Masuknya Susi Pudjiastuti di Kementerian Kelautan dan Perikanan ternyata menjadi mimpi buruk buat industri penangkapan ikan dalam negeri. Terlepas dari tindakan tegas Susi dalam memberantas aksi perikanan ilegal, tak dilaporkan dan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada (IUU Fishing), namun berbagai kebijakan Susi malah menimbulkan masalah baru di bisnis perikanan tangkap dari hulu sampai hilir.
Jadi, tidak heran hanya dalam kurun tiga bulan lebih atau 100 hari sejak dilantik, Susi sudah harus berhadapan dengan para nelayan tradisional. Mereka turun ke jalan dan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Mereka melawan sejumlah kebijakan “tak ramah” Susi yang dilantik 27 Oktober 2014.
Yang pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.). Yang kedua, Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Dua kebijakan itu memicu turunnya ribuan nelayan di Rembang dan menggeruduk DPRD Kabupaten Rembang. Selain memprotes Permen KP 1 dan 2, mereka juga menuntut Susi agar diturunkan dari jabatannya.
Kebijakan Susi pun menghadapi perlawanan berat dari pelaku perikanan Bitung, Sulawesi Utara (Sulut). Mereka yang terdiri dari anak buah kapal (ABK), buruh pabrik, pengelola ikan, pengusaha perikanan tangkap dan pengalengan ikan yang tergabung dalam Komunitas Perikanan Bitung Bersatu menggeruduk kantor Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung di Aertembaga (7/01/2016).
Sebanyak 6 masalah pun disuarakan oleh Asosiasi Kapal Perikanan Nasional (AKPN) Sulut, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sulut, Asosiasi Unit Pengolahan Ikan Kota (Apiki) Sulut, dan Himpunan Pengusaha Kecil Nelayan Bitung.
Di antara pengunjuk rasa yang ditaksir sekitar 1.000 orang ini terungkap beberapa masalah yang membelit Bitung. Antara lain sebanyak 2.500 orang menganggur akibat tidak beroperasinya kapal pengangkut dan perizinan kapal yang berbelit-belit dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Gara-gara operasional pabrik tergangggu karena kekurangan bahan baku, pemutusan hubungan kerja pun terjadi secara massal.
Selain itu, kenaikan tarif royalti Pungutan Hasil Perikanan yang sebesar 400%-1.000% membuat pengusaha perikanan Bitung meradang. Belum lagi Surat Edaran Nomor B.1234/DJPT/PT.410.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada SIUP/SIPI/SIKPI. Surat edaran yang membatasi kapal penangkap dan pengangkut ikan tidak lebih dari 150 gross tonnage (GT) ini dianggap sebagai bentuk monopoli di Zona Ekonomi Eksklusif dan laut lepas.
Termasuk Permen KP 56/ 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI. Meski moratorium sudah berakhir pada Oktober 2015 lalu, namun menyisakan ketidakpastian untuk pelaku usaha perikanan Bitung.
Belum lagi, PermenKP 57/2014 tentang Larangan Transhipment serta Permen KP Nomor 58/2014 tentang Disiplin Pegawai KKP Dalam Pelaksanaan Kebijakan Moratorium dan Larangan Transhipment.
Devisi lenyap
Ketua Apiki Sulut, Basmi Said mengungkapkan, devisa yang lenyap akibat kebijakan moratorium dan transhipment di Bitung sejak 2015 sudah mencapai Rp2,148 triliun. Aset yang tidur: 4 unit pengalengan ikan dari 7 unit, 5 unit pengolahan ikan kayu, 7 unit pengolahan tuna segar dari 12 unit yang ada.
Menurut Basmi, sebanyak 53 unit pengolahan ikan (UPI) di Kota Bitung — dengan kapasitas terpasang 1.414 ton ikan olahan/hari — membutuhkan 1.100 ton cakalang/tuna dan 300 ton pelagis kecil.
UPI Bitung terdiri dari 7 unit pengalengan ikan tuna dengan kapasitas terpasang 640 ton/hari, 5 unit pengolahan ikan kayu (katsubushi) dengan kapasitas terpasang 270 ton/hari, 12 unit pengolahan tuna segar dengan kapasitas terpasang 110 ton/hari serta 29 unit pengolahan pembekuan ikan dengan kapasitas terpasang 395 ton/hari.
Namun, hingga awal Maret 2016, dari 53 unit pengolahan ikan Kota Bitung — yang masih bisa beroperasi dengan nafas “Senin-Kamis” demi menjaga kelangsungan tenaga kerja dan pesanan — tinggal 6,4% atau 90 ton/hari dari kapasitas terpasang. Bandingkan dengan tahun sebelumnya, 2015, yang mencapai 17,7% atau 250 ton/hari.
“Jadi, sebelum Permen KP 56 dan 57 Tahun 2014, masih terdapat pasokan ikan untuk berproduksi sekitar 716 ton/hari atau sekitar 50,6% dari kapasitas terpasang,” jelas Basmi.
