Lahirnya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional pada tanggal 22 Agustus 2016 sejatinya membawa angin segar bagi nelayan dan masyarakat perikanan yang selama ini terpuruk akibat berbagai kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Namun, tidak untuk Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN). Menurut Ketua Umum MPN, Ono Surono, sejauh ini belum terlihat upaya nyata dari KKP. Karena beberapa kali melakukan sosialisasi dengan melibatkan stakeholder, tidak ada tanda-tanda akan mengevaluasi atau merivisi peraturan perundang-undangan yang menghambat pengembangan industri perikanan nasional.
Sebaliknya, kata Ono, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti malah menantang stakeholder melakukan gugatan hukum (PTUN) terhadap kebijakan yang diambilnya. Sikap arogan Susi ini menguar dalam acara Sosialisasi dan diskusi terkait tindak lanjut Inpres 7/2016 yang digelar pada 31 Agustus 2016.
“Mungkin Menteri Susi berpikir bahwa Inpres itu ditetapkan bukan ditujukan kepada KKP saja. Sehingga Menteri Susi masih merasa apa yang telah dilakukannya benar 100%. Kan Menteri Susi bilang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk oleh Presiden,” sindir Ono kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Padahal, dalam Inpres 7/2016 secara jelas dan gamblang Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada pembantunya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya, pengolahaan, pemasaraan dalam negeri dan ekspor. Selain itu, Menteri Susi juga diperintahkan menyusun roadmap, meningkatkan produksi perikanan tangkap dan budidaya, membangun sarana prasarana dan menyederhanakan serta mempercepat perizinan.
Ono mencatat ada sejumlah kebijakan Susi yang selama ini menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, pemasaran dalam negeri dan ekspor. Yang pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). Kemudian, PermenKP 57/2014 tentang Larangan Transhipment. PermenKP 1/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).
Begitu pula PermenKP 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPP NRI, PermenKP 15/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. “Termasuk Peraturan Pemerintah 75/2015 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pada KKP,” katanya.
Itu sebabnya, buat MPN, Inpres 7/2016 merupakan jawaban atas keresahan stakeholder selama ini. “Kebijakan yang dikeluarkan cenderung mematikan ekonomi masyarakat, karena kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan keluar sepihak tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan atau dunia usaha,” cetus Ono.
Ono, yang juga anggota Komisi IV DPR (F-PDIP), mencontohkan ikan sebagai produk yang mudah busuk atau perishable. Dengan kegiatan penangkapan yang makan waktu cukup lama, maka kualitas ikan jelas bisa menurun. Oleh sebab itu, keberadaan kapal alih muat atau yang dikenal dengan istilah transshipment, menjadi mutlak diperlukan.
“Menurunnya kualitas ikan akan menurunkan harga ikan. Ikan harganya akan semakin tinggi jika kualitasnya semakin baik. Singkatnya, harga ikan segar jauh lebih mahal. Itulah kenapa kurangnya kapal angkut kerapu menghambat pemasaran kerapu segar,” papar Ono.
Menurut Ono, jika bicara kesejahteraan, maka ukuran yang bisa kita pakai adalah meningkatnya pendapatan dan semakin meningkatnya penciptaan tenaga kerja. Dengan demikian, jumlah tenaga kerja pun meningkat.
“Saat ini yang terjadi adalah banyak pabrik pengolahan tutup. Terjadi PHK di mana-mana. Jadi sudah sangat jelas bahwa dalam 2 tahun terakhir ini bukan kesejahteraan yang dihasilkan, melainkan kesengsaraan,” cetus Ono.
Belum optimal
Sementara itu Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Yugi Prayanto mengaku sudah satu kali dipanggil KKP untuk mengupas program KKP yang mutakhir. Namun, Kadin menilai langkah itu belum optimal.
Itu sebabnya, kata Yugi, Kadin Indonesia akan memberi masukkan tertulis kepada KKP dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. “Usulan Kadin, kuncinya ada di pengawasan dan menjaga keberlangsungan perikanan yang berkelanjutan. Jadi, ini yang ditata, bukan dilarang-larang,” kata Yugi.
Menurut Yugi, Kadin secara khusus menyoroti kapal-kapal yang sudah lulus analisa dan evaluasi (anev) serta yang sudah digolongkan white list untuk segera dimanfaatkan.
