Busmetik Cocok Untuk Wong Cilik

Keseriusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembalikan cerita manis jayanya udang nasional terbukti mampu menarik antusiasme pembudidaya. Revitalisasi tambak udang lewat percontohan usaha budidaya udang di lahan kelompok pembudidaya atau beken dengan istilah demonstration farm (demfarm) pun menggema ke seluruh pesisir di Tanah Air.

Belakangan, demfarm yang pertama kali dilakukan di 5 kabupaten di provinsi Banten dan Jawa Barat yakni Serang, Karawang, Subang, Cirebon dan Indramayu, total seluas 1.000 hektare ini pun kedodoran akibat dugaan penggelapan pengadaan genset.

Sementara, teknologi Budidaya Udang Skala Mini Empang Plastik (Busmetik) yang menyederhanakan budidaya udang, terjangkau masyarakat kecil, ramah lingkungan dan menguntungkan ini belum “bersinar”.

Padahal, rekayasa inovatif yang diciptakan oleh Tubagus Haeru Rahayu ini sanggup mengubah yang rumit dan berskala besar menjadi empang dari plastik dengan ukuran tidak lebih dari 600m2.

Tubagus Haeru Rahayu mengaku sosialisasi Busmetik masih kurang. Sehingga, pemahaman publik terhadap teknologi ini keliru. “Busmetik susah diaplikasikan, keliru. Ini karena proses sosialisasinya kurang. Busmetik justru menyederhanakan budidaya udang, terjangkau masyarakat kecil dan ramah lingkungan,” ujar pria kelahiran Serang, 19 Juni 1971.

Menak Banten yang kini menjabat Asisten Deputi Pendidikan dan Pelatihan Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman ini menjelaskan, teknologi Busmetik bisa diterapkan dimana saja. Entah itu di lahan berpasir atau di lahan berukuran kecil. Ini berkat penggunaan media plastik jenis HDPE setebal 0,5 mm.

“Sehingga, para pembudidaya mudah mengontrolnya dan biaya investasinya tidak terlalu besar, sekitar Rp500 juta per modul,” kata penerima Satyalencana Pembangunan dari Presiden RI (2014) dan pegawai berprestasi dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (2013) ini.

Menurut Haeru, Busmetik tidak perlu menebang pohon mangrove seperti tambak-tambak udang konvensional. Busmetik bisa berdampingan dengan berbagai biota laut yang  ada di sekitarnya.  Lagi pula, pembuangan air limbah pasca panen tidak langsung dibuang ke laut. Tapi dialirkan dulu ke sela-sela pohon mangrove. Alhasil, mangrove pun jadi subur.

Untuk mengetahui seputar teknologi Busmetik, berikut penuturan Doktor di bidang Biologi lulusan Universitas Indonesia, Master Akuakultur jebolan Ghent University, Belgia dan Sarjana Akuakultur tamatan Sekolah Tinggi Perikanan ini beberapa waktu yang lalu di Jakarta.

Kabarnya, produktivitas Busmetik benar-benar sip ya?

Pengalaman di lapangan selama 3 tahun menunjukkan hasil yang sesuai dengan estimasi teknis yang ditentukan sebelumnya. Teknologi Busmetik dicoba dengan kepadatan tanam yang berbeda. Mulai dari kepadatan sekitar 100 ekor/m2 hingga diatas 250 ekor/m2.

Sejauh ini produktivitas yang sudah dihasilkan dari kepadatan 250 ekor/m2 adalah 1,4 kg/m2 atau setara dengan 14 ton/ha hingga 3,4 kg/m2 atau 34 ton/ha.

Teknologi Busmetik sebaiknya diterapkan untuk budidaya udang vaname (Litopeneus vannamei). Karena udang vaname bisa ditebar dengan kepadatan tinggi,  >100 ekor/m3, lebih tahan penyakit dan segmen pasarnya lebih fleksibel, size 150 sudah laku dijual.

Penambahan lahan untuk tambak udang dituding merusak ekosistem mangrove dan merugikan masyarakat pesisir. Sebaliknya, Busmetik disebut-sebut teknologi yang ramah lingkungan. Seperti apa sih inovasinya?

Busmetik tetap mempertahankan pohon mangrove di sekitar tambak. Tujuannya, supaya hama penganggu seperti ketam atau kodok tidak masuk ke lahan budidaya. Hama sudah menempatkan dirinya di habitatnya. Sistem budidayanya tertutup dan tetap mempertahankan aspek lingkungan dengan ukuran wadah yang kecil, >1.000 m2, penggunaan air bisa diminimalisir.

Selain itu pembuangan limbah pasca panen tidak langsung dibuang ke laut. Sebelum ke laut, air limbah dialirkan dahulu di sela-sela pohon mangrove. Dampak dari sistem ini mangrovenya menjadi subur.  Masyarakat pun tidak complain. Pemerhati lingkungan juga tidak keberatan dengan inovasi budidaya udang Busmetik.

Bagi kami, kegiatan budidaya udang ini juga kita sinergikan dengan beberapa kegiatan lain sesuai dengan pendekatan blue economy, yaitu pemanfaatan limbah budidaya untuk pertumbuhan vegetasi mangrove dan bandeng.

Busmetik sudah diadopsi di mana saja?

Tahun 2015, Pemda (Pemerintah Daerah) Kalimantan Utara, Pemda Kabupaten Serang, Pemda Pacitan sudah mengadopsi teknologi Busmetik. Termasuk perusahaan swasta di Cilacap, Lampung dan Nusa Tenggara Barat.

Tahun 2014, teknologi Busmetik dijadikan bahan rujukan oleh Pemda Banten melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten Banten. Busmetik dalam bentuk demplot dijadikan media pembelajaran bagi stakeholder perikanan budidaya di wilayah setempat.

Sejak tahun 2010, teknologi Busmetik sudah didesiminasikan kepada peserta didik Sekolah Tinggi Perikanan dan tahun 2012, direplika di beberapa daerah antara lain Ladong (Aceh), Bone (Sulawesi Selatan) dan Lampung.

Apa di lapangan Busmetik sudah berjalan sesuai dengan harapan? 

Implementasi teknologi Busmetik di lapangan memang tidak selalu mulus. Kendalanya, bukan substansi teknisnya, tapi kebanyakan faktor sumberdaya manusianya. Kegagalan biasanya disebabkan karena kurang konsisten dan disiplinnya para pembudidaya dalam menerapkan standard operational procedure dari teknologi Busmetik itu sendiri.

Selain itu urusan plastik  HDPE yang harganya relatif mahal. Plastik yang bisa digunakan hingga 10 tahun lamanya ini per meternya sekitar Rp20.000.  Jika 1 petak Busmetik seluas 600 meter persegi, kepadatan tebar 100-300 ekor per meter persegi yang menghasilkan 2 ton seharga Rp120 juta, biaya plastik Rp50 juta, masih nutup lah. Fenny YL Budiman