Menggugat Keabsahan Impor Berbasis Zona

Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2015 belum mengalokasikan anggaran untuk membangun Pulau Karantina, terkait dengan impor indukan dari zone-based sebagaimana yang diamanahkan Undang-undang No.41 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Nakkeswan).

“Tahun depan baru dianggarkan dana untuk pengkajian pembangunan tiga Pulau Karantina,” kata Kepala Pusat Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian, Sujarwanto kepada Agro Indonesia di Jakarta, pekan lalu.

Dia menyebutkan, pihaknya sedang mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP), dengan target penetapannya tahun 2016. Kajian teknis yang pernah dilaksanakan akan dikaji secara komprehensif mulai tahun depan.

“Untuk kajian dan penyusunan PP sudah dilakukan. Tapi untuk pembangunan fisik belum. Mungkin pembangunan fisik Pulau Karantian itu akan dilaksanakan tahun 2016. Dengan catatan, kalau pemerintah yang bangun dan ada yang mengggunakannya,” kata Sujarwanto.

Tiga pulau yang sudah dikaji itu adalah  Pulau Nando di Bangka Belitung, Pulau Durian Besar di Tanjung Balai Karimun dan Bangkomalampe di Sultra.

Menurut dia, pulau karantina yang akan dibangun itu sebagai konsekuensi dari  UU No. 41/2014 tentang Nakeswan. Pulau-pulau tersebut terletak di wilayah barat, tengah dan timur.

Pulau karantina merupakan tempat karantina hewan yang terisolir dan dimanfaatkan untuk mengkarantina sapi-sapi dari daerah yang belum bebas PMK (Penyakit Mulut Kuku), terutama sapi-sapi indukan.

Dia optimis jika pulau karantina itu akan terbentuk sesuai dengan waktu yang ditetapkan DPR, yaitu selama dua tahun. Keyakinan ini didasari bahwa Indonesia mempunyai kepulauan dengan jumlah 17.000 pulau sehingga beberapa pulau yang dipakai sebagai karantina hewan bisa digunakan dan dipertanggungjawabkan.

Meski menyatakan kesiapan, namun pemerintah juga mengakui ada beberapa kendala yang harus diperhatikan, karena membangun pulau karantina bukan hal yang mudah. “Dibutuhkan infrastruktur yang memadai dan sesuai dengan animal welfare,” katanya.

Ditanya soal lokasi pulau tersebut agak terpencil, Sujarwanto mengatakan hal itu memang disengaja, karena kalau ditempatkan di daerah yang banyak penduduknya akan berisiko tinggi. Ke depan, pulau karatina itu hanya untuk pembibitan dan pengembangan. Adapun pulau karantina itu sendiri merupakan pulau yang ada penduduknya tetapi didedikasikan untuk mengelola sapi-sapi itu.

Kepala Badan Karantina Pertanian, Banun Harpini pernah mengatakan, UU No 41/2014 akan menimbulkan effort yang sangat besar bagi perkarantinaan, terutama masalah pengawasannya yang harus lebih opimal.

“Paling tidak, tadinya berbasis negara sangat safe sekarang berbasis zona, kita harus lebih hati-hati. Artinya, harus melakukan tindakan karantina atau proteksi lebih maksimal,” katanya.

Menurut Banun, sebenarnya penggunaan zone-based sudah diatur dalam UU Perkarantinaan No. 16 Tahun 1992, di mana Indonesia boleh mendatangkan atau memasukkan hewan dari negara bebas secara zona dengan pengamanan karantina maksimal.

Saat ini, Badan Karantina masih melakukan diskusi mengenai pulau karantina. Beberapa lokasi sudah diidentifikasi untuk dijadikan pulau karantina hewan. Berhubung pulau ini melibatnya beberapa kementerian dan membutuhkan biaya investasi yang besar, maka kesepakatannya dilakukan dengan mengajak tim Menko Perekonomian.

Banun menjelaskan, untuk menyiapkan pulau karantina, diperlukan berbagai infrastruktur pendukung, seperti pelabuhan khusus untuk menerima kiriman sapi dan persoalan teknis lainnya. “Ada 3 tempat yang disiapkan, yaitu di Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Riau. Untuk menyiapkan pulau karantina perlu ada pabean, karantina, dan imigirasi. Terkait investasi belum dihitung dan belum tahun ini,” katanya.

Sumber impor terbuka

Salah satu alasan pemerintah melakukan revisi UU No 18/2009 adalah kondisi wilayah  Indonesia sebagai negara kepulauan yang tidak sesuai dengan country-based tetapi dan lebih pas menggunakan zone-based.

Pasalnya, dengan skema zone-based, Indonesia bisa lebih leluasa mendapatkan pasokan daging dan sapi impor dari berbagai negara di dunia, tentunya yang memang sudah dinyatakan bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Hal ini membuat Indonesia tak lagi bergantung impor pada satu negara saja.

