Moratorium Hutan Diperpanjang

Pemerintah   memastikan   kebijakan   moratorium   hutan   dan   gambut   berlanjut.   Namun, kebijakan   yang   dimulai   sejak   enam   tahun   silam   ini   belum   pernah   dievaluasi   secara menyeluruh. Terbukti, perpanjangan hanya bersifat asal  copy paste  dan selama ini isinya sudah   banyak   mengundang   kritik.   Jika   memang   lebih   banyak   mudharatnya,   mengapa kebijakan ini masih diperpanjang?

Inpres No. 8 tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola   Hutan   Primer   dan   Lahan   Gambut   berakhir   per   Sabtu   (13/5/2017).   Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sudah memastikan, kebijakan yang lahir di era jabatan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini — lewat Inpres No. 10 tahun 2011 — diperpanjang Presiden Joko Widodo.

Sekjen   Kementerian   LHK,   Bambang   Hendroyono   mengungkapkan,   Menteri   LHK   Siti Nurbaya sudah mengirim surat perpanjangan kebijakan itu ke Istana Presiden dan sedang diproses untuk penerbitan payung hukumnya. “Moratorium pasti akan dilanjutkan,” tegas Bambang di Jakarta, Jumat (12/5/2017).

Hanya saja Bambang menyatakan, kebijakan perpanjangan moratorium yang baru itu akan sama persis seperti kebijakan yang lama dengan jangka waktu dua tahun. Dengan kata lain, substansi   inpres  tak   bergerak   dan   tetap   ada   pengecualian   untuk   permohonan   yang   telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri LHK; izin geothermal; minyak dan gas bumi;

ketenagalistrikan; lahan untuk padi dan tebu; perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan restorasi ekosistem.

Buat   LSM,   isi   inpres   yang   sama   tidak   menjawab   kritik   yang   sudah   berulang   kali disampaikan, terutama tidak dilibatkannya Kementerian Pertanian serta Kementerian ESDM. Padahal, lahan hutan dan gambut itu banyak dipakai untuk perkebunan dan pertambangan. Lagi pula, “Sebagai dokumen non legislatif, Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan,” tegas Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya.

Yang   mengkhawatirkan,   Direktur   Kajian   Strategis   dan   Kebijakan   Pertanian   IPB,   Dodik Ridho   Nurrochmat   melihat   belum   ada   evaluasi   menyeluruh   yang   dilakukan   pemerintah, meski  inpres  sudah  tiga  kali  perpanjang.   Padahal,  ini  penting  untuk  melihat  sejauhmana manfaat dan mudharat kebijakan tersebut.

Dodik menilai moratorium justru memicu pembalakan akibat terjadinya open access karena pemilik izin tak bisa mengelola lahan tersebut. Sementara pemerintah tak punya SDM yang cukup untuk mengawasi lahan yang dimoratorium. Yang parah, tak hanya pembalakan, tapi kebakaran hutan  dan lahan juga marak. Tahun 2015, sebanyak 31% atau 21.552 titik api terdeteksi di kawasan yang dilindungi ini. Jadi, manfaat apa yang diperoleh? AI

Baca juga:

Agro Indonesia, Edisi 639 (16-22 Mei 2017)