun mau ada PPN, ya pada produk olahan.
Selain itu, penerapan ini memberatkan petani terutama saat menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pasalnya, jika PPN diterapkan, maka harga produk segar pertanian dalam negeri akan menjadi lebih mahal.
“Meskipun ketika ekspor para petani tidak dikenakan bea, tetapi kenyataannya yang mengkonsumsi produk segar adalah pasar dalam negeri. Sehingga peluang pasar dalam negeri untuk produk segar lebih besar dibandingkan dengan ekspor keluar,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan, masalah lain timbul ketika harga produk segar dengan penerapan PPN 10% menjadi lebih mahal dari biasanya. Jika demikian, pasti akan kalah saing dengan produk impor yang harganya bisa lebih murah. Apalagi diketahui bahwa infrastruktur Indonesia buruk, sehingga butuh biaya tambahan, misalnya untuk transportasi.
“Jadi, kalau disuruh bersaing dengan produk luar, kita kalah karena kita mahal di transportasi. Ke luar negeri juga gitu. Malah barang datang dari luar negeri bakal lebih murah dijual di sini. Kita bakal jadi penonton, bukan pemain,” katanya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia, Arief Zamroni mengaku masih belum mengambil sikap tentang penerapan PPN 10% ini. Dia masih menunggu informasi yang jelas terkait regulasi tersebut.
“Kita masih menunggu regulasinya seperti apa karena informasinya masih simpang siur. Tetapi yang pasti, kami tidak mau jika regulasi ini merugikan petani. Jika merugikan, kami pasti akan menolak,” katanya.
Arief mengatakan, di tingkat petani sendiri sebagian besar petani belum mengetahui secara jelas bagaimana penerapan pajak ini. Jangankan masalah kebijakan pajak, soal harga di pasaran saja banyak yang tidak tahu. Hal ini karena selama ini penerapan harga kakao ada di tangan para tengkulak.
Dia menambahkan, di tingkat petani ada tiga praktik penjualan kakao. Yang pertama adalah petani panen kemudian menjual langsung kepada tengkulak atau kelompok tani dengan kondisi mereka tidak tahu harga dan tidak ada alternatif pasar lain. Biasanya, mereka terikat karena sistem ijon dan sebagainya.
Yang kedua, petani bebas menjual kepada tengkulak manapun. Tetapi, mereka rata-rata juga tidak tahu tentang perkembangan harga di pasaran. Jadi, akses informasi harga biasanya dari para tengkulak. Kedua model penjualan ini dilakukan oleh 70% petani kakao di Indonesia.
Sedangkan model yang terakhir adalah petani yang telah bergabung dengan kelompok asosiasi. Kalau di sini, petani sudah melek harga. Jumlah petani yang melek harga ini hanya sekitar 20%-30% saja.
“Untuk ke depan, kita harapkan yang penting petaninya sadar harga dulu. Jadi, petani tidak dibodohi tengkulak. Selama ini yang terjadi kan harga kakao pada tingkat akhir sama-sama Rp30.000/kg. Tetapi para tengkulak mendapatkan harga itu dengan membeli produk petani yang harganya bisa Rp28.000, bahkan ada juga yang hanya Rp18.000/kg saja. Jadi, gap-nya memang terlalu lebar,” katanya.
Jangan rugikan petani
Sedangkan Ketua Asosiasi Pengolah Hortikultura (ASPEHORTI) Umar Farouq mengatakan, kebijakan yang dilakukan pemerintah hendaknya tidak merugikan petani karena produk segar itu kan memang baru diambil langsung dari sawah/ladangnya. Kebijakan itu lebih tepat dikenakan pada produk olahan yang memang sudah memiliki nilai tambah.
“Petani itu kan tahunya mereka dapat harga bersih saja. Lagian, kalau PPN itu diterapkan akan susah kontrolnya di lapangan karena petani maunya dapat harga bersih tanpa ada potong ini dan itu,” katanya.
Namun, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menyatakan bahwa petani tidak harus membayar PPN 10% jika menjual hasil produknya kepada pihak lain.
Menurut Bayu, meskipun MA membatalkan pernyataan produk pertanian segar sebagai ‘bukan Barang Kena Pajak’, namun sebagian besar petani tetap tidak akan terkena kewajiban membayar pajak.
Hal itu didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan 197/2013 yang berlaku mulai 1 Januari 2014 tentang batasan Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu pengusaha yang telah memiliki omset usaha lebih dari Rp4,8 miliar/tahun, atau sekitar Rp400 juta/bulan.
