Harga referensi (patokan) daging sapi yang selama ini ditetapkan pemerintah sebesar Rp76.000 /kg dan dijadikan dasar bagi pemerintah untuk membuka dan menutup kran impor daging sapi, dinilai sudah tidak layak lagi diterapkan. Untuk itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan merevisi besaran harga referensi itu.
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengatakan, usai Lebaran 2014, harga referensi daging sapi itu akan direvisi menjadi Rp85.000/kg untuk produk sapi bakalan dan sapi siap potong dan produk hewan berupa daging sapi beku.
“Saya sudah memberikan warning kepada Menko Perekonomian dan Menteri Pertanian agar menetapkan harga patokan yang baru,” ujar M. Lutfi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut Lutfi, harga patokan daging sapi memang sudah semestinya mengalami revisi. Alasannya, penentuan harga patokan sebesar Rp76.000/kg menggunakan acuan nilai dolar saat itu (2013) sebesar Rp9.000/dolar AS. Sementara saat ini nilai dolar sudah bergerak lebih dari Rp12.000/dolar. “Kalau harga referensi sekarang itu kan Rp76.000/kg pada waktu itu dolar masih Rp9.000/kg,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mematok harga daging sapi sebesar Rp76.000/kg melalui Permendag Nomor 46/M-DAG/KEP/8/2013 Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan serta Produk Hewan.
Melalui Permendag itu, impor sapi tidak ada lagi pembatasan dan pemerintah menggunakan mekanisme harga patokan daging di tingkat eceran sebesar Rp76.000/kg. Jika harga daging di tingkat eceran berada di atas level Rp76.000/kg, maka kran impor akan tetap dibuka. Kran impor sapi dan daging sapi akan ditutup jika harga di tingkat eceran menyentuh level Rp76.000/kg atau di bawahnya.
Dalam ketentuan tersebut, juga disebutkan adanya kewajiban untuk melakukan realisasi impor hewan dan produk hewan seperti sapi dan daging sapi paling sedikit 80 % dari akumulasi persetujuan impor selama satu tahun.
Penentuan harga referensi sebesar Rp76.000/kg tersebut telah disepakati saat melakukan rapat dengan Menteri Koordinator Perekonomian yang mengambil pertimbangan dari harga daging sapi rata-rata pada tahun 2012 lalu. Ketentuan tersebut juga mencakup sistem periodisasi pengajuan permohonan impor sapi dan daging sapi dilakukan per triwulan, di mana masa berlaku Persetujuan Impornya adalah tiga bulan.
Selain itu, dalam peraturan baru tersebut juga menghapus ketentuan antara lain menghapus pelabuhan tujuan impor daging prime cuts, yakni Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta, Bandar Udara Ngurah Rai Bali, dan Bandar Udara Polonia Medan.
Dalam Permendag yang berlaku pada 2 September 2013 tersebut dihapuskan juga mekanisme verifikasi atau penelusuran teknis di negara asal muat barang untuk impor.
Masuk akal
Terkait dengan keinginan mengubah harga patokan daging sapi menjadi Rp85.000/kg Mendag M Lutfi menegaskan besaran harga patokan tersebut cukup masuk akal dan menguntungkan semua pihak, baik bagi peternak serta tidak memberatkan konsumen.
Dia menambahkan, bila harga daging sapi turun hingga Rp70.000/kg, maka tidak banyak perusahaan yang ingin berinvestasi. Begitu juga dengan peternak lokal, mereka akan enggan untuk beternak sapi.
Dengan harga referensi yang dinaikkan 13% itu, diharapkan investasi di bidang peternakan sapi akan semakin meningkat dan importasi sapi bisa ditekan semaksimal mungkin di tahun-tahun mendatang.
“Kalau tidak ada kebijakan dan kerjasama yang baik dengan Kementerian Pertanian, tidak akan ada yang mau beternak sapi. Semua akan impor,” tuturnya.
Mendag juga mengungkapkan bahwa harga daging sapi terus mengalami pergerakan. Dari data BPS, sekarang rata-rata harga daging Rp97.000/kg kemudian bergerak turun ke Rp90.000/kg.
