Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan membuka buruknya birokrasi perizinan dalam bisnis usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di negeri ini. Hampir semua sendi tata kelola usaha berpotensi suap, pemerasan dan penjualan pengaruh. KPK pun membuat tenggat 6 Maret agar Kementerian Kehutanan menindaklanjuti dengan rencana aksi.
Di luar urusan tanam-menanam yang positif, Kementerian Kehutanan ternyata menyimpan masalah besar yang harus segera dituntaskan. Potensi suap, pemerasan dan penjualan pengaruh (trading influence) ternyata begitu tinggi dalam sistem perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Tak hanya di pusat, tapi juga di daerah.
Berapa sih biaya tak resmi (unofficial) yang muncul dari hasil kajian KPK? Dari Rp15 juta sampai Rp15 miliar! Wow, memang. Semua itu diperoleh KPK dari hasil wawancara individunya dengan pelaku usaha kehutanan.
Benar atau tidaknya memang sulit dibuktikan, kecuali ada yang tertangkap. Namun, KPK mencatat munculnya biaya transaksi gelap itu karena dua sebab: langsung dan tak langsung. Penyebab langsung datang dari peraturan, izin dan pengesahan. Di sini, biaya tak resmi muncul dari rekomendasi gubernur/bupati dan pengesahan berbagai pejabat sampai lamanya waktu yang tidak pasti. Biaya itu juga bisa muncul karena hubungan sosial terkait pengamanan usaha dan lainnya. Sementara penyebab tak langsung lebih bersifat kualitas birokrasi serta hilangnya transparansi dan kurangnya teladan pimpinan.
Yang menarik, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan malah gembira dengan kajian ini karena bisa efektif memangkas biaya tinggi dan birokrasi perizinan yang terkait dengan instansi lain. “Kalau cuma saya yang ngomong kan tidak didengar. Wibawa KPK yang kami bawa,” tegas Zulkifli.
Itu sebabnya, tenggat waktu yang diberikan KPK untuk membuat rencana aksi tak jadi masalah. Bahkan, Menhut menyatakan dalam waktu dekat pihaknya segera merevisi 12 peraturan tentang pengelolaan hutan. Semua itu untuk menjawab 10 temuan KPK yang dirinci menjadi 17 rekomendasi perbaikan dengan penganggung jawab Dirjen Bina Usaha Kehutanan (BUK).
Dirjen BUK, Bambang Hendroyono mengaku menghormati kajian KPK. Hanya saja, soal besaran uang tak resmi, dia menduga itu kemungkinan untuk pembayaran jasa konsultan. Yang jelas, pihaknya bekerja maraton membahas rencana aksi yang akan dibahas dengan KPK pada 6 Maret mendatang. AI