Artinya, petani yang pendapatannya kurang dari Rp4,8 miliar/tahun (dan hampir seluruh petani berpendapatan kurang dari itu) tetap tidak terkena kewajiban membayar pajak, meskipun produk yang dihasilkan sekarang termasuk Barang Kena Pajak (BKP).
Di samping itu, produk pertanian yang termasuk barang kebutuhan pokok masyarakat juga telah dikecualikan dari pengenaan PPN sesuai penjelasan Pasal 4A UU 42/2009 tentang PPN sendiri, yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Di luar produk-produk itu, produk hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan dikenakan PPN.
Masalah pajak
Walaupun begitu, Wamendag Bayu Krisnamurthi mengakui kalau kondisi produk pertanian yang bukan BKP selama ini memang menimbulkan masalah perhitungan pajak pada rantai pasokan setelah produk pertanian keluar dari kebun, misalnya pada usaha industri pengolahan atau pada usaha pengemasan atau usaha retail/eceran. Produk usaha lanjutan tersebut jelas akan dikenakan PPN.
Dijelaskan, sesuai sistem PPN, pajak yang dikenakan (pajak keluaran) sebenarnya dapat dikurangi dengan pajak yang sudah dibayarkan pada tahap sebelumnya (pajak masukan).
“Namun, mengingat produk pertanian bukan BKP, maka pajak masukannya tidak dapat diperhitungkan sehingga beban pajak ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha pengolahan atau industri hilirnya,” tegasnya.
Dengan keputusan MA Nomor 70/Februari 2014 itu, Bayu berharap mekanisme pengurangan pajak masukan dari pajak keluaran yang dibayarkan dapat berjalan lebih tertib dam teratur, yang kemudian diharapkan akan mengurangi biaya di tingkat pengolahan dan pada gilirannya meningkatan daya saing industri.
Dia mengakui, solusi yang terlihat ideal itu menghadapi dua masalah. Pertama, petani yang memiliki kemampuan administrasi usaha terbatas sangat sulit diharapkan dapat menyerahkan pencatatan penggunaan input (pupuk, bibit dan sebagainya) dan tanda bukti pembayaran PPN atas input-input itu.
Terlebih lagi, praktis petani memang tidak termasuk PKP sehingga terbatas kebutuhannya untuk membuat pencatatan atau perhitungan masukan keluaran. Ditambah dengan kenyataan dalam banyak situasi posisi tawar petani lebih lemah dibanding industri atau usaha formal lainnya; maka mudah dibayangkan bahwa dengan dalih produk pertanian sekarang menjadi Barang Kena Pajak tetapi petani tidak mampu menyampaikan administrasi pajak masukannya, maka beban PPN 10% akan langsung dibebankan pada harga beli dari petani.
Kedua, ketentuan PPN bagi produk pertanian itu tidak berlaku jika produk segar tersebut langsung diekspor. Akibatnya, penjualan ekspor tidak akan kena pajak 10%, sedangkan penjulan dalam negeri akan terkena PPN 10%. Hal ini akan menimbulkan masalah tersendiri bagi usaha peningkatan nilai tambah dalam negeri, atau bagi industri domestik yang sekarang sedang menghadapi kesulitan pasokan bahan baku pertanian dari dalam negeri seperti misalnya industri kakao. Biji kakao yang diekspor tidak kena PPN sedangkan biji kakao yang digunakan untuk industri dalam negeri akan kena PPN.
“Jadi, penghapusan ketentuan produk pertanian segar sebagai bukan Barang Kena Pajak berpotensi menekan harga beli produk pertanian di tingkat petani, tidak akan banyak menambah penerimaan pajak, dan berpotensi mendorong ekspor produk mentah, serta dapat terkesan kurang membela kepentingan petani,” tuturnya.
Namun, kembali ke ketentuan lama pun bukan solusi ideal, karena juga menimbulkan masalah yang tidak sederhana, terutama bagi industri pengolahan hasil pertanian yang bersifat integratif.
Bayu mengatakan, mungkin sudah waktunya dipikirkan kembali, setidaknya dilihat dari kepentingan petani dan produk-produk pertanian segar, untuk menerapkan pajak penjualan final (sales tax).
“Dalam sistem produksi dan distribusi yang semakin mengedepankan daya saing rantai pasokan, sistem pajak pertambahan nilai mungkin sudah perlu ditinjau ulang,” paparnya. EY. Wijianti/B Wibowo