Kadin juga minta pemerintah — sambil menunggu bantuan kapal 3-5 gross tonnage (GT) — segera menyiapkan solusi alat tangkap nelayan cantrang. “Apakah tetap boleh digunakan dengan sistem musim banyak ikan atau modal ganti alat tangkap yang disediakan pemerintah,” kata Yugi.
Lain halnya dengan Ketua Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Provinsi Sulawesi Utara, Basmi Said — yang terbang langsung dari Bitung untuk memenuhi undangan acara Sosialisasi dan diskusi terkait tindak lanjut Inpres 7/2016 yang digelar pada 31 Agustus 2016.
Basmi mengaku prihatin dengan industri perikanan yang mengalami kemunduran sejak KKP dipimpin Menteri Susi. Hanya saja, Basmi menjadi apatis dengan keadaan, yang menurutnya, paling parah sejak 1980-an.
“Apiki Sulut sudah terlalu sering memberi masukan solusi ke KKP terkait dengan pengolahan ikan. Tapi kayaknya diabaikan. Jadi, kurang efisien mikir. Karena toh juga akan diabaikan sama Menteri Susi,” sergah Basmi. Fenny
Susi: Tak Ada Pengusaha yang Saya Kriminalisasikan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri seudah melakukan langkah awal sesuai mandat Presiden Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Salah satunya memberikan keringanan bagi pemilik kapal nakal yang memasukkan ukuran kapal, berupa markdown amnesty.
“Tidak ada satupun saya rasa tokoh masyarakat atau pengusaha sekarang yang saya kriminalisasikan. Kecuali memang yang kaitannya dengan human trafficking dan drugs smuggling atau yang lainnya yang memang sudah di luar diskresi atau otoritas saya untuk menyetop lebih lanjut,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Untuk diketahui, markdown amnesty yang disebut-sebut Susi itu adalah nelayan atau pemilik kapal cukup membayar sejumlah tarif yang nantinya masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan melakukan pengukuran ulang.
Selain markdown amnesty, KKP dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan mengevaluasi pengukuran kapal. Kedua instansi ini akan membentuk samsat khusus untuk pengurusan dokumen atau akte kapal.
“Soal pengukuran kapal, kita bikin samsat bersama dengan Kemenhub. Untuk itu, saya menghimbau bagi yang memanipulasi gross, saat ini ada amnesty. Jadi, jangan takut jika saya kriminalisasikan,” jelas Susi.
Susi menambahkan, KKP juga mempercepat proses perizinan dan perpanjangan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dengan membuka gerai-gerai di beberapa daerah dan memastikan proses perizinan berjalan sesuai dengan prosedur dengan tenggat waktu yang singkat.
“Jika ada kelambatan dalam proses perizinan, bisa kontak kami langsung. Sebut saja nomor kapal, siapa pemiliknya. Nanti kami dari pusat bantu langsung. Karena semuanya sekarang bisa dipantau online,” terang Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, M. Zulfichar Mochtar.
Selain itu, KKP juga sudah merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Aturan ini mengubah jumlah pelabuhan muat singgah yang diizinkan bagi kapal pengangkut ikan hidup. Termasuk frekuensi kapal asing yang masuk ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia dan bobot kapal pengangkut ikan.
Namun, revisi PermenKP 15/206 dinilai Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) malah menguntungkan pembudidaya luar negeri. “Yang diuntungkan dari revisi PermenKP 15/2016 adalah pembudidaya Malaysia dan Vietnam. Karena akan didatangi kapal buyers untuk memenuhi isi kapalnya yang separuh kosong dari Indonesia,” ujar Ketua Abilindo, Wajan Sudja.
Menurut Wajan, pembatasan yang hanya boleh muat di satu titik per trip bukan solusi, karena muatan tidak bisa penuh dan belum ada kawasan yang bisa memuat 30 ton/trip. Saat ini kapal maksimum muat 15 ton.
“Akibatnya, masih separuh lebih kawasan budidaya, terutama yang kecil-kecil dan baru tumbuh tidak akan terlayani. Sehingga, kawasan-kawasan budidaya yang baru tumbuh akan mati,” kata Wajan. Fenny