Isu soal pengamanan perdagangan akan menjadi isu yang paling dominan dalam sektor perdagangan di tahun 2015 nanti. Hal ini seiring makin gencarnya upaya untuk melindungi produk nasional dari serbuan produk impor.
“Pengamanan perdagangan jadi isu yang dominan ke depannya,” ujar Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, akhir pekan lalu.
Menurutnya, dalam kondisi ekonomi global yang belum pulih, banyak negara yang akan mengambil kebijakan untuk menghambat laju impor produk dari negara lain melalui penerapan non tariff barriers maupun tariff barriers. “Tindakan itu dilakukan untuk melindungi produk-produk dalam negeri mereka dari serbuan impor,” katanya.
Upaya menghambat masuknya produk impor bisa dilakukan melalui penerapan bea masuk terhadap impor jenis produk tertentu atau melalui penerapan persyaratan ketat seperti syarat lulus aturan SVLK untuk impor produk hasil kehutanan.
Bayu menyatakan, penerapan kebijakan hambatan impor sah-sah saja dilakukan suatu negara sepanjang aturan itu tidak melanggar aturan yang ditetapkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), misalnya saja karena alasan keamanan, lingkungan dan kesehatan.
Walaupun begitu, Bayu mengakui kalau kebijakan penerapan halangan non tarif maupun halangan tarif seringkali menimbulkan perselisihan antara negara yang menerapkan aturan dengan negara yang menjadi asal produk impor. Pasalnya, terkadang aturan yang ditetapkan itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip fair trade yang ditetapkan WTO.
Namun, penerapan aturan itu merupakan langkah yang paling mudah untuk mengamankan produk nasional dari serbuan produk impor. Minimal aturan itu bisa diterapkan sampai adanya keputusan final dari organisasi perdagangan dunia, jika aturan itu digugat ke WTO atau hingga tercapainya kesepakatan antara negara pembuat aturan dengan yang menggugat aturan itu.
Pengalaman yang terjadi menunjukkan diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan perselisihan soal gugatan mengenai aturan yang dinilai tidak fair dalam kegiatan perdagangan internasional atau merugikan pihak lain.
“Indonesia sendiri sudah merasakan dampak negatif dari penerapan aturan yang menghambat masuknya produk kita ke negara lain,” ujarnya, seraya merujuk kerugian yang dialami pelaku industri dalam upayanya mengekspor produknya ke negara seperti Turki dan India karena kedua negara itu menerapkan aturan yang terkadang tidak sesuai dengan fair trade.
“Turki dan India memang menjadi negara yang paling banyak menerapkan aturan menghambat impor,” ucap Bayu.
CPO
Seperti diketahui, ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya asal Indonesia ke India dan Tiongkok sempat tersendat oleh kebijakan pemerintah India yang menetapkan pajak impor CPO maupun minyak kedelai sebesar 2,5% dan refined oil sebesar 7,5%.
Kebijakan ini diambil sebagai reaksi atas kebijakan Malaysia menerapkan pajak ekspor 0% untuk CPO. Tujuan lain, melindungi petani India yang menghasilkan kanola dan kacang tanah sebagai komoditas utama India. Kecemasan petani India ini sangat beralasan karena harga CPO negeri jiran bisa jadi lebih murah dari hasil pertanian mereka.
Sementara Tiongkok, menjelang akhir tahun kemarin, mengeluarkan regulasi yang meminta standar kualitas produk olahan CPO, khususnya olein. Standar ini meminta penurunan kadar stearic acid dan peroxide di produk olahan CPO dengan pertimbangan kesehatan.
Pajak impor CPO oleh India tadi ditujukan melindungi industrinya di dalam negeri akibat sulit bersaing dengan CPO. Jadi, kalau tidak ada pajak impor produk pertanian mereka semakin terdesak di pasar dalam negerinya.
