Berbagi Kewenangan Impor?

Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih menunggu kebijakan Kementerian Pertanian mengenai kapan pengalihan kewenangan penentuan dan pemberian volume impor sapi hidup, berkaitan dengan penerapan UU No. 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Nakeswan).

Menurut sumber Agro Indonesia di Kementerian Perdagangan, hingga awal Desember 2014 belum ada pembicaraan sama sekali antara Kemendag dengan Kementan soal pengambilalihan kewenangan itu. “Belum ada pembicaraan antara kedua instansi. Pihak Kementan belum membicarakan soal rencana pengalihan kewenangan itu,” ungkapnya.

Menurut dia, sebenarnya persoalan impor sapi hidup sudah selayaknya ditangani Kemendag mengingat itu merupakan barang impor. “Namun, karena UU-nya memberikan kewenangan lebih besar  kepada Kementan, ya bagaimana lagi,” paparnya.

Dia menyatakan, karena belum ada pembicaraan secara intensif, pihak Kemendag sampai saat ini tetap berpegang pada aturan bahwa kebijakan impor sapi hidup dan daging beku masih ditangani Kemendag. “Sepanjang belum adanya revisi Permentan soal impor sapi ini, kewenangan kebijakan impor sapi hidup dan daging beku masih dipegang oleh Kemendag,” ucapnya.

Seperti diketahui, berdasarkan UU 41/2014 pasal 36B, pemasukan ternak dan produk hewan ke dalam wilayah Indonesia diatur dengan peraturan menteri. Menteri di sini, sesuai dengan pasal 1 angka 46, adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang peternakan dan kesehatan hewan, yakni Menteri Pertanian.

Meskipun di pasal 36B ayat (1) menyebut ternak dan produk hewan, namun di ayat berikutnya yang dibahas adalah pemasukan ternak, yakni harus berupa bakalan. Sementara untuk produk hewan, yang masuk di dalamnya impor daging, tidak diatur. Padahal, baik produk hewan maupun sapi bakalan, jika ingin diimpor pun aturannya sama, yakni country-based. Berbeda dengan sapi indukan, yang dimungkinkan menggunakan zone-based — yang menjadi kontroversi karena aturan tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan kata lain, apakah ada upaya pembagian “jatah” pengaturan izin impor antara Kementan dengan Kemendag? Yang jelas, izin impor saat ini memang masih dipegang Kemendag, baik sapi hidup maupun produk hewan.

Dikritik

Namun, besarnya kewenangan Kemendag itu sendiri sempat “dikritik” Kementan. Saat masih menjadi Mentan, Suswono mempertanyakan mengapa harga daging yang masih tinggi padahal izin impor sudah dipegang Kemendag.

Masalah ini pula yang nampaknya menjadi perhatian Kemendag. Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Partogi Pangribuan mengatakan, Kemendag akan mengevaluasi tataniaga impor sapi hidup dan daging beku guna menekan harga jual daging sapi yang kini masih tinggi. Walaupun pemerintah telah membuka kran impor, harga rata-rata daging sapi nasional masih berada pada kisaran Rp95.000-Rp100.000/kg atau jauh di atas harga referensi Rp76.000/kg.

Menurut Partogi, masih tingginya harga itu antara lain disebabkan masih rendahnya realisasi impor yang dilakukan pihak importir yang mendapatkan izin impor. “Jika dilihat dari realisasi tidak sebanyak itu (tidak sebanyak izin impor yang diberikan). Jadi nanti akan kita evaluasi bersama dari data kita, dengan data di Karantina,” katanya, pekan lalu.

Dia mengatakan,  izin impor yang diberikan Kementerian Perdagangan pada 2014 mengalami kenaikan dibandingkan 2013, namun hingga akhir tahun nanti realisasi impor diperkirakan hanya sebesar 65% dari total alokasi yang diberikan. “Izinnya naik, tetapi realisasi masih 65% hingga Desember 2014,” ucap Partogi.

Untuk tahun 2014, Kemendag telah menetapkan perhitungan indikatif untuk impor sapi hidup sebanyak 750.000 ekor, atau setara dengan 130.000 ton daging, sementara untuk importasi daging beku, pemerintah membebaskan tanpa adanya perhitungan indikatif.

Kemendag memberikan izin impor sapi hidup tersebut sepanjang tahun, namun untuk pelaksanaan importasinya akan dilakukan per kuartal.

Pembagian izin tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi jika harga daging di pasaran sudah turun sesuai dengan harga referensi yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp76.000/kg untuk jenis potongan sekunder (secondary cuts).

Referensi harga tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan yang dikeluarkan pada akhir Agustus 2013. Sebelumnya, pada 2013, pemerintah hanya memberikan izin impor sapi bakalan sebanyak 356.950 ekor, dengan perincian 267.000 ekor merupakan alokasi impor tahun 2013 dan tambahan izin baru sebanyak 89.950 ekor.

Menurut Partogi, untuk mendorong importir merealisasikan izinnya, pihaknya akan mencabut izin importir jika tidak mampu merealisasikan impor sebesar 80% dari alokasi yang sudah diberikan oleh Kemendag. “Kita akan cabut jika tidak sampai 80% (realisasi impornya), saya rasa para importir tidak main-main soal ini,” tegasnya. B Wibowo

APFINDO: Kebijakan Harus Bersifat Paralel

Target swasembada sapi yang digadang-gadang pemerintah mendapat sorotan dari beberapa stakeholder. Tak terkecuali para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO).

