Jantung sejumlah pejabat Kementerian Kehutanan boleh jadi berdegup kencang saat kajian KPK dipaparkan. Maklum, angka ratusan sampai miliAran rupiah diungkap dalam proses pengesahan perizinan.
Namun, jangan harap ada konfirmasi pembenaran soal biaya transaksi tersebut. Maklum, kajian itu juga diperoleh KPK dari wawancara dengan informannya. Kecuali ada yang tertangkap, baru kajian itu menemukan kesahihannya.
Meski demikian, Kemenhut sendiri bersikap positif dengan menyambut baik kajian KPK tersebut dan siap menindaklanjuti dengan sejumlah rencana aksi pencegahan korupsi.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan, Kemenhut mengapresiasi hasil kajian KPK. Menurut Zulkifli, pihaknya bisa menemukan kelemahan sistem perizinan di sektor kehutanan berdasarkan kajian KPK tersebut. Kelemahan itu nantinya akan diperbaiki sehingga bisa menekan kerugian negara dari sektor kehutanan.
“Tujuannya kajian ini untuk mengurangi ekonomi berbiaya tinggi dan mempermudah birokrasi perizinan pengelolaan hutan. Kalau cuma saya yang ngomong kan tidak akan terdengar. KPK dukung dengan kajian,” ujar Zulkifli.
Menurut dia, hasil dari kajian KPK itu menjadi pertimbangan yang baik untuk pihaknya. Penyederhanaan perizinan pengelolaan hutan bisa menekan angka kerugian negara yang selama ini berasal dari penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin. “Hasilnya sangat bagus bagi kami. Kami akan menyederhanakan perizinan agar meminimalisir penyelewengan,” tambahnya.
Sebagai respon dari kajian tersebut, Kemenhut dalam waktu dekat akan merevisi setidaknya 12 peraturan tentang pengelolaan hutan.
Menhut menyatakan, dengan keterlibatan KPK, maka perbaikan tata kelola hutan akan berjalan lebih efektif. Pasalnya, upaya perbaikan tersebut tidak bisa dilakukan Kemenhut sendirian, namun terkait dengan instansi lain. “Wibawa KPK ini yang kami bawa. Kalau kami ngomong sendiri, nanti dianggap kepentingan sendiri,” ujar Zulkifli.
Zulkifli juga menjelaskan, sudah ada pembagian tugas dan kewenangan terkait hutan di daerah. Jika berstatus hutan lindung, maka merupakan kewenangan dari pemerintah daerah. Sedangkan untuk taman nasional dan konservasi, merupakan kewenangan pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan.
Selanjutnya, kata Zulkifli, selama ini KPK diketahui hanya menindak kasus korupsi, tetapi pencegahan kurang disoroti. Maka dari itu, Kemenhut dan KPK memanfaatkan momen ini untuk mencegah kasus eksploitasi hasil hutan ilegal dan meminimalisir potensi korupsi.
Hanya saja, saat ditanya soal adanya biaya transaksi yang tembus miliaran dalam proses pengurusan izin, Menhut mengelak pertanyaan yang diajukan Agro Indonesia. Dengan alasan terburu-buru, Menhut enggan menjawab pertanyaan yang diajukan. “Sudah cukup pernyataan saya,” kata dia usai membuka konferensi kelapa sawit di Legian, Bali, Rabu (12/2/2014).
Biaya konsultan
Jawaban diplomatis juga dinyatakan Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut, Bambang Hendroyono. Menurut Bambang, apa yang diungkap KPK adalah hasil temuan KPK yang dihormati oleh Kemenhut. “Itu yang dtemukan KPK dalam kajiannya. Dan kami menghormati itu,” ujar Bambang di Jakarta, Jumat (14/2/2014).
