Aksi mogok pedagang daging sapi di Jakarta dan Bandung mencerminkan buruknya kebijakan peternakan di negeri ini. Bahkan, Presiden Joko Widodo harus menelan pil pahit, Indonesia tetap harus impor sapi ratusan ribu ekor tiap tahun agar bisa mengkonsumsi daging! Bagaimana tanggung jawab Kementerian Pertanian?
Gagalnya proyek swasembada daging sapi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ternyata tidak jadi pelajaran berharga buat pemerintah. Jangankan merasa bersalah atau mengaku tanggung jawab, yang ada menteri pertanian saat itu, Suswono, cuma bilang salah hitung.
Ini yang membuat kecewa Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring. Padahal, untuk mencapai target swasembada, uang rakyat yang dikeluarkan Rp17 triliun. “Tidak ada pertanggungjawaban kecuali Mentan-nya sekadar bilang salah hitung,” ujarnya, pekan lalu.
Kesalahan itu kembali terulang di era kabinet Presiden Jokowi. Harga daging yang tak beranjak turun sejak Lebaran, bahkan nangkring di posisi Rp120.000-Rp140.000/kg, mendorong pedagang daging di pasar tradisional di Jawa Barat dan Jakarta protes tidak jualan empat hari. Buntutnya pahit. Aparat kepolisian menyatroni sejumlah perusahaan penggemukan (feedloter) sapi dan didapati puluhan ribu sapi di kandang plus ribuan sapi siap potong yang “ditimbun”. Aksi ini dinilai meresahkan masyarakat, hingga polisi mengancam dengan pasal menyeramkan: UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sementara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga mengindikasikan terjadinya praktik kartel. “Dari bukti-bukti yang dikumpulkan, sudah lima feedloter terindikasi melakukan kegiatan kartel,” kata Komisioner KPPU, Munrokhim Misanam, Jumat (14/8/2015). Dari penyelidikan KPPU, diketahui ada penahanan pasok hingga peredaran daging di pasar berkurang.
Terlepas dari kasus hukum, kisruh ini sebetulnya cermin dari buruknya data. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter Indonesia (Apfindo), Joni Liano, impor sapi bakalan selama triwulan I-II 2015 mencapai 400.000 ekor. Sementara data Kementerian Perdagangan, selama enam bulan itu, izin impor sapi bakalan yang dikeluarkan mencapai 350.000 ekor dan realisasi per Maret baru 98.861 ekor. Sayangnya, data pembanding dari Karantina Pertanian tidak tersedia.
Dengan data yang tidak sinkron, jangan heran jika kebijakan peternakan dalam negeri selalu bermasalah. Apalagi, pemerintah selalu mengandalkan data populasi sapi potong sebesar 12,3 juta ekor, tanpa mau menyadari peternak rakyat hanya memelihara 1-2 ekor dan lokasinya menyebar. Ketika kuota impor dipangkas, baru terlihat pasok sapi lokal sulit didapat. Bingung? Tidak. Tinggal tuding kartel dan penimbunan, seraya buka kran impor lebar-lebar buat pemain baru berbaju BUMN: Bulog. AI