“Kami berharap kebijakan pemerintah tersebut bersifat paralel, artinya tidak hanya berlaku untuk jangka pendek saja, tetapi juga untuk masa depan peternakan Indonesia,” kata  Direktur Eksekutif APFINDO, Johny Liano di Jakarta, pekan lalu.

Dia mengatakan pemerintah harus membuat grand design tentang kondisi peternakan Indonesia ke depan. Karena itu, harus ada kebijakan yang bersifat paralel yang tidak hanya berfikir untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.

“Kebijakan bisa dimulai dengan populasi. Mampu nggak dengan populasi tersebut kita bertumpu pada sumberdaya lokal. Ketakutan saya, jangan sampai kebijakan itu hanya untuk jangka pendek, tetapi ternyata jangka panjang kita ketinggalan. Sekarang saja, populasi sapi di Tiongkok sudah mencapai 24 juta ekor. Mereka melakukan budidaya dulu. Jadi, mereka benahi dulu kondisi peternakan dalam negeri,” katanya pada Agro Indonesia di kantor APFINDO.

Menurut Johny, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB menyatakan kalau peningkatan populasi dilakukan hanya menggunakan cara biasa, peningkatan yang terjadi paling tinggi hanya 10%. Tapi jika menggunakan teknologi, maka peningkatan populasi dan produktivitas sapi bisa mencapai 30%.

“Saya lihat, budidaya peternakan menggunakan teknologi IB (insemenasi buatan) dengan gertak birahi sudah benar. Cuma memang langkah operasioanalnya harus disusun dengan baik. Jangan sampai gertak birahi dilakukan, padahal sapi yang digertak nggak diperiksa dulu. Jadi, semua sapi indukan yang siap kawin diperiksa status uterusnya. Di mana kalau sapi tersebut terkena virus atau bakteri harus diobati dahulu,” jelasnya.

Menurut dia, dengan populasi sekitar 14,80 juta ekor, di mana 62%-nya adalah sapi betina, maka ada potensi sekitar 6 juta ekor yang bisa dipakai untuk meningkatkan produksi. Selama ini, baru 1 juta ekor sapi yang sudah diuji menggunakan teknologi untuk meningkatkan produksi. Padahal, jika program tersebut ditingkatkan, maka hasilnya akan lebih signifikan karena banyak sapi yang bunting dan melahirkan.

Terkait dengan impor sapi, Johny mengaku agak bingung dengan logika pemerintah karena pada dasarnya jumlah konsumen daging berkorelasi dengan peningkatan  pendapatan. Dari hasil analisis time series diperoleh bahwa daging yang berasal dari produksi lokal pada tahun 2014 hanya mampu memenuhi permintaan daging nasional sebesar 50,76% dan sampai tahun 2024 semakin menurun dan hanya mampu memenuhi permintaan 42,75%. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan industri sapi potong di Indonesia agar permintaan daging dapat dipenuhi dari produksi daging sapi dan kerbau lokal.

Berdasarkan gap atau jumlah kekurangan daging dapat dihitung jumlah sapi dan induk untuk memenuhi permintaan daging sapi dan kerbau. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa kebutuhan sapi siap potong pada tahun 2015 mencapai 860.655 ekor dan diproyeksikan terus meningkat sampai tahun 2024 sebesar 2.698.784 ekor. Apabila kebutuhan itu akan dipenuhi dari dalam negeri, maka diproyeksikan perlu adanya penambahan induk sebesar 2.868.850 ekor pada tahun 2015 yang terus meningkat hingga mencapai 8.995.947 ekor pada tahun 2024.

“Hasil studi UGM itu, pada tahun 2015 mendatang jumlah orang yang mengkonsumsi daging menigkat mencapai 2,56 kg/kapita/tahun atau naik 11% dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 2,36 kg/kapita/tahun. Sekarang populasi penduduk naik, kebutuhan juga naik, tapi pasok yang ada di dalam negeri bisa ngikutin nggak? Jadi, antara kebutuhan dan pasok terjadi gap. Kalau kebijakan pembatasan ini dilakukan, maka kesenjangannya akan semakin menganga,” katanya.

Johny juga mengkritisi tentang perubahan country-based menjadi zone-based yang termaktub dalam UU No.41 Tahun 2014 tentang perubahan UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Menurutnya, kalangan pengusaha masih bersikap wait and see terhadap tindakan pemerintah. Pasalnya, untuk pemberlakukan basis zona harus menunggu pulau karantina yang dibangun oleh pemerintah.

“Kalau pelaku usaha kan melihat aturan yang ada dan apakah dari sisi bisnis masuk atau tidak sebelum memutuskan (impor). Karena kalau dari ketentuan UU itu kan dari swasta (impor sapi) harus masuk dulu ke karantina, tapi pulau karantinanya belum ada,” jelasnya.

Terkait dengan masalah pengaruh penerapan basis zona terhadap harga sapi asal Australia, pria berkacamata ini menilai, tidak ada pengaruhnya sama sekali karena saat ini sapi bukan barang eksklusif. Apalagi, di pasar gobal banyak negara yang sudah membuka pasar sapi untuk Australia seperti Vietnam, Tiongkok, bahkan Amerika Serikat.

“Kalau saya mikirnya ke depan. Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan sapi dalam negeri. Kalau memang swasembada, ya harus kebijakan yang paralel seperti yang saya jelaskan tadi,” paparnya. E. Y Wijianti