Harga daging sapi sepanjang tahun 2014, apalagi menjelang Puasa dan Lebaran masih tetap tinggi. Padahal, pertengahan tahun lalu, pemerintah telah membuka lebar impor daging sapi dengan harapan harga daging dalam negeri bisa ditekan hingga Rp76.000/kg.
“Dari dulu saya tidak terlalu setuju dengan kebijakan impor tersebut. Buktinya, sampai sekarang harga daging sapi masih tinggi. Ini berarti pemerintah telah gagal,” kata kata Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyono di Jakarta, pekan lalu.
Dengan dibukanya impor daging sapi dan sapi bakalan, maka impor daging sapi tahun ini bisa mencapai 120.000 ton dan impor sapi bakalan bisa mencapai 750.000 ton.
Menurut dia, jika impor daging sapi tahun ini mencapai 120.000 ton, berarti sama dengan impor daging sapi tahun 2009. “Pada tahun itu pemerintah menyatakan percepatan swasembada daging dinyatakan gagal,” katanya.
Dua tahun kemudian, yaitu 2011, lanjut Teguh, pemerintah melalui BPS melakukan sensus ternak sapi yang menghasilkan data bahwa populasi sapi dan kerbau mencapai 16,7 juta ekor (lebih tinggi dari blue print sebesar 14,2 juta ekor).
Pada waktu itu, impor sapi bakalan juga mengalami penurunan menjadi 521.000 ekor dan impor daging sapi mencapai 110.000 ton. “Atas dasar ini, pemerintah merasa bahwa swasembada daging sapi telah tercapai,” katanya.
Pemerintah menyatakan, swasembada daging karena salah satu tolok ukurnya, yaitu populasi ternak sapi di akhir tahun 2014 adalah 14,2 juta ekor. “Atas dasar ini pula, kebijakan rasio impor yang semula 53% diturunkan di tahun 2012 menjadi 17,5%. Padahal, infrastruktur dan program pendukung swasembada lainnya tidak berubah,” katanya.
Akibat kebijakan tersebut, terjadi penurunan yang signifikan ketersediaan daging sapi di pasar. Dampaknya, harga daging sapi meningkat tajam dan sulit untuk diturunkan kembali.
Untuk itu, pemerintah, terutama Kementerian Perdagangan, menerbitkan Kepmendag No. 699/2013 tentang Stabilisasi Harga Daging Sapi yang berlaku sampai Desember 2013. Dalam Kepmendag ini disebutkan, yang boleh melakukan impor sapi siap potong adalah industri pemotongan hewan, feedlotter yang terintegrasi dan rumah potong hewan.
“Kenyataannya sekarang, yang melakukan impor sapi siap potong adalah feedlotter yang terintegrasi. Masalahnya, feedloter ini tidak langsung memotong sapi, tetapi menjual sapinya kepada RPH. Ini menyalahi aturan,” tegas Teguh.
Untuk itu, PPSKI minta Menteri Perdagangan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Kepemendag 699/2013 dan menindak impotir sapi siap potong yang melanggar ketentuan. “Kebijakan itu harus dievaluasi karena sudah gagal menurunkan harga,” tegas Teguh, yang tidak menyinggung masa berlaku aturan itu sampai Desember 2013.
Dia mengatakan, Kepmendag 699/2013 sudah gagal menurunkan harga daging. Padahal, Menteri Perdagangan sudah berulangkali menyatakan keyakinannya harga daging sapi akan turun pasca lebaran. Faktanya, pada Oktober lalu harga malah naik.
PPSKI menilai, banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Kepmendag 669/2013. Pertama, Kepmendag tidak teliti karena ada tiga kelompok yang boleh impor, yaitu feedlotter terintegrasi, industri pemotongan hewan dan rumah potong hewan (RPH). Dari tiga kelompok ini hanya feedlotter terintegrasi saja yang melaksanakan impor.
Kedua, ketentuan pendistribusian daging secara langsung tidak dilaksanakan. Realitanya, importir menjual sapi impor ke penjagal. Akibatnya, tujuan pemerintah yang ingin memotong tataniaga daging untuk menekan harga tidak tercapai. Seharusnya, daging dijual kepada pengecer. Melihat harga sapi saat ini, harapan Mendag agar harga daging seperti harga referensi Rp76.000/kg sulit dicapai.
“Jika harga sapi di tingkat peternak Rp38.000kg/berat hidup-Rp39.000 kg/berat hidup, maka sulit daging sapi turun menjadi Rp76.000/kg,” tegasnya.
Salah pemerintah
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring menyatakan, meskipun realiasi pemasukan sapi potong dan daging impor sudah cukup tinggi, tapi harga daging sapi di pasar tetap tidak turun.
“Ya impor daging sapi kan bukan untuk pasar tradisional. Itu salahnya pemerintah. Jika harga daging mau turun, maka seharusnya daging impor diperbolehkan masuk pasar bebas,” katanya.
Tetapi ketika ditanya mahalnya harga daging sapi karena pengusaha feedlot tidak melakukan pemotongan, Thomas tidak berani berkomentar. “Itu Anda yang mengatakan,” katanya.
Menurut dia, impor daging tanpa kuota — yang realiasi impor sampai Juni 2014 mencapai 50.000-an ton — meskipun realiasi impor tinggi harga di pasar tidak terpengaruh. “Seharusnya pemerintah mengoreksi atau mengevaluasi kebijakan ini,” tegasnya.
