Sudah menjadi rahasia umum, ada biaya tinggi dalam pengurusan berbagai izin kehutanan. Mulai dari sekadar meminta informasi peta kawasan hutan yang tidak dibebani izin, pengajuan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), hingga operasionalisasinya di lapangan.
Kini, desas-desus santer yang lama berhembus itu dibuka. Adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukannya. Kalau lembaga yang satu itu sudah turun tangan, pejabat Kementerian Kehutanan pun kontan kebat-kebit. Apalagi, dalam waktu yang relatif bersamaan, KPK juga menangkap tersangka korupsi di Kemenhut yang sempat buron, Anggoro Widjoyo.
Menurut KPK, setidaknya ada 20 celah dalam pelaksanaan kebijakaan kehutanan yang berpotensi menimbulkan biaya yang tidak resmi. Nilainya bervariasi, tergantung jenis izin yang diproses. Mulai dari Rp25 juta hingga Rp15 miliar. Ada juga yang perhitungannya berdasarkan luas hektare izin yang diberikan. Bisa Rp50.000-Rp100.000 per hektare, yang kalau ditotal juga bisa mencapai nominal ratusan bahkan miliaran rupiah.
Semua itu terungkap dalam hasil Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam, Studi Kasus Sektor Kehutanan yang dilakukan oleh Departemen Penelitian dan Pengembangan KPK. Kajian tersebut dipaparkan kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan jajarannya di gedung KPK, Jakarta, Kamis (6/2/2014). Turut hadir dalam pemaparan tersebut pimpinan KPK Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja dan Bambang Widjojanto.
Celah BUK
Sebagian besar celah tersebut, ada pada kebijakan yang dijalankan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kemenhut. Titik yang memang paling banyak bersinggungan dengan perizinan pemanfaatan kawasan hutan.
Kalau mau dirinci, memang bikin terhenyak (lihat grafis). Sebut saja saat proses pencadangan kawasan hutan untuk IUPHHK, biayanya bisa mencapai Rp25 juta hanya untuk mendapatkan informasi atau peta kawasan hutan.
Ada juga untuk proses analisis makro-mikro untuk menentukan areal IUPHHK hutan tanaman — yang bisa dialokasikan untuk tanaman inti. Besarnya biaya mencapai Rp200 juta tergantung negosiasi untuk mendapat luas areal yang bisa ditanam. Biaya yang tembus Rp100 juta juga terjadi pada proses persetujuan kerjasama operasi dalam hutan tanaman.
Yang bikin terbelalak, adalah besaran yang mesti dikeluarkan pengusaha jika mau memperoleh persetujuan pengalihan saham. Menurut kajian KPK, besarnya biaya tidak resmi tersebut bisa mencapai Rp2miliar-Rp6 miliar!
Terungkapnya celah korupsi tersebut menjadi bagian dari 10 temuan pokok KPK yang ujungnya adalah terbukanya peluang korupsi. Termasuk di antara temuan pokok tersebut adalah konflik kepentingan dalam penataan-batas kepada pemegang izin, tidak jelasnya penentuan kriteria pencadangan pemanfaatan hasil hutan kayu dan pembatasan izin dan luas maksimal dan minimal izin pemanfaatan hasil hutan kayu.
Rekomendasi
Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, dalam 10 temuan kajian KPK itu terdapat sejumlah rekomendasi yang harus diperbaiki oleh Kemenhut. Termasuk rekomendasi yang disampaikan adalah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2007 juncto PP Nomor 3 tahun 2008 untuk menghapuskan kewajiban penataan batas terhadap Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. KPK juga merekomendasikan untuk merevisi Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) P.50 tahun 2010 juncto P.62 tahun 2012, sehingga perizinan hanya dapat diberikan pada areal yang telah dicadangkan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan negara.
“Ada 18 regulasi kalau ditingkatkan dan diperbaiki akan luar biasa. Karena akan dapat dilihat proses suap, pemerasan, dan perdagangan pengaruh dalam sektor ini,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam jumpa pers usai pertemuan dengan Menhut dan jajarannya di gedung KPK.
KPK juga meminta ada peningkatan pengawasan dan pengendalian untuk ketertiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurutnya, kalau pengawasan dan pengendalian ini dapat dilakukan, akan banyak uang negara yang dapat diselamatkan. “Kami ingin sampai satu titik pemberantasan korupsi, maka harus terasa secara nyata,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, KPK juga akan menindak pejabat maupun perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan yang melakukan tindakan menyimpang. Ia menjelaskan, dalam tindak lanjut kajian pemetaan ini, seluruh penyimpangan di sektor kehutanan akan dapat dilihat dengan jelas. Sehingga, bukan tidak mungkin KPK akan melakukan penindakan dari upaya pencegahan dalam kajian tersebut. Sugiharto
Perkuat KPH Demi Perbaikan Tata Kelola
KPK menyingkap tabir yang mengejutkan soal besaran biaya tidak resmi yang mesti dikeluarkan dalam pengurusan izin kehutanan. Meski tidak ada konfirmasi pembenaran dari Kemenhut terhadap informasi tersebut, namun apa yang diungkap KPK bisa dipertanggungjawabkan.
