Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih menunggu keluarnya revisi Permentan No.49/Permentan/PK.440/10/2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah RI agar pemberian alokasi importasi sapi bakalan bisa diterapkan untuk setahun penuh.
“Kami masih menunggu revisi tersebut. Saat ini sedang dalam proses,” ujar Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Oke Nurwan kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Menurutnya, revisi Permentan itu bukanlah murni usulan Kemendag. Hanya saja dia mengaku Kemendag berkepentingan agar revisi itu dilakukan karena berkaitan dengan izin impor dan stabilitas harga daging sapi di dalam negeri. “Jika tidak direvisi, maka persetujuan impor sapi bakalan hanya dikeluarkan per empat bulan sekali,” katanya.
Padahal, kalangan importir sapi menginginkan alokasi impor sapi bakalan diberikan sekaligus untuk satu tahun. Hal ini diperlukan agar kalangan pelaku usaha dapat melakukan perhitungan biaya dengan baik dan membuat rencana usaha untuk satu tahun penuh.
“Jika itu bisa dilakukan, maka pelaku usaha bisa membuat perhitungan biaya dengan baik,” papar Oke.
Dia juga menyebutkan perlunya perubahan persyaratan bobot sapi bakalan dari bobot maksimal sebanyak 250 kg menjadi 250 hingga 450 kg. Alasannya, dengan makin beratnya bobot, maka makin murah pula harga pembeliannya.
“Jika harga pembelian murah, maka harga penjualannya juga menjadi lebih murah,” ujarnya.
Tindak lanjuti
Sementara itu Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Dody Edward mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti revisi Permentan 49/2016 jika revisi itu dikeluarkan oleh Kementan. “Jika revisi Permentan itu dikeluarkan, ya kita akan menindaklanjutinya,” paparnya kepada Agro Indonesia.
Dody mengakui, hingga akhir pekan lalu pihaknya belum melihat draft dari revisi Permentan 49/2016 tersebut. “Kami masih melakukan kordinasi dengan intansi terkait,” jelasnya.
Sebelumnya, pemerintah telah membuat aturan main bagi feedloter atau tempat penggemukan sapi yang ingin mendapatkan jatah importasi sapi bakalan di tahun 2017. Dalam aturan itu, feedloter wajib mengimpor sapi indukan lebih dari 20%.
Syarat baru ini sengaja dibuat pemerintah untuk mendongkrak jumlah ternak sapi di Indonesia. Sapi indukan adalah solusi untuk mencapai target tersebut dalam jangka menengah, sementara impor sapi bakalan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas daging sapi dalam jangka pendek.
Indonesia sendiri memang membutuhkan banyak pasokan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan nasional yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan.
Adapun proyeksi kebutuhan konsumsi daging sapi Indonesia di tahun 2017 sebesar 685.000 ton. Jumlah itu sebanding dengan 3,8 juta ekor sapi yang harus dipotong.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah akan mengimpor sapi bakalan yang tahun ini diperkirakan mencapai 700.000 ekor. Sedangkan sisanya diperoleh dari peternakan di dalam negeri dan impor daging beku.
Oke Nurwan menegaskan, aturan tersebut telah diberlakukan mulai 2017 dan akan diikuti oleh audit terhadap perusahaan importir yang akan akan dilakukan pada tahun 2018. “Audit akan dilakukan di tahun 2018,” ujarnya.
Bila terbukti importir sapi bakalan itu tak memenuhi ketentuan itu, maka pemerintah akan menyita sapinya. Bahkan aset perusahaan juga akan disita jika tidak sesuai dengan perjanjian.
Pada akhir 2016, Kemendag telah mengeluarkan alokasi impor sapi bakalan sebanyak 300.000 ekor kepada 39 importir yang telah tersedia mematuhi aturan baru itu.
Kebijakan yang diluncurkan Kemendag bulan September 2016 itu langsung mendapatkan dukungan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketua KPPU Syarkawi Rauf saat itu mendukung kebijakan tersebut. Sebab, dia menilai pembatasan impor dengan kuota akan membuka peluang korupsi. “Kuota itu banyak moral hazard-nya, seperti kasus suap impor sapi dulu kan karena adanya kuota,” katanya. B Wibowo
Enggar: Daging Paling Sulit Diturunkan
Dari sejumlah komoditas pangan yang harganya sempat bergejolak, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito mengakui kalau komoditas daging sapi paling susah distabilkan harganya.
