Industri pakan ternak meminta pemerintah memberikan kepastian produksi jagung secara cermat. Bahkan, pemerintah sebaiknya menggunakan metodologi penghitungan Kerangka Sampel Area (KSA) yang telah diterapkan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tanaman padi. Pasalnya, meski diklaim selalu surplus, Indonesia ternyata masih tetap impor jagung untuk pakan.
Awal tahun 2019 kembali menjadi pukulan pahit buat sektor pertanian. Di tengah fakta mengejutkan terjadinya rekor defisit neraca perdagangan sepanjang sejarah negeri ini, pemerintah kembali membuka kran impor jagung untuk pakan ternak. Padahal, lonjakan impor nonmigas ini adalah penyebab utama terjadinya rekor defisit. Ekspor memang meningkat 6,7%, tapi impor melejit lebih kencang 20,2% atau tiga kali lipat dari ekspor! Surplus perdagangan nonmigas anjlok 81,4%, dari 20,4 miliar dolar AS pada 2017 menjadi hanya 3,8 miliar dolar AS (Januari-November 2018).
Kran impor dipicu oleh tingginya harga jagung untuk pakan, meski Kementerian Pertanian berulang kali mengklaim jagung surplus sampai 12 juta ton. Ketua Asosiasi Peternak Layer Nasional (PLN), Musbar Mesdi mengatakan, harga jagung sedang berada di puncaknya saat ini, yakni Rp5.800/kg-Rp6.200/kg di level konsumen. Ini pun belum tentu barangnya ada.
Itu sebabnya, pemerintah kembali menugaskan Perum Bulog mengimpor 30.000 ton, setelah sebelumnya impor 100.000 ton. Jagung eks Brasil dan Argentina itu mulai masuk Februari. “Batas waktu izin impor nantinya hanya sampai bulan Februari saja. Hal itu berdasarkan keputusan dari Kementerian Perdagangan,” ujar Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso.
Tidak akuratnya perhitungan produksi hingga melahirkan keputusan impor dadakan ini dikeluhkan industri pakan ternak. Padahal, ketepatan data produksi bisa membantu kalangan industri untuk melakukan perhitungan mengenai perolehan pasokan bahan baku. “Kegiatan validasi data produk jagung harus diperkuat,” tegas Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Desianto Budi Utomo, Jumat (18/1/2019).
Apalagi, setiap tahun permintaan jagung oleh GPMT selalu meningkat. Untuk tahun 2019 ini saja, diperkirakan kebutuhan komoditas jagung untuk industri pakan ternak akan mencapai 7 juta ton atau meningkat 16,6% dari asumsi kebutuhan tahun ini sekitar 6 juta ton.
Untuk itu, pengusaha meminta pemerintah menerapkan perhitungan luas tanam dan produksi jagung menggunakan metodologi kerangka sampel area (KSA) seperti padi, tidak lagi ubinan yang dikalikan produktivitas per hektare. Ini semua demi akurasi data. “Kalau memang lebih akurat, boleh diterapkan,” ujar Desianto. Ya, kenapa tidak? AI