Ditolak, Rencana Kenaikan PPN 15%

Rencana Menteri Keuangan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 15% memicu keberatan banyak pihak. Bahkan, penolakan juga datang dari pengusaha penghasil barang pertanian, termasuk kehutanan, yang sejak tahun lalu menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.89/PMK.010/2020. Dengan DPP Nilai Lain, maka tarif PPN efektifnya adalah 1%.

Jebloknya penerimaan pajak akibat pelemahan ekonomi global dan domestik, yang dipicu oleh pandemi COVID-19, mendorong pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 15%. Apalagi, pemerintah juga mematok penerimaan pajak dalam postur APBN 2022 sebesar Rp1.499,3 triliun hingga Rp1.528,7 triliun. Selain itu, kenaikan PPN juga dimungkinkan karena berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM, tarif pajak 10% dapat diubah paling rendah 5% dan paling tinggi 15%, yang perubahannya diatur melalui Peraturan Pemerintah.

Rencana itu kontan ditolak banyak pihak, terutama di sektor pertanian dan kehutanan. Buat sektor kehutanan, misalnya, kenaikan PPN menjadi sinyal buruk buat pemulihan yang baru saja terjadi setelah babak belur dihajar pandemi COVID-19. Bahkan untuk industri kayu hulu, yakni kayu bulat (log), PPN yang sejak lama minta dibebaskan hanya diberi relaksasi dalam bentuk Nilai Lain sebagai dasar pengenaan pajak. Artinya, jika biasanya PPN dihitung 10% dari harga jual, maka dengan mekanisme Nilai Lain, DPP-nya hanya sebesar 1% dari harga jualnya. Dengan kata lain, tarif efektif PPN yang dibayar untuk log hanya 1%.

Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), Bambang Soepijanto menilai rencana Kementerian Keuangan menaikan PPN bukanlah kebijakan yang tepat. Pemerintah justru seharusnya membuat kebijakan yang bisa mendorong produksi dan kinerja industri makin bergairah sebagai bagian dari pemulihan ekonomi di tengah pandemi COVID-19. “Keliru kalau Kemenkeu mau menaikkan PPN,” kata Bambang, Jumat (21/5/2021).

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusah Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto. Dia meminta rencana kanaikan PPN dipertimbangkan lagi. Relaksasi kebijakan bagi industri kehutanan, seperti yang diatur PMK No. 89/PMK.010/2020 seharusnya dipertahankan dengan melihat kemampuan dan daya tahan sektor kehutanan yang saat ini sedang lemah-lemahnya. Bahkan, Purwadi mengingatkan lagi bahwa secara filosofis kayu bulat belum layak dikenai PPN. Pasalnya, kayu bulat sama sekali belum mengalami pertambahan nilai sehingga pantas dikenai PPN. “Kayu bulat itu belum ada nilai tambahnya,” katanya.

Penolakan juga disuarakan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). “Kenaikan PPN itu akan berdampak negatif terhadap petani kelapa sawit, khususnya yang belum berstatus pengusaha kena pajak atau PKP,” ujar Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, Jumat (21/5/2021).

Menurutnya, bagi petani kelapa sawit yang sudah berstatus PKP, kenaikan PPN tidak akan berpengaruh karena mereka bisa mengajukan restitusi terhadap PPN yang mereka tanggung atas pembelian sarana dan prasarana seperti pupuk, pestisida dan sebagainya. “Namun yang kasihan, jika petani tersebut belum berstatus PKP. Mereka tidak bisa mengajukan restitusi sehingga besaran PPN dari pembelian barang harus ditanggung mereka,” ujarnya. AI