Suswono ketika masih menjabat sebagai Menteri Pertanian mengemukan, skema country-based tidak menguntungkan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Dengan amandemen UU No.18/2009, maka harus disiapkan pulau-pulau karantina, misalnya di barat, tengah, dan timur Indonesia.

Dia menjelaskan, Indonesia terus berupaya melakukan optimalisasi populasi sapi dengan melakukan impor sapi indukan. Menilik wilayah Indonesia yang terbagi dalam ribuan pulau, penyebaran populasi ternak bukan persoalan yang mudah. Karena itu dibutuhkan Pulau Karantina Hewan sebagai wadah. Hal ini tidak bertentangan dengan organisasi kesehatan hewan dunia.

“Selain ada basis zona, ada juga zona perlindungan. Kalau sudah ada proyeksi meningkatkan populasi, bisa juga menambah sisi zona dan daerah tertentu dari  PMK atau daerah tertentu yang belum bebas dari PMK. Nantinya sapi-sapi indukan itu akan masuk ke dalam pulau karantina dan akan diatur dalam peraturan pemerintah,”  jelasnya.

Surati MK

Namun, dibukanya kembali impor berdasarkan zona jelas kontroversi. Pasalnya, aturan zona itu di UU No.18/2009 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Itu sebabnya, ketika UU 41/2014 membuka kembali peluang impor berbasis zona, kalangan pemangku kepentingan peternakan nasional pun berang.

Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyana pun langsung melayangkan surat ke MK terkait dengan UU No.41/2014 tentang Peternakan Kesehatan Hewan, terutama pasal 36C, yang dinilai bertentangan dengan keputusan MK No. 137/PUU/VII/2009, tanggal 27 Agustus tahun 2010.

Dalam Pasal 36C ayat (1) UU No.41/2014 berbunyi, “Pemasukan ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah negara RI dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.”

Menurut Teguh, mengacu pada amar keputusan MK No. 137 antara lain disebutkan bahwa  frasa “Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona” dalam pasal 59 ayat (2) UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UU Dasar 1945. MK juga berpendapat, Indonesia adalah negara kesejahteraan. Pemerintah harus membuat regulasi yang melindungi dan mendorong kesejahteraan rakyat. Penetapan zona menunjukkan ketidak hati-hatian bahkan membahayakan.

Itu sebabnya, dalam suratnya Teguh meminta konfirmasi kepada Ketua MK Hamdan Zoelva. “Apakah pasal 36C ayat (1) UU No.41/2014 secara otomatis batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini mengingat secara substansi pasal 36C ayat (1) itu bertentangan dengan keputusan MK No.137, yang sifatnya final dan mengikat,” papar Teguh.

Dia mengatakan, surat yang dilayangkan tanggal 24 November 2014 tersebut sampai minggu kemarin belum ada jawaban dari MK. “Minggu ini saya akan kirim surat lagi ke MK untuk menanyakan bagaimana surat saya yang kemarin,” katanya.

Menurut Teguh, Keputusan MK No 137/PUU-VII/2009 sifatnya final dan mengikat. Logikanya, dengan adanya revisi UU No 18/2009, maka pasal 36C dalam UU No.41/2014 batal demi hukum. “Jika tidak batal demi hukum, maka artinya keputusan MK tidak final dan tidak mengikat. Untuk itulah kami meminta konfirmasi kepada MK,” tegas Teguh.

Dia mengatakan, PPSKI bukan anti impor. Hal ini dilakukan semata-mata ingin menjaga agar Indonesia tetap bebas dari PMK. “Impor ternak atau produk seperti yang diatur dalam UU dilakukan jika untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri,’ ungkapnya.

Menurutnya, jika impor ternak — terutama indukan sapi — dari zone-based yang tidak bebas penyakit, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah di kemudian hari, misalnya ternak sapi kita terjangkit penyakit. “Kita tahu pengawasan dalam pemasukan produk impor masih sangat lemah,” ungkapnya.

Pemerintah semestinya memperketat aturan pemasukan sapi indukan atau impor produk ternak lainnya ke wilayah Indonesia, bukan melonggarkan aturan yang sudah ada. Dengan diperbolehkannya impor dari zone-based, maka Indonesia tidak ada pengamanan lagi.

“Mestinya pemerintah membuat aturan yang ketat terhadap pemasukan ternak hidup ke Indonesia. Biarkan negara eksportir yang harus menyesuaikan dengan aturan kita. Bukan kita yang membuka peluang buat negara eksportir,” tegasnya.

Ditanya dampak dari dibukanya zone-based terhadap harga sapi indukan dari negara eksportir, Teguh mengatakan sampai sekarang ini tidak ada pengaruhnya. ”Bagi saya tidak ada kaitanya dengan harga sapi dari negara eksportir. Saat ini bagaimana supaya Indonesia ada pengaman terhadap sapi impor, yang berasal dari negara yang belum bebas,” katanya. Jamalzen