“Saya berkeinginan harga daging sapi di angka Rp85.000/kg dan kita jaga. Kenapa kita jaga? Saya takut turun dari Rp85.000/kg. Dengan angka itu ada insentif buat peternak sapi kita dan investasi lagi,” ucapnya.
Stok mencukupi
Sementara itu Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Bachrul Chairi mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir terhadap munculnya gejolak harga daging sapi menjelang puasa dan lebaran. Pasalnya, stok sapi hidup di dalam negeri saat ini cukup banyak.
Berdasarkan data Kemendag, stok sapi hidup yang ada di kandang para feedloter atau industri penggemukan saat ini mencapai 200.000 ekor. Rinciannya, sapi bakalan mencapai 173.508 ekor, sapi siap potong sebanyak 18.000 ekor, dan sapi lokal 4.133 ekor.
“Suplai sapi hidup akan terus bertambah seiring dengan izin impor baru yang diterbitkan oleh Kemendag untuk kuartal III sebanyak 167.000 ekor,” ujar Bachrul, seraya memperkirakan sapi yang dipotong untuk lebaran 120.000 ekor-150.000 ekor.
Untuk impor sapi hidup di kuartal III mendatang, Kemendag masih memprioritaskan impor sapi bakalan. Hal ini tercermin dari izin impor yang diberikan, persentase impor sapi bakalan mencapai 80% sedangkan sapi siap potong 20%.
Sementara itu, hingga tanggal 20 Juni, realisasi impor sapi bakalan sekitar 156.000 ekor atau 54% dari izin impor yang diberikan di kuartal II. Sedangkan untuk impor sapi indukan tidak ada yang direalisasikan.
Impor sapi betina produktif atau sapi indukan saat ini belum menjadi prioritas Kemendag karena fokus utama yang akan dilakukan Kemendag adalah menekan harga hingga Rp85.000/kg.
Menurut Lutfi, pihaknya saat ini akan lebih mengutamakan importasi sapi bakalan dan sapi siap potong. “Akan didiamkan dulu (impor sapi indukan) sampai harga mencapai Rp85.000/kg,” kata Lutfi,
Momentum
Walaupun stok melimpah, namun harga daging sapi menjelang bulan puasa masih tinggi. Di sejumlah pasar harga daging sapi masih berada pada kisaran Rp100.000/kg.
Terkait masih tingginya harga daging sapi itu, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menduga penyebabnya karena perusahaan penggemukan (feedloter) masih enggan melepas sapi untuk dipotong.
“Semua feedloter menahan karena ingin memperolah harga yang baik. Mereka tidak akan melepas karena momentumnya Lebaran dan puasa ini,” kata Rusman.
Mantan Kepala BPS ini mengatakan, para pengusaha penggemukan mencari momentum terbaik sebelum melepaskan sapi-sapi ke pasar. Dia optimis, setelah pasokan sapi dari feedlotter dilepas, harga sapi dipastikan lebih terjangkau.
“Kalau turun ya bagus paling tidak mempertahankan harga jangan sampai di atas Rp 100.000 seperti tahun lalu semoga tidak terjadi. Kalau kita mendekati harga Rp 100.000/kg itu wajar karena Lebaran tetapi jangan sampai lebih dari Rp 100.000/kg seperti tahun-tahun yang lalu. Mungkin antara Rp 80.000-90.000 bertahan itu sangat bagus,” ujarnya.
Penilaian yang sama juga dilontarkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi. Menurutnya, saat ini importir atau pengusaha peternakan mengatur jadwal pemotongan hewannya. Mereka tidak hanya terfokus pada bulan puasa dan lebaran saja, tetapi juga untuk menyiapkan kebutuhann menjelang hari raya Idul Adha. “Mereka juga menjaga stok untuk hari raya Idul Adha, khususnya hewan sapi jantan dan tidak cacat,” ucapnya.
Bachrul sendiri mengaku Kemendag tidak punya kewenangan untuk menindak para feedloter atau peternak sapi yang melakukan tindakan seperti itu. “Kemendag tidak memiliki kewenangan untuk menindak prilaku konsumen dan produsen,” ujarnya. B Wibowo