Tugas berat diemban Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait program ‘bagi-bagi lahan’ yang kini dijalankan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Maklum, ada jutaan hektare hutan yang terkait program itu. Pertama ada 4,1 juta hektare tanah objek reforma agraria (TORA) yang asalnya dari kawasan hutan dan 12,7 juta hektare areal perhutanan sosial.
Inilah program redistribusi aset dan perluasan akses masyarakat terhadap lahan yang tujuannya adalah pengentasan kemiskinan terutama bagi masyarakat di dalam maupun di luar hutan. Jika program tersebut berhasil, maka pada gilirannya hutan akan terjaga, lingkungan tetap lestari, termasuk soal kebakaran hutan dan lahan dapat teratasi.
Peran penyuluh kehutanan pun akan diuji. Sebagai jembatan program-program pemerintah kepada masyarakat, penyuluh kehutanan bisa menjadi garda terdepan untuk mendukung keberhasilan program tersebut. “Jadi cukup berat, tugas dan peran penyuluh kehutanan, kini dan kedepannya,” jelas Kepala Pusat (Kapus) Penyuluhan Kehutanan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) KLHK, Siti Aini Hanum.
Untuk merealisasikan program dan kebijakan pemerintah pusat dalam menyukseskan perhutanan sosial tersebut, maka penyuluh kehutanan bakal digenjot kinerjanya. Setiap penyuluh tidak lagi cukup penguasaan materi seperti sosialisasi kebijakan atau program pemerintah pusat termasuk perhutanan sosial dan sektor lain-lainnya. Tetapi juga harus dilengkapi dengan penguasaan TI (teknologi informasi) yang selanjutnya harus ditularkan kepada kelompok tani hutan (KTH) yang dibinanya.
Tantang lain yang mesti dihadapi adalah jumlah penyuluh kehutanan yang terbatas. Jika dilihat perbandingan, maka jumlah penyuluh kehutanan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) sangat timpang jika dibandingkan dengan tugas dan luas kawasan hutan yang sekitar 130 juta hektare. Hal ini diakui oleh Kapus Penyuluhan. Meski demikian dia menegaskan, hal itu tidak akan menjadi hambatan.
Perlu diketahui, saat ini KLHK hanya memiliki 3.669 penyuluh kehutanan ASN, dan penyuluh swadaya masyarakat 2.702 orang. Guna menyiasati kekurangan jumlah penyuluh kehutanan, belakangan KLHK mewajibkan kepada setiap perusahaan sektor kehutanan agar membentuk penyuluh kehutanan sendiri dan akan memberikan penyuluhan terhadap masyarakat di sekitar wilayah konsesinya.
Diharapkan dengan bertambahnya jumlah penyuluh kehutanan baik yang berasal dari penyuluh ASN, PKSM, dan dari pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan – kini Izin Usaha Pengusahaan Hasil Hutan Kayu – IUPHHK) maka akan mempercepat peningkatan perekonomian di pedesaan.
Tidak cukup itu saja, dari sisi kualitas penyuluh hingga kelompok tani hutan bakal juga ditingkatkan lewat penguasaan TI. “Program itu, tujuannya untuk mempercepat proses terwujudnya pemberdayakan masyarakat pedesaan atau masyarakat di dalam maupun di luar kawasan hutan lewat perhutanan sosial,” ujar Siti Aini.
Kemampuan TI yang dimiliki penyuluh diharapkan bisa memecahkan salah satu masalah klasik bagi produk-produk yang dihasilkan masyarakat, yaitu pemasaran.
Ya, bukan rahasia lagi, kendala yang selalu menghantui kalangan usaha kecil menengah (UKM) termasuk petani setelah proses produksi berhasil, kendala yang dihadapi adalah pemasaran produk. Kuncinya, jika setiap penyuluh kehutanan dapat mendorong terhadap kelompok tani seperti di dalam dari koperasi atau kelompok dari hutan kemasyarakatan (Hkm), Hutan Desa (HD), Hutan Rakyat (HTR), Hutan Adat atau kemitraan menguasai TI maka diharapkan pemasaran produk mereka dapat teratasi.
Dengan menggunakan akses teknologi informasi, Siti Aini meyakini, kendala yang dihadapi kalangan UKM dan petani dalam menjual produknya akan lebih gampang diatasi. Dengan penguasaan TI akan mendekatkan penjual dan pembeli tanpa batas lagi apakah itu antar pulau, maupun negara.
Disosialisasikan
Bak gayung bersambut, ternyata program pemerintah pusat tersebut direspons positif. Nurhayadi SP, seorang Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini sudah mendengar rencana itu. Penyuluh ASN yang dihubungi menjelaskan, pihaknya kini mulai menyosialisasikan kepada kelompok tani hutan yang menjadi binaannya.
