Cantrang Bukan Penyebab Degradasi Perairan

Pengamat Perikanan Tangkap IPB, Dr. Nimmi Zulbainarni, S.Pi, M.Si

Belakangan ini, sosok Dr. Nimmi Zulbainarni, S.Pi, M.Si semakin mencuat seiring makin panasnya isu tentang kebijakan pelarangan alat tangkap cantrang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Staf  pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menolak anggapan pihak yang menudingnya mencari popularitas.

Kajian cantrangnya bersama rekan-rekan yang dilakukan pada pertengahan 2016 ini  murni menjawab masalah pelarangan cantrang di 5 kabupaten yakni Brebes, Tegal, Batang, Pati dan Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

“Harapannya, dapat mendukung pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi melainkan juga tetap menjaga kelestarian sumberdaya perikanan itu sendiri. Sehingga tercapai pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan nelayan,” ujar Nimmi kelahiran Kuok (Bangkinang), 25 Juni 1974.

Nimmi punya catatan penting dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP)  Nomor   2/MEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia (NRI). Beleid yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP)  Nomor  71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP NRI.

Nimmi mencatat dampak ekonomi (kehilangan pendapatan) bagi pelaku usaha yang terkena pelarangan cantrang di Kabupaten Brebes, Tegal, Batang, Pati dan Rembang total mencapai Rp1,90 triliun. Sebanyak 78,33% diantaranya nelayan cantrang.

Sedangkan dampak sosial (kehilangan pekerjaan) pelaku usaha yang terkena pelarangan cantrang sebesar Rp1,5 triliun. Sebanyak 66.621 tenaga kerja merasakan pahitnya kebijakan KKP. Sebagian besar 80,11% nelayan cantrang.

Dengan demikian dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh pelaku usaha di 5 wilayah kajian sebesar Rp3,4 triliun.

Nimmi yang juga Sekretaris Jenderal Masyarakat Perikanan Nusantara berharap nilai tersebut menjadi pertimbangan pemerintah jika benar-benar  menghapus alat tangkap cantrang di perairan Indonesia.

Nimmi pun menyoroti  persoalan mendasar perbedaan cantrang dengan trawl. “Cantrang  dengan trawl berbeda meski pun sekilas bentuknya sama. Operasional alat tangkap ini pun berbeda,” sergahnya.

Nimmi lalu menjelaskan cantrang digunakan untuk menangkap ikan pelagis di permukaan. Sementara, trawl menangkap ikan dasar seperti udang yang dioperasikan dengan cara diseret di dasar perairan.

“Alat tangkap cantrang akan menjadi tidak ramah lingkungan, apabila penggunaan mesh size-nya terlalu kecil. Ini yang perlu diawasi,” kata Nimmi.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang cantrang, berikut penuturan Doktor Ilmu Ekonomi Perikanan ini kepada Agro Indonesia.

 Idealnya seperti apa kebijakan perikanan tangkap di Indonesia? 

Di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan Indonesia memiliki karakteristik perairan yang berbeda dan jenis ikan yang berbeda pula.  Jadi, seyogyanya alat tangkap yang digunakan pun tidak bisa dibuat homogen.

Oleh karena sifat sumberdaya perikanan yang multi spesies, maka seyogyanya kebijakan yang dibuat di Indonesia juga dibuat multi spesies. Akan tetapi hal ini belum terjadi karena kebijakan yang dibuat menggunakan pendekatan spesies tunggal atau ikan dominan yang ditangkap baik dari sisi volume mau pun harga.

Oleh karena itu seolah pencatatan hanya dilakukan pada spesies dominan yang tertangkap dan menganggap  bahwa ikan lainnya dibuang karena dianggap hasil tangkap sampingan. Kenyataan di lapangan, ikan-ikan tangkapan sampingan ini lah yang dijual umumnya sebagai bahan baku industri perikanan. Ikan tersebut dijual dalam keranjang dengan jenis ikan yang beragam. Saya tidak suka pakai kata-kata sampingan karena seolah tidak bermanfaat.

Untuk membuat aturan penggunaan alat tangkap yang up to date perlu kajian yang dapat dikerjasamakan oleh pemerintah dengan akademisi.

Bermodalkan anggapan cantrang merusak lingkungan, KKP melarang alat tangkap ini. Apa benar?

Cantrang yang sesungguhnya bukan diseret di dasar perairan, tapi ditarik di kolom air atau di pertengahan laut. Alat tangkap  pukat hela atau tarik tidak akan digunakan di dasar perairan yang berkarang, karena jenis alat tangkap ini digunakan di dasar perairan yang berlumpur atau berpasir untuk pukat hela.

Cantrang bisa ramah lingkungan jika mengikuti peraturan yang ada. Ukuran mata jaring diatur, wilayah penangkapannya diatur dan jumlahnya juga dikendalikan. Jika dikaitkan dengan isu tidak ramah lingkungan, maka alat tangkap ini lebih kepada pelanggaran dalam operasional penangkapannya.

Degradasi sumberdaya tidak hanya akan terjadi bila menggunakan alat tangkap cantrang. Penggunaan alat tangkap lainnya juga akan menimbulkan degradasi sumberdaya bila jumlah yang digunakan tidak dapat dikendalikan atau menggunakan alat tangkap yang sama untuk semua perairan Indonesia.

Jadi kebijakan pelarangan cantrang ini sebenarnya tidak perlu?

Cantrang adalah alat tangkap efektif dan efisien yang digunakan oleh hampir 50% nelayan di Jawa Tengah umumnya dan wilayah kajian khususnya. Alat tangkap ini sudah beroperasi lebih kurang 35 tahun yang lalu di Jawa Tengah. Nelayan Jawa Tengah bisa sejahtera karena menggunakan alat tangkap ini.  Dengan adanya pelarangan cantrang membuat nelayan gundah, karena pelarangan alat tangkap ini tentu saja akan menurunkan kesejahteraan nelayan.

Rekomendasi Anda untuk pemerintah?

Kebijakan pelarangan cantrang bisa dilaksanakan jika manfaat positifnya lebih besar daripada manfaat negatifnya. Berdasarkan hasil penelitian kami, pelarangan cantrang akan menimbulkan manfaat negatif yang lebih besar yang ditunjukkan oleh besarnya nilai dampak baik secara ekonomi mau pun sosial langsung dan tidak langsung seperti kehilangan pendapatan dan pekerjaan.

Kebijakan ini perlu ditinjau kembali. Isu tidak ramah lingkungan terhadap penggunaan cantrang dapat diatasi dengan cara mengendalikan jumlah yang digunakan dan mengawasi operasional penggunaan alat tangkap ini. Misalnya ukuran mesh size bagian kantong sesuai dengan peraturan dan perundangan yang sudah ada selama ini.

Perlu pula mengupdate aturan yang ada selama ini tentang kapal dan alat penangkap ikan di Indonesia. Mengingat, sudah terjadi pemanasan global yang dapat membuat peraturan tersebut tidak layak lagi digunakan.

Sustainable development bukan berarti menghentikan kegiatan ekonomi. Akan tetapi bagaimana kegiatan ekonomi yang dilakukan menghasilkan keuntungan maksimum dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya. Sehingga, anak cucu kita pada masa mendatang dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan yang kita manfaatkan saat ini. Oleh karena itu pengelolaan perikanan tangkap direkomendasikan untuk menggunakan pendekatan bioekonomi.

Fenny YL Budiman