Bukti Pasok Lokal Kurang

Kebijakan pemerintah soal tataniaga daging impor terus berubah-ubah. Beleid terbaru, setelah menutup impor daging sapi potongan sekunder (secondary cut), larangan tersebut mendadak kembali dibuka. Sikap ini dinilai importir daging sebagai bukti bahwa pemerintah memang tidak siap menutup kran impor daging jenis ini karena lokal sebenarnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Awalnya pemerintah yakin lokal mampu pasok kebutuhan nasional, sehingga impor daging sapi secondary cut (potongan sekunder) dan jeroan dihentikan. Namun, entah kenapa, kebijakan itu berubah lagi. Impor diperbolehkan dalam situasi tertentu. Ini artinya pemerintah sendiri sudah tidak yakin akan pasok lokal,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring kepada Agro Indonesia di Jakarta, pekan lalu.

Seperti diketahui, Kementerian Pertanian (Kementan) mengesahkan Peraturan Menteri Pertanian No. 139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang pemasukan karkas, daging dan/atau olahannya ke dalam wilayah Indonesia — yang diteken Mentan Amran Sulaiman pada 23 Desember 2014.

Dalam Permentan tersebut, impor daging sapi untuk pertama kalinya hanya membolehkan daging sapi jenis potongan primer (prime cut) dan mengeluarkan daging sapi jenis potongan sekunder. Dengan kata lain, daging sapi yang diimpor jenisnya adalah daging has (sirloin dan tenderloin) maupun daging steak — yang semuanya adalah daging kualitas mahal.

Sementara daging potongan sekunder seperti daging paha, sengkel, sandung lamur, daging kelapa dan lain-lain tidak masuk dalam daftar daging yang bisa diimpor seperti yang sudah terjadi selama ini. Bersama dengan jeroan, daging ini mulai Januari 2015 dilarang karena peternak lokal dianggap mampu memenuhi permintaan daging sapi jenis tersebut.

Diubah

Namun, baru satu bulan umur Permentan tersebut, Mentan Amran mendadak melansir Permentan No. 02/Permentan/PD.410/1/2015 tanggal 22 Januari 2015 tentang perubahan atas Permentan 139/2014. Permentan ini hanya berisi Pasal I dan Pasal II, yang di dalamnya mengubah pasal 23, 32 dan 33 dalam Permentan 139/2014.

Meski hanya tiga pasal yang diubah, yakni ditambah, namun perubahan tersebut menunjukan inkonsistensi yang mencerminkan ketidaksiapan dan ketidakyakinan pemerintah terkait pasok daging dari peternakan dalam negeri. Dalam Permentan 02/2015, pasal 23 — yang terkait dengan tatacara pemasukan daging (impor) — ditambah dari tiga ayat menjadi lima ayat. Perubahan paling drastis dimulai dari ayat 3, yakni BUMN boleh meminta izin impor dalam rangka menjaga ketahanan pangan dan stabilitas harga sesuai penugasan dari Menteri BUMN.

Yang jadi soal, sesuai dengan kebijakan impor daging yang hanya membolehkan daging jenis prime cut, pasal ini jelas bisa tidak “operasional”. Siapa yang mau menjual daging premium untuk operasi pasar, misalnya. Nah, masalah ini yang diatasi dalam Permentan 02/2015. Bunyi ayat 3 pasal 23 pun menjadi “dahsyat”.

“Dalam hal untuk memenuhi ketersediaan pangan, gejolak harga, mengantisipasi terjadinya inflasi dan/atau bencana alam, BUMN dapat ditugasi Menteri BUMN untuk memasukan karkas dan/atau daging potongan sekunder (secondary cut).”

Ayat 3 ini otomatis menggelamkan keyakinan pemerintah sendiri akan kemampuan pasok daging lokal serta menjadikan BUMN memonopoli impor daging potongan sekunder yang selama ini terbuka untuk importir swasta.

Apalagi, jika mau diteliti, beleid ini juga terkesan ‘abu-abu’ dan berpotensi bocor besar. Harap maklum, nomor HS (harmonized system) atau pos tarif daging potongan primer dengan potongan sekunder sama saja. Contohnya pos tarif 0202.30.00.00 untuk daging tanpa tulang (boneless). Ternyata nomor HS ini sama saja untuk kategori daging potongan primer maupun sekunder jika melihat lampiran Permentan.

Kecaman

Yang jelas, beleid ini dikecam Thomas dan bakal menjadikan masyarakat (konsumen) makin susah mendapatkan daging murah. “Kebijakan itu sepertinya tidak berpihak kepada konsumen. Saya yakin dalam waktu yang tidak terlalu lama, harga daging sekunder akan melambung tinggi karena pasokan tidak ada. Ini kesalahan pemerintah,” tegasnya.

Aspidi juga mempertanyakan data konsumsi daging nasional tahun 2015 yang hanya 454.000 ton. Data kebutuhan daging ini sama dengan kebutuhan daging nasional 20 tahun lalu. “Tahun 90-an kebutuhan daging nasional tercatat 451.000 ton, sekarang kebutuhan daging  hanya 454.000 ton. Jadi, dalam waktu 20 tahun, konsumsi daging hanya naik 3.000 ton,” sergahnya.

Thomas menilai, data kebutuhan daging sebanyak 454.000 ton tahun ini jelas tidak benar dan merupakan pembohongan publik. Menurutnya, Asosiasi Pengusaha Fedloter Indonesia (Apfindo) bersama dengan Universitas Gadja Mada (UGM) telah menghitung kebutuhan daging nasional tahun ini sebanyak 650.000 ton. Hal ini hampir sama dengan hitungan kebutuhan daging nasional yang dilakukan Kementerian Perdagangan dan Universitas Indonesia (UI) yang juga mencatat sekitar 650.000-an ton.