Miris
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor, Rokhmin Dahuri menyesalkan KKP di bawah kepemimpinan Menteri Susi. “Saya miris. Seakan-akan di KKP tidak ada lagi yang mengerti perikanan,” kata Rokhmin.
Bahkan, Rokhmin menilai Susi — pengusaha pemilik PT ASI Pujiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai sewa dengan pesawat propeller — seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) penjajah. “Ibu Susi seperti LSM antek-antek penjajah. Mereka ingin kita banyak pengangguran dan miskin. Padahal, sumberdaya lingkungan dengan penyerapan tenaga kerja harus seimbang,” sergah Rokhmin.
Menurut Rokhmin, seharusnya setiap kebijakan yang diambil Susi dibicarakan dulu dengan stakeholder. “Kita tersayat-sayat. Sebanyak 95% stakeholder perikanan menderita, termasuk nelayan tradisional,” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (APPLHI), Agus Apun Budhiman juga merasakan hal yang sama. “Saat ini di KKP tidak ada ahli perikanan. Yang ada pejabat perikanan,” cetus Agus, yang juga mantan Direktur Sumber Daya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP.
Wakil rakyat di Senayan, anggota Komisi IV DPR, Ono Surono (F-PDIP) pun mengaku heran dengan posisi Menteri Susi yang begitu hebat di mata Presiden RI, Joko Widodo. “Menteri Susi sangat hebat. Dengan dampak negatif yang ditimbulkannya, dia masih dipercaya oleh Presiden RI sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan,” sindir Ono.
Ono pun merujuk pada bukti-bukti yang berhasil didatanya. Akibat berbagai kebijakan Susi, sekitar 103.000 ABK menganggur. Sebanyak 47 perusahaan perikanan bangkrut. Belum lagi, 75.000 buruh unit pengolah ikan terancam dirumahkan. Termasuk 400.000 pembudidaya, nelayan kepiting dan rajungan serta 8.000 penangkap benih lobster, 1.000 pembudidaya lobster, 50.000 pembudidaya kerapu.
Puncaknya, Gerakan Nasional Masyarakat Perikanan Indonesia (Gernasmapi) menggelar unjuk rasa di kantor KKP dan Istana Negara (6/4/2016). Sebanyak 20.000 demonstran yang mengaku ABK, buruh pabrik, pengelola ikan, pengusaha perikanan tangkap dan pengalengan ikan protes terhadap kebijakan Susi.
Tapi, Susi pun tak kalah berang dan menampik semua tudingan itu. “Saya tidak bermaksud menghancurkan mata pencaharian siapa pun. Saya hanya mengatur usaha-usaha perikanan, agar nelayan kecil dan perusahaan besar bisa hidup berdampingan dan sama-sama bisa memanfaatkan sumberdaya ikan dengan baik dan berkesinambungan,” tegasnya.
Kendati demikian, Susi mengaku “tancap gas’ mengeluarkan Permen KP 56/2014. “Maafkan saya. Untuk moratorium saya memang tidak konsultasi dengan stakeholder. Karena kalau lobi sana, lobi sini, bisa 3 bulan tidak kelar-kelar. DPR keburu kerja. Keburu susah saya. Jadi, saya desak Pak Laoly (Menkumham Yasonna H Laoly) untuk segera teken,” kata Susi dalam Refleksi 2014 dan Outlook 2015 KKP yang digelar 5 Januari 2015 lalu. Fenny
Ratusan Ribu Nelayan Cantrang Jadi Korban
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menaksir setidaknya ada 600.000 orang yang menjadi korban Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02/PERMEN-KP/ 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
KNTI menenggarai sedikitnya ada 100.000 jiwa dan lebih dari 500.000 orang lainnya yang terkena dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas anak buah kapal (ABK) buah dari Permen KP 02/2015. “Pemenuhan hak-hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi nyaris terabaikan,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat KNTI, M. Riza Damanik.
Riza menegaskan, KNTI mendukung efektivitas pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak seperti cantrang di seluruh perairan Indonesia. Namun, larangan itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan terukur.
Apalagi, sejumlah dokumen menunjukkan upaya peralihan penggunaan cantrang sudah dilakukan sejak 2005 lalu. Namun, sejak saat itu, pemerintah dan pemerintah daerah tidak pernah mengawal proses peralihannya.
Indikasinya, pemerintah justru dengan sadar mencatat hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal cantrang sebagai bagian dari prestasi peningkatan produksi ikan nasional. Kemudian penggunaan cantrang sebanyak 3.209 unit pada 2004, meningkat jadi 5.100 unit pada 2007 dan sekarang diperkirakan lebih dari 10.000 unit dari Jawa Tengah (Jateng).
KNTI pun menyesalkan pemerintah yang lamban mengambil tindakan antisipatif penyelesaian polemik penggunaan alat tangkap cantrang hingga meluasnya aksi massa dan lumpuhnya jalur pantai Utara Jawa (Pantura) tahun lalu. Fenny