Euforia pelaku usaha di industri furnitur dan kerajinan atas dibebaskannya persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dalam kegiatan ekspor produknya hanya sesaat saja. Bahkan, aturan tersebut mati sebelum diberlakukan.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, tertanggal 20 Maret 2020 — yang membebaskan persyaratan SVLK — ternyata hanya seumur jagung.
Baca juga: Revisi Permen LHK P.30/2016 Demi IKM
Pasalnya, Permendag itu langsung dicabut atau dibatalkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2020 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan — yang dibuat tanggal 6 Mei 2020 dan diundangkan pada 11 Mei 2020.
Kebijakan pemerintah yang mencla-mencle itu langsung ditanggapi negatif oleh pelaku usaha yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). “HIMKI sangat kecewa dengan kebijakan Kemendag dan LHK yang labil dan ambigu itu,” tegas Sekjen HIMKI, Abdul Sobur kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Menurut dia, kebijakan yang diperlihatkan instansi-instansi pemerintah soal SVLK sangat kontraproduktif dengan harapan pengusaha berbasis hasil hutan, yang saat ini menghadapi tantangan berat dalam menjalankan kelangsungan hidupnya karena adanya wabah pandemi COVID-19 di seluruh dunia.
“Kami sebenarnya berharap adanya dukungan besar dari pemerintah dalam menghadapi situasi yang sedang sulit ini, karena sebagian besar pelaku usaha terdampak oleh COVID-19,” jelasnya.
Melalui HIMKI, asosiasi pengusaha mebel dan kerajinan yang getol menyuarakan penghapusan persyaratan SVLK, pelaku usaha di industri mebel dan kerajinan tidak akan tinggal diam terhadap kebijakan yang diterapkan pemerintah tersebut.
“Kita akan lakukan klarifikasi dan bila perlu uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk hal yang kami nilai kontraproduktif dengan harapan kami,” ucap Abdul Sobur.
Sobur menjelaskan, bukan hanya HIMKI yang menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah di sektor industri perkayuan dan rotan — yang dinilai menghambat program hilirisasi industri, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Industri Nomor 3 tahun 2014.
Menurutnya, kalangan pemerhati yang peduli dengan nasib industri perkayuan dan rotan di dalam negeri, yang tergabung dalam Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan (JPIP), di mana anggota HIMKI ikut bergabung di dalamnya, telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo.
Dalam suratnya, yang juga ditembuskan ke Menko Perekonomian, Menteri LHK, Menperin dan Mendag, JPIP menyatakan bahwa berdasarkan analisa dan pengamatan yang sudah dilaksanakan saat ini di sektor industri kehutanan dan sektor industri hilir terkait, “ada usaha dan gerakan-gerakan yang sistematis, massif dan terkoordinasi dengan intensif oleh segelintir kelompok masyarakat yang secara sadar atau tidak sadar akan mengganggu dan merusak kebijakan dan tatanan revitalisasi industri lestari kayu untuk mewujudkan industri hilir kayu yang tangguh dan berdaya saing kuat di pasar global.”
Upaya-upaya untuk merusak kebijakan pengembangan industri hilir tersebut dapat dilihat dari terbitnyanya Surat Terbuka Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Kepada Presiden Republik Indonesia Untuk Pencabutan Atau Revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, tertanggal 20 Maret 2020.
Kemudian dilanjutkan dengan Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepada Bapak Presiden RI No: S-269/MENLHK/PHPL3/4/2020 tanggal 21 April 2020 Tentang Laporan SVLK dan dukungan Ekspor Produk Industri Kehutanan dengan tembusan kepada Menteri-menteri terkait, dan pada akhirnya Menteri Perdagangan menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2020 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Menurut Sobur, JPIP menilai upaya-upaya itu dilakukan dengan tujuan dilanjutkannya Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara wajib kepada seluruh eksportir produk kayu, termasuk ekspor hasil produk industri hilir kayu.
Selain itu juga bertujuan agar peningkatan luas penampang (LP) untuk ekspor bahan baku kayu yang semula dari diameter lebih kecil dari 10.000 mm untuk kayu merbabu dan LP lebih kecil dari 4.000 mm untuk non kayu merbabu, diizinkan menjadi LP lebih kecil 15.000 mm untuk semua jenis kayu.