Kebijakan itu tentu saja merugikan Indonesia karena untuk bisa mengekspor, produsen CPO terkena Bea Keluar (BK) terlebih dulu dari pemerintah Indonesia. Padahal, Tiongkok dan India merupakan konsumen utama sekaligus pasar tradisional CPO Indonesia. Jumlah ekspor CPO Indonesia ke India rata-rata mencapai 5 juta- 6 juta ton per tahun, sedangkan ekspor CPO ke Tiongkok sebanyak 3 juta ton per tahun.
Untuk menghadapi gugatan dari negara lain terhadap kebijakan yang diterapkan Indonesia atau upaya Indonesia untuk menggugat aturan-aturan dari negara lain yang dinilai tidak sesuai dengan fair trade, Bayu menegaskan diperlukan tim yang solid dari Indonesia.
Dia memperkirakan, pekerjaan mengenai penyelesaian perselisihan perdagangan akan menguasai 65% pekerjaan pejabat Indonesia di WTO. “Pekerjaan penyelesaian perselisihan akan jauh lebih besar dibandingkan kegiatan negosiasi dagang,” ujarnya.
Agar hasil yang didapat bisa maksimal, Bayu menyarankan supaya lembaga yang mengurus perselisihan perdagangan, yang selama ini masih bersifat komite, seperti Komite Anti Damping Indonesia (KADI), ditingkatkan menjadi setingkat direktur jenderal. “Harus ada Direktur Jenderal yang mengurus pengamanan perdagangan di pemerintahan baru nanti,” ujar Bayu. B Wibowo
Ketika Industri Dalam Negeri Keberatan
Untuk melindungi industri dalam negeri, khususnya industri hasil hutan serta sesuai dengan prinsip fair trade, pemerintah Indonesia juga berencana menerapkan persyaratan khusus bagi masuknya produk hasil hutan dari mancanegara. Rencananya, mulai tahun 2015 nanti produk hasil hutan yang diimpor harus memenuhi persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Menurut Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, kebijakan tersebut dilakukan karena Indonesia telah mewajibkan seluruh produk ekspor mengantongi sistem lacak balak kayu dan produk kayu tersebut.
“Argumentasi kita untuk menerapkan SVLK impor adalah karena sudah wajib untuk produk ekspornya, jadi tidak ada argumentasi apa pun yang bisa membantah Indonesia mengapa mewajibkan SVLK impor,” ujar Bayu.
Dia mengakui, proses penerapan aturan yang cukup fair trade itu tidak mudah. Ada beberapa industri di dalam negeri yang menolak penerapan SVLK impor terhadap produk hasil hutan itu secara mandatory atau wajib. Mereka maunya aturan itu bersifat voluntary atau sukarela.
“Kementerian Perdagangan keberatan dengan adanya usulan tersebut karena sudah keluar dari prinsip awal bahwa legal logging itu adalah keinginan kita, bukan keinginan pembeli, dan keberlanjutan adalah kebutuhan kita bukan hanya sekadar mengikuti permintaan pasar,” kata Bayu
Menurut Bayu, hingga awal September, setidaknya ada 11 perusahaan besar dan kecil yang mengajukan usulan agar penerapan sistem tersebut bisa dilakukan secara sukarela dan bukan wajib.
Namun, melalui berbagai pendekatan dan pemberian pemahaman yang kontinyu terhadap pihak-pihak yang menolak dan koordinasi antarinstansi, proses penerapan aturan SVLK impor terhadap produk hasil hutan yang diimpor bisa berjalan lancar.
Menurut Direktur Impor Kementerian Perdagangan, Thamrin Latuconsina, kini semua pihak telah menyetujui penerapan aturan tersebut. “Bahkan draft mengenai aturan tersebut telah dibuat dan kini sedang masuk ke biro hukum,” ujarnya, pekan lalu.
Thamrin menjelskan, sebenarnya draft aturan tersebut diupayakan untuk bisa ditandatangi oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. “Namun, jika menteri perdagangan yang sekarang tidak bisa menandatangani, maka draft tersebut akan ditandatatangani oleh menteri perdagangan yang baru.”
Berdasarkan draft yang ada, ungkap Thamrin, aturan SVLK terhadap produk hasil hutan yang dimpor akan dilakukan mulai Januari 2015 nanti. B Wibowo