Hariadi Kartodihardjo, Koordinator Tim untuk Bidang Kehutanan pada Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam yang dilakukan KPK mengungkapkan, kajian tersebut dituntaskan akhir tahun lalu. “Kajian ini merupakan tindak lanjut dari kajian Tata Kelola Hutan dan Lahan yang didukung UNDP,” kata dia.
Hariadi menuturkan, pihaknya mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, termasuk LSM untuk mendapatkan informasi tersebut. Untuk menggali informasi yang lebih detil, tim juga melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah pengusaha di 10 provinsi. “Kajian tersebut secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Hariadi menyatakan, hasil penggalian informasi yang dilakukan tim mengungkapkan bahwa perizinan di sektor kehutanan tidak gratis dan bahkan memerlukan biaya besar untuk memperoleh persetujuan izin. “Sebagian besar pengusaha mengatakan ini tidak gratis, perlu biaya besar untuk memperoleh izin-izin seperti itu,” kata Hariadi.
Hariadi menuturkan, itu adalah kejadian-kejadian di lapangan. Meski demikian, dia juga mengaku hal itu tidak bisa digeneralisir. “Memang ada kejadian di mana pengusaha harus membayar, namun tidak berarti semua kejadian seperti yang mereka alami,” katanya.
Berdasarkan kajian, ada beberapa penyebab yang akhirnya menimbulkan biaya transaksi dalam perizinan. Penyebab secara langsung terkait peraturan, perizinan dan pengesahan. Termasuk di dalamnya adalah rekomendasi gubernur atau bupati/walikota dan pengesahan-pengesahan oleh pejabat-pejabat, multi interpretasi peraturan, dan tidak adanya kepastian waktu dalam pengurusan izin-izin. Penyebab langsung lainnya adalah hubungan sosial yang akhirnya terkait pengamanan usaha.
Sementara secara tidak langsung penyebabnya adalah kualitas birokrasi yang rendah, sistem sanksi yang tidak kuat, kontrol institusi yang lemah, hilangnya transparansi dan kurangnya contoh dari pimpinan.
Hariadi menyatakan, yang paling penting dari kajian tersebut adalah respon Kemenhut terhadap kajian tersebut. Dia mengingatkan, Kemenhut harus merancang rencana aksi pencegahan korupsi sebagai tindak lanjut kajian tersebut. Hal itu juga menjadi bagian dari Nota Kesepahaman Bersama yang telah dibuat Kemenhut dan KPK.
“Kemenhut harus meng-opname berbagai peraturannya untuk perbaikan tata kelola kehutanan. Revisi sejumlah peraturan diperlukan untuk mendukung hal itu,” kata Hariadi.
Dia mengingatkan, rencana aksi tersebut harus sudah kelar sebelum 8 Juli 2014. Hariadi juga menyatakan agar tata kelola kehutanan semakin baik ke depan, diperlukan penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Produksi. Sugiharto
Biaya Transaksi Perizinan Kemenhut
Pelaksanaan Kebijakan Kehutanan | Biaya Transaksi Tidak Resmi yang Ditimbulkan |
Pencadangan kawasan hutan (SK 6273/2011) | Biaya unofficial s/d Rp25 juta untuk mendapat informasi/peta |
Analisis Makro-mikro (perdirjen BUK No.5/2011 | Biaya Negosiasi s/d Rp200 juta agar dapat luasan yang ditanam |
Pengurusan Izin (p.50 tahun 2010, P.26 tahun 2011)—rekomendasi gubernur/bupati | (Rp50.000-Rp100.000 per hektare) |
Pengalihan saham (PP No6 tahun 2007 jo PP 3 tahun 2008) | Rp2 miliar-Rp6 miliar |
Pengesahaan Rencana Kerja Umum (Permenhut P.56 tahu 2009, P.24 tahun 2011) | Bisa mencapai Rp200 juta |
Penataan batas Areal izin (P.19 tahun 2011, P.43 tahun 2013) | Tidak ada tsandar biaya-waktu. Biaya tambahan s/d Rp300 juta.
|
Investarisasi Hutan menyeluruh berkala | Jasa konsultan Rp50.000/ha dan biaya tidak resmi untuk pengesahan s/dRp1 miliar |
Sumber: Kajian KPK