Surat JPIP
Terkait usul kebijakan yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia bersama-sama dengan surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepada Presiden RI, JPIP juga menyampaikan sejumlah saran kepada Jokowi.
Pertama, SVLK tidak perlu diberlakukan wajib untuk produk-produk industri hilir kayu, seperti industri furnitur, industri wood working, panel dan sebagainya, karena sumber bahan baku dari industri hilir ini sudah jelas diperoleh asal sumbernya.
Menurut JPIP, dengan metode lacak balak (chain of custody) yang sudah dimiliki dan dilaksanakan oleh Kementerian LHK, legalitas sumber bahan baku kayu sudah dapat diketahui.
“Pelaksanaan SVLK cukup dilaksanakan hanya kepada industri hulu kayu yang menyediakan bahan baku untuk industri hilir saja,” kata Sobur, yang merupakan salah satu anggota JPIP.
Walaupun memiliki sumber bahan baku yang terbesar di dunia, namun industri furnitur dan kerajinan Indonesia masih kalah jauh dalam perolehan ekspor dengan negara-negara lainnya, seperti China, Vietnam dan Malaysia.
Kedua, kebijakan ekspor dengan meningkatkan luas penampang (LP) kayu menjadi 15.000 mm yang diusulkan oleh Menteri LHK saat ini sama sekali tidak berpihak untuk membangun industri kayu di dalam negeri, bahkan bertentangan dengan tujuan untuk meningkatkan perkembangan ekonomi masyarakat dan dunia usaha di dalam negeri dengan akses yang lebih adil kepada sumber daya hutan.
Menurut JPIP, kebijakan meningkatkan penampang kayu untuk ekspor ini pada akhirnya akan berakibat buruk pada kelangsungan hidup industri hilir kayu karena akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan bahan baku kayu di dalam negeri.
Seharusnya, Kementerian LHK lebih mempertimbangkan dan mendukung pertumbuhan ekspor produk-produk kayu dengan nilai tambah yang jauh lebih tinggi yang dihasilkan oleh industri hilir dibandingkan dengan ekspor kayu dengan nilai tambah yang lebih rendah di Industri hulu.
Penyederhanaan proses
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (AGK) mengakui kalau SVLK telah menjadi salah satu isu hangat yang dibahas di dalam rapat kordinasi terbatas antarmenteri.
“Memang, sehari sebelum lebaran ada rapat soal SVLK yang dipimpin oleh Menko Investasi dan Maritim,” ujar Menperin menjawab pertanyaan Agro Indonesia, pekan lalu.
Menperin AGK mengakui mayoritas pelaku industri telah mengajukan keberatan terhadap kebijakan terbaru yang diterapkan Mendag dan Kementerian LHK terkait dengan diterapkannya kembali persyaratan SVLK dalam kegiatan produksi.
Dia juga menjelaskan, dalam Rakor tersebut, walaupun membwrikan dukungan terhadap kebijakan yang telah diterapkan, pihaknya tetap berusaha memberikan solusi yang bisa meringankan beban pelaku industri di sektor kehutanan terkait dengan penerapan SVLK itu.
“Dalam rakor itu, saya minta agar Kementerian LHK bisa melakukan penyederhanaan dalam proses SVLK. Kami ingin agar proses SVLK itu cepat, mudah dan murah sehingga daya saing industri bisa semakin tinggi,” paparnya.
AGK menyatakan, penyederhanaan proses SVLK, khususnya untuk IKM, diyakini akan segera dilakukan oleh instansi terkait.
Menperin mengakui, dalam kondisi sekarang ini, peluang meningkatkan ekspor industri kehutanan cukup terbuka lebar. Dia mencontohkan adanya peningkatan ekspor 150% pada industri sawmill dalam beberapa bulan belakangan ini.
“Negara-negara importir yang selama ini membeli kayu dari Malaysia, mereka kini mencari pasokan dari Indonesia karena Malaysia melakukan lockdown dalam mengatasi wabah COVID-19,” katanya.
Menurutnya, jika pelaku usaha Indonesia bisa menjaga hubungan baik yang telah tercipta dengan pihak importir itu, maka pembelian kayu dari Indonesia akan tetap terjalin ke depannya. “Kita ingin kondisi ini juga dialami oleh industri lainnya,” tutur Menperin. B Wibowo