Data Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, realisasi impor daging sapi sejak Januari sampai 23 Juni 2014 sudah mencapai 51.653 ton. Sedangkan realisasi impor sapi siap potong tercatat sebanyak 54.426 ekor dan sapi bakalan 244.921 ekor. Jadi, total impor sapi sudah mencapai 299.347 ekor.
Thomas Sembiring mengatakan, realisasi impor daging sapi awal tahun ini memang jauh lebih besar ketimbang periode sama tahun lalu karena pembatasan kuota. Namun, tingginya realisasi impor daging tersebut bukan sebagai antisipasi Lebaran. “Dari hasil pertemuan, Kemendag akan menerbitkan izin berikutnya untuk bulan ini hingga September,” katanya.
Dia menilai, harga daging yang masih tinggi hanya terjadi di pasar tradisional akibat importir sapi dan pengusaha sapi lokal belum mau keuntungannya berkurang. Meskipun, harga sapi hidup saat ini sedikit turun dari Rp37.000/kg berat hidup menjadi Rp34.000/kg berat hidup.
Kendalikan harga
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan, pemerintah telah melonggarkan impor sapi dalam rangka menurunkan harga. Namun kenyataannya, harga daging masih tinggi. “Walaupun dibuka bebas, tetapi yang mengendalikan harga para importir sapi juga,” katanya.
Menurut Rusman, harga daging sapi bisa saja jauh lebih rendah dibandingkan harga sekarang jika ada keseriusan dari instansi terkait untuk menekan harga. Apalagi, pemerintah telah memberikan kebebasan impor kepada para importir. “Saya dengar harga dari negara eksportir juga sudah murah, mestinya harga di sini juga tidak mahal,” katanya.
Data Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), seperti dikutip laman duniasapi.com, mencatat telah terjadi penurunan harga selama sebulan terakhir dari harga Rp37.000 kg/berat hidup-Rp38.000kg/berat hidup menjadi Rp34.000 kg/berat hidup. Tetapi harga daging sapi di pasar tradisional masih tetap tinggi, yakni Rp100.000/kg.
“Harga sapi hidup sudah turun kok, tapi harga daging tidak turun. Logikanya di mana? Semestinya harga daging turun, karena sapi hidup sudah turun jadi Rp34.000/kg, sebelumnya Rp37.000/kg-Rp38.000/kg. Penurunan harga di feedloter ini sudah berjalan sebulan,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), Joni Liano.
Menurut dia, faktor penyebabnya adalah adanya pasokan jeroan impor yang membuat jeroan lokal menjadi tidak laku. Biasanya jeroan dijual dengan harga Rp45.000-50.000/kg, karena jeroan impor masuk hanya dijual menjadi Rp24.000/kg, sehingga penjual menaikkan harga daging untuk menutup kerugian. “Jadi, jeroan lokal nggak laku. Akhirnya kerugian pedagang dikompensasikan dengan menaikkan harga daging,” katanya. Jamalzen/E.Y Wijianti
Persediaan Daging Cukup
Kebutuhan komoditas pangan menjelang Ramadhan dan Idul Fitri diprediksi meningkat secara signifikan. Salah satunya adalah permintaan daging sapi di masyarakat yang terus melonjak. Untuk memenuhi permintaan tersebut, pemerintah mendatangkan impor daging dan sapi bakalan akibat stok dalam negeri masih defisit.
Kepala Badan Ketahanan Pangan, Ahmad Suryana mengatakan, secara nasional kondisi ketersediaan pangan tahun 2014 cukup aman dan tersedia, kecuali tiga komoditas, yaitu daging sapi, kedele, dan kacang tanah. Khusus daging sapi, kekurangannya mencapai 29.000 ton. “Untuk kedele, defisit kita sekitar 1,4 juta ton, kacang tanah 165.000 ton, dan daging sapi 29.000 ton,” jelasnya pada Kamis (26/6/2014)
Ahmad mengatakan, untuk menutupi kekurangan daging sapi tersebut, sejak awal pemerintah telah melakukan kebijakan impor daging dan sapi bakalan. Sehingga dia optimis untuk Ramadhan dan lebaran nanti tidak akan ada masalah.
Selain itu, para pelaku usaha juga menjamin ketersediaan pasokan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan puasa dan lebaran tahun 2014. Di antaranya Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) telah menyiapkan 170.000 ekor sapi siap potong, Rumah Potong Hewan (RPH) Dharmajaya menyiapkan 897 ekor sapi serta Bulog. “Dengan stok tersebut, kita yakin daging nggak ada masalah,” jelasnya.
Terkait harga, dia mengatakan minggu ini masih relatif stabil. Meski terjadi kenaikan beberapa komoditas pangan, kenaikan masih dianggap wajar. Kenaikan tersebut bukan disebabkan gangguan distribusi atau spekulasi pedagang, tetapi lebih disebabkan respon pasar terhadap meningkatnya permintaan masyarakat menjelang puasa.
“Pemerintah pusat dan daerah sudah melakukan koordinasi untuk melakukan kesiapan pemenuhan kebutuhan menjelang puasa dan lebaran dengan melibatkan SKPD, POLRI, TNI, dan pihak terkait,” paparnya.
Jika di lapangan ditemukan gejolak harga dan pasokan, pemerintah telah menyiapkan langkah antisipasi antara lain melakukan koordinasi melalui Tim Penanggulangan Inflasi Daerah (TPID), melakukan koordinasi dengan Bulog untuk operasi pasar komoditas beras dan daging sapi, melakukan operasi pasar murah melalui dana APBD, yaitu bantuan subsidi harga untuk komoditas daging sapi Rp45.000/kg sebanyak 1 kg per kepala keluarga. Jamalzen/E.Y Wijianti