“Daging sapi paling sulit diturunkan harganya,” ujar Enggar usai mengunjungi sejumlah pasar di Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Karena sulit diturunkan, Mendag menegaskan pihaknya memberikan perhatian penuh terhadap upaya stabilisasi harga dan pasokan daging di dalam negeri. Misalnya dengan memastikan tercukupinya stok daging sapi di dalam negeri.
Enggar mengatakan, beberapa skema yang sudah dilakukan adalah impor daging beku, selain juga mengimpor sapi bakalan serta pengembangan sapi indukan di dalam negeri. Namun, hingga saat ini diakuinya harga daging di pasar masih belum sesuai dengan keinginan pemerintah dan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Walaupun harga masih tinggi, Enggar memastikan stok daging sapi di Jakarta sangat mencukupi, bahkan menjelang lebaran nanti pasokan daging di dalam negeri dipastikan masih melimpah. “Kami bersama Bulog menjamin pasokan daging sampai lebaran akan siap. Kita akan siap berapapun,” tandasnya.
Menurutnya, hingga saat ini Perum Bulog telah mendatangkan daging kerbau dari India sebanyak 70.000 ton. Daging kerbau itu dijual di pasaran dengan harga maksimal Rp65.000/kg.
Masuknya daging kerbau dengan harga murah itu dilakukan pemerintah sebagai salah satu strategi untuk menggandoli harga daging sapi yang masih di atas Rp100.000/kg.
Selain dari India, papar Enggar, bila pasokan daging masih kurang, maka pemerintah siap mendatangkan daging sapi dari Australia, dan Spanyol.
“Kalau kurang kita akan memasoknya dari India. Di luar itu, daging beku dari Australia, Spanyol sudah siap di gudang-gudang. Jadi, dari sisi pasokan daging berlebih sampai lebaran,” ujarnya.
ADDI
Terkait distribusi daging, Mendag juga menjelaskan kalau pihaknya juga sudah meminta kepada Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI) untuk mempersiapkan distribusi daging jauh-jauh hari. “Pasokannya ada, tinggal pendistribusiannya. Ini sementara masih di Jakarta, yang memang menyerap paling banyak. Kalau di Jakarta tercukupi, maka di daerah tidak akan ada kekurangan,” jelasnya.
Dia mengakui kebutuhan daging sapi saat ini memang masih dipenuhi dari daging sapi beku impor. Namun, hal itu sifatnya hanya sementara dan bukan semata-mata hanya impor.
“Impor daging sapi bakalan dilakukan sambil menunggu proses penambahan populasi sapi para peternak dan petani. Program sapi indukan juga tetap kita jalankan,” tuturnya.
Enggartiasto mengatakan, pemerintah tengah mengupayakan pasokan daging terutama dari pengembangan sapi dalam negeri. “Tapi, jangan berpikir semata-mata impor karena program sapi indukan itu kita galakkan. Kemarin kita bersama Pak Menko pergi ke Malang melihat benih. Jadi, benih sapi kita persiapkan untuk program sapi induk wajib bunting (SIWAB) sambil menunggu proses penambahan populasi sapi terutama diperuntukan peternak,” tutur dia.
Berdasarkan data dari Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kemendag, harga rata-rata nasional untuk daging sapi tercatat sebesar Rp112.000/kg. Dalam beberapa minggu terakhir, harga kebutuhan masyarakat tersebut cenderung mengalami fluktuasi.
Era SBY
Tingginya harga daging sapi memang sudah terjadi sejak lama. Bahkan, pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Perdagangan saat itu, Mari Elka Pangestu, sempat mengeluarkan aturan mengenai harga patokan daging sapi di dalam negeri sebesar Rp76.000/kg.
Lewat aturannya, Kementerian Perdagangan saat itu menetapkan alokasi impor daging dan hewan sapi akan terus dibuka jika harga daging sapi di dalam negeri masih berada di atas Rp76.000/kg. Namun, aturan itu tetap tidak mampu menurunkan harga daging sapi di dalam negeri.
Kini, pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi juga bertekad untuk menjadikan harga daging sapi berada di bawah Rp80.000/kg. Target harga itu baru bisa dicapai pada penjualan daging kerbau dan daging sapi beku impor.
Daging kerbau beku impor dijual di pasaran senilai Rp65.000/kg. Sedangkan daging sapi beku impor dijual ke pasaran pada posisi Rp80.000/kg. Sedangkan harga daging sapi segar di pasaran saat ini masih berada di atas Rp100.000/kg. Hal ini dikarenakan masyarakat masih belum menyukai daging beku.
Padahal, kata Mendag Enggar, daging beku jauh lebih higienis dibandingkan daging sapi non beku. “Di luar negeri, mayoritas daging yang dijual adalah daging beku,” ucapnya. B Wibowo