Bambang menduga besarnya biaya yang mesti dikeluarkan oleh pemegang izin dalam proses perizinan mungkin terjadi untuk pembayaran jasa konsultan. Menurut dia, yang paling penting dari hasil kajian KPK tersebut adalah tindak lanjut rencana aksi pencegahan korupsi. Untuk itu, Bambang mengaku, saat ini pihaknya secara marathon melakukan pembahasan rencana aksi yang dimaksud. “Tanggal 6 Maret nanti kami akan melakukan pertemuan bersama lagi, termasuk dengan KPK untuk menuntaskan rencana aksi,” katanya.
Bambang mengklaim, Kemenhut sejatinya sudah melakukan sejumlah upaya pencegahan korupsi dengan baik. Termasuk di antaranya adalah melakukan sistem informasi perizinan satu pintu secara online. Terbukti, berdasarkan kajian KPK, sistem tersebut bebas dari biaya transaksi dalam proses perizinan.
Langkah lain yang juga sudah diwujudkan adalah pembatasan luas pemegang izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Berdasarkan Permenhut No.P.8/Menhut-II/2014 setiap IUPHHK maksimum luasnya 50.000 hektare, dan setiap perusahaan atau grup hanya diperkenankan mendapat dua izin saja. Ketentuan itu terbit pada pertengahan Januari lalu.
Yang juga sedang dimatangkan adalah revisi Peraturan pemerintah No 6 tahun 2007 jo PP 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. “Ketentuan itu adalah respon cepat terhadap diskusi-diskusi kami dengan KPK sebelumnya,” ujar Bambang.
Dia menyatakan, pihaknya tidak alergi dengan segala masukan untuk perbaikan tata kelola hutan. Bambang menyatakan, agar tata kelola hutan semakin baik ke depan, maka pihaknya akan mendorong beroperasinya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di lapangan. KPH akan menjadi organisasi yang menjalankan tugas pengelolaan hutan secara komprehensif di tingkat tapak sehingga meminimalkan rantai birokrasi. “Karena berada di tingkat tapak, pengelolaan hutan oleh KPH diharapkan semakin baik,” katanya.
Dengan beroperasinya KPH, maka fungsi perencanan, pengelolaan, dan pemanfatan hutan akan dijalankan oleh KPH. Sementara Kemenhut dan dinas kehutanan di daerah berperan sebagai regulator yang menetapkan norma standar prosedur dan kriteria yang mesti dijalankan oleh KPH. Sugiharto
Respon Cepat Kemenhut Jadi Kunci
Tim Kajian KPK memperoleh informasi adanya biaya transaksi miliaran dari informan dengan latar belakang pengusaha sektor kehutanan. Meski demikian, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto memastikan informasi tersebut bukan berasal dari pihaknya. “APHI adalah organisasi yang sifatnya mengadvokasi kepentingan usaha pengusahaan hutan secara umum. Kalau untuk teknis proses perizinan, itu menjadi urusan masing-masing pemegang izin,” katanya.
Purwadi mengakui, APHI sempat kedatangan tim KPK untuk menggali informasi bagaimana mekanisme proses perizinan. Dalam kesempatan tersebut, ujar Purwadi, pihaknya memberi penjelasan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
Pastinya, sejumlah temuan KPK tidak berbeda jauh dengan advokasi yang selama ini dijalankan APHI. Termasuk soal penyederhanaan perizinan dan kepastian lahan pengelolaan hutan.
APHI sendiri mengapresiasi kajian yang dihasilkan KPK. Di sisi lain, APHI juga menilai positif respon yang diambil Kemenhut terhadap kajian tersebut. Menurut Purwadi dengan respon Kemenhut yang baik, maka perbaikan tata kelola hutan memiliki harapan. “Sejauh ini Kemenhut cukup terbuka dengan perbaikan. Apa yang dilakukan dengan perizinan secara on line salah satu contohnya. Yang harus dilakukan sekarang adalah terus mendorong perbaikan tata kelola itu, bukan cuma di pusat tapi juga di daerah,” kata Purwadi. Sugiharto