Ia menyebutkan salah satu KTH Margo Mulyo, di Lumajang, bahkan mulai Mei 2017 ini sudah mendapat pendampingan dari Universitan Lumajang. Tujuan pendampingan tersebut antara lain termasuk penguasaan teknologi informasi.
Tentunya ibarat menyelam sambil minum air. Sebab, dengan adanya pendampingan dari universitas akan banyak mendapat manfaat yang akan diperolehnya. Sebut saja, dalam soal menjual produk, UKM dan petani tersebut juga mendapat pembelajaran dalam mendesain bungkus produk yang akan dijualnya. Dari situ, katanya otomatis juga akan diajarkan memproduksi makanan yang akan djual dengan standar mutu yang baik pula. Sehingga di samping bungkusnya ‘menjual’, barang yang dijual pun mutunya bias diandalkan.
Kelompok tani Margo Mulyo juga akan mendapat bimbingan legalitas hukum termasuk dalam memasarkan produknya lewat internet.
Nurhayadi optimis dengan pendampingan dari kalangan akademisi, persoalan pemasaran dari kelompok tani hutan di Lumajang khususnya akan cepat teratasi. Jika semua itu berhasil, dirinya yakin pengentasan kemiskinan di pedesaan akan lebih cepat diwujkudkan.
Bahkan pihaknya dalam mereformasi KTH yang dibinanya, belakangan ini sudah menganjurkan jabatan KTH harus melek internet. “Kami sudah melakukan reformasi kepada setiap KTH, untuk jabatan sekretaris, syaratnya mereka harus menguasai IT,” ujarnya. AI
Internet Jadi Impian Kelompok Tani Hutan
Ketua KTH Mutiara Hijau I dari Desa Purworejo, Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Samsudin mengaku berharap program pusat tersebut dapat segera direalisasikan di daerahnya. Pasalnya banyak sekali potensi yang berada di daerahnya yang bisa dijual secara luas.
KTH Mutiara Hijau I yang menjadi Juara I tingkat nasional maupun tingkat Provinsi Lampung, kata Samsudin, anggota kelompoknya selama ini merupakan petani nelayan. Namun bisnis lain yang digarapnya adalah menjual bibit mangrove. Dan bersyukur, akibat penanaman mangrove yang bibir laut di wilayahnya kini menjadi sarang ikan sehingga nelayan dengan mudah untuk menangkap ikan di bawah tekanan pohon pelindung tersebut.
Samsudin bermimpi jika program KLHK yang ingin memberikan bantuan berupa akses internet, kelompoknya akan mengembangkan obyek ekowisata. “Kami punya lahan yang cukup untuk dikembangkan menjadi ekowisata. Hanya saja kini usaha itu belum menghasilkan karena belum banyak dikenal kalangan masyarakat secara umum. Lewat internet ekowisata di daerahnya akan berkembang dan juga bisnis menjual bibit mangrove bias dijual di darah lain lewat internet.”
Berbeda dengan Ketua Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) dari Ketapang, Kalbar, Raden Abdillah. Sebagai ketua PKSM, di wilayah yang belum ada akses jaringan telepon, maka dirinya belum bisa berharap dapat segera mensosialisasikan program itu.
“Saya terkadang juga iri dengan teman-teman di Jawa karena mudahnya mendapat akses telepon. Berbeda dengan Ketapang di daerahnya untuk memproleh sinyal HP saja terkadang masih sulit diperolehnya,” ujarnya sambil menambahkan dirinya tetap optimis, dengan program memanfatkan teknologi canggih tersebut dapat mengatasi mampetnya menjual produk dari KTH.
Raden Abdillah juga berharap kepada pemerintah pusat di samping ingin membuka akses ke dunia maya guna menembus pemasaran produk UKM dan petani di pedesaan juga membantu proses berproduksi.
Raden yang suka rela membantu kelompok tani hutan, berharap pemerintah pusat dapat memberikan alat penyulingan gaharu di daerahnya. Sebab, jika selama ini mengandalkan harus membawa ke Surabaya, maka biaya angkutnya lebih mahal sementara nilai jual gaharunya pada tingkat petani jauh berbeda harganya.
Bantuan proses produksi, kata Raden, juga penting dalam persaingan global. Sebab, jika kita sudah mau membuka akses ke dunia luar, maka otomatis produk yang kita jual juga harus bisa bersaing. “Ini saya pikir juga penting untuk dibantu oleh pemerintah pusat. Sebelum kita berhadapan dengan pesaing yang lebih berat lagi.” AI