Di sisi lain, lanjut Thomas, data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat pertumbuhan produksi daging tahun 2016-2019 rata-rata 40.000 ton/tahun. ”Ini memberikan kesan seakan-akan Indonesia bisa mencapai swasembada daging. Padahal, Suswono selaku Menteri Pertanian 2009-2014 mengakui bahwa swasembada daging gagal,” katanya.

Thomas mengatakan, pemerintah sekarang harusnya  belajar dari kegagalan swasembada daging pemerintahan sebelumnya. Jangan memaksakan diri jika memang peternak lokal belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Pemerintah, terutama Ditjen Peternakan, selalu mengatakan peternak lokal mampu memenuhi kebutuhan nasional. Tapi pernyataan itu tidak pernah terbukti. Artinya, produksi dalam negeri tidak tersedia cukup,” katanya.

Dia juga menilai, penugasan BUMN mengimpor secondary cut dalam keadaan tertentu dinilai tidak fair. “Sekarang kenapa hanya BUMN yang diberi tugas, apa importir tidak boleh berperan dalam program ketahanan pangan?” tegasnya.

Ketua Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI), Suharjito mempertanyakan kenapa hanya BUMN yang diberikan tugas untuk melakukan impor secondary cut. Padahal, BUMN belum tentu mempunyai jaring pasar yang baik.

“Buktinya, ketika dulu pemerintah menugaskan Bulog impor daging, Bulog tidak bisa menjualnya. Akhirnya, daging yang diimpor Bulog dijual juga kepada importir. Sekarang pemerintah mengulangi lagi kebijakan yang salah,” katanya.

Disinggung mengenai penugasan BUMN karena pihak importir selama ini terubukti tidak mampu menurunkan harga daging dipasar, Suharjito mengatakan, soal harga daging sangat tergantung dengan harga dari negara asal. Di samping itu juga dipengaruhi nilai tukar dolar. “Tidak bisa diukur dengan harga daging di pasar dong. Sebab harga daging impor mahal tergantung dengan nilai tukar rupiah. Dolarnya saja mahal, ya jelas saja harga daging juga mahal,” tegasnya.

Menurut Suhardjito, kebijakan penutupan impor secondary cut akan berdampak pada harga daging di pasar. “Harga daging akan terus mengalami kenaikan karena pasokan memang tidak ada. Pasokan lokal dinilai juga belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri,” tegasnya.

Menurut dia, lahirnya Permentan 02/2015 menunjukkan ketidakyakinan pemerintah bahwa peternak lokal mampu memasok kebutuhan daging nasional. Penutupan impor daging potongan sekunder dibuka kembali dalam kondisi tertentu dengan BUMN sebagai pemain tunggal. Jamalzen

Kadin: Pemerintah Tidak Fair

Keputusan pemerintah mengizinkan impor daging sapi kategori potongan sekunder hanya kepada perusahaan plat merah dinilai Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia tidak adil. “Kenapa hanya BUMN yang diberi tugas? Importir daging harusnya juga beri kesempatan yang sama karena mereka juga sama-sama bayar pajak. Kenapa pemerintah memberikan perlakukan berbeda?” tegas Wakil Ketua Umum Kadin bidang Industri Pengolahan Makan dan Peternakan, Juan Permata Adoe.

Menurut dia, selama ini yang diminta mengimpor daging adalah para importir, sementara BUMN tidak pernah. Lalu, sekarang BUMN yang ditugaskan. “Ya, bisa saja menjadi monopoli. Kasihan dengan importir lain yang hanya mengimpor prime cut yang pasarnya sangat terbatas di dalam negeri,” katanya.

Ditanya kenapa hanya BUMN yang ditugasi, Juan mengatakan, BUMN yang dimaksudkan itu adalah PT Berdikari. Salah satu komisaris PT Berdikari ini adalah Syukur Iwantoro, yang tidak lain adalah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan. “Itu namanya pemerintah tidak fair. Semestinya semua pelaku usaha daging diberi kesempatan yang sama, karena mereka juga membayar pajak,” tegasnya.

Soal kebutuhan daging, Juan mengatakan sampai sekarang  kebutuhan daging di Indonesia tidak terukur. Data kebutuhan daging nasional saat ini tidak ada yang valid, sehingga berpengaruh terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah.

“Pemerintah harus memberikan perlakukan yang sama antara BUMN dengan swasta lainnya. Jangan dibedakan karena tujuannya sama-sama untuk ketahanan pangan,” tegasnya.

Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya Sarman Simanjorang juga mendesak pemerintah segera mengevaluasi beleid itu karena dinilai tidak memberikan kepastian dunia usaha. Pasalnya, dia memperkirakan 60% kebutuhan daging nasional merupakan jenis daging secondary cut atau daging jenis rendang, sehingga keberlanjutan pasokan sangat penting untuk membuat harga stabil.

Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mendorong adanya gejolak harga di pasar daging mengingat ketersediaan pasokan daging dari luar Pulau Jawa diragukan dapat memenuhi kebutuhan daging nasional akibat polemik pengangkutan sapi selama ini.

Dampaknya, pada saat memasuki hari raya Idul Fitri, harga daging sapi dapat naik ke level Rp150.000/kg akibat kurangnya stok. “Saat ini saja sudah capai Rp100.000/kg. Jadi, kebijakan ini artinya membuat dunia usaha tidak kondusif